KOMPAK NTT Sikapi Kasus Gratifikasi 7 Oknum Anggota DPRD & Direktur PDAM Ende

Loading

Kupang-NTT,gardaindonesia.id – Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Ende yang melibatkan 7 (tujuh) Oknum Anggota DPRD dan Direktur PDAM Ende; Gabriel Goa, Koordinator KOMPAK NTT (Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Nusa Tenggara Timur), melalui pesan Whatsapp kepada gardaindonesia.id, Selasa/11 September 2018 pukul 12.18 wita, menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut :

Pertama, mengingatkan sekaligus mendesak POLRES Ende untuk segera memberikan kepastian hukum dan rasa Keadilan Masyarakat atas Dugaan Tindak Pidana Gratifikasi yang sedang ditangani Polres Ende. Apabila Polres Ende mengalami beban psikologis yang berat untuk tangani kasus tersebut, maka Polres Ende bisa minta supervisi atau diserahkan penanganan kasusnya langsung oleh KPK RI!

Kedua, mendesak KPK RI untuk mengambilalih penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi di Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, Sikka, Lembata dan NTT; yang terkesan kuat dibiarkan tanpa adanya “Kepastian Hukum dan Terpenuhinya Rasa Keadilan Masyarakat Nusa Tenggara Timur!” Korupsi adalah Pelanggaran HAM berat karena telah merampas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Masyarakat!

Mandek! 3 Tahun Penanganan Kasus Dugaan Gratifikasi 7 Oknum Anggota DPRD dan Direktur PDAM Ende

Penanganan kasus gratifikasi yang telah mencapai 3 tahun di Kepolisian Resort Ende diduga ada intervensi politisi di Senayan. Meski oleh Pengadilan Negeri Ende sudah memerintahkan dalam putusan praperadilan untuk lanjutkan kasus tersebut terhadap dugaan intervensi politisi di Senayan; Kasat Reskrim membantah dengan tegas, Dia mengatakan kasus gratifikasi tetap dilanjutkan.

Kasus dugaan gratifikasi yang kini di tangani penyidik Kepolisian Resort Ende oleh sementara kalangan disangsikan akan tuntas dalam waktu dekat ini. Karena itu publik mempertanyakan sikap lamban dari pihak kepolisian dalam menuntaskan kasus dugaan gratifikasi.

Tiga tahun lebih, kasus dugaan gratifikasi yang menyeret 7 (tujuh) oknum Anggota DPRD dan Direktur PDAM Ende Soedarsono, berada di meja penyidik Kepolisian Resort Ende. Hingga kini, publik menyangsikan kasus yang menyeret politisi dan pejabat di Kabupaten Ende bisa dituntaskan. Muncul rumor yang berkembang ditengah masyarakat, lambannya penuntasan kasus ini diduga ada tekanan dari salah satu politisi di senayan.

Kapolres Ende, AKBP Achmad Muzayin, ketika dikonfirmasi di Mapolres Ende, Senin (30/7) melalui Kasat Reskrim Ende, Iptu. Sujud Alif Yulamlam, menjelaskan, kasus dugaan gratifikasi tetap berjalan dan tidak ada yang menghentikan kasus ini.

“Untuk kasus dugaan gratifikasi, penyidik tetap menangani serius. Saat ini memang masih dalam tahapan penyelidikan jadi kita belum mengekspos kasus ini. Untuk sementara penyidik masih menunggu jawaban dari salah satu akuntan publik di Malang, untuk melakukan penghitungan bersama soal potensi kerugian negara. Penyidik sudah mengirim surat hampir 1 (satu) bulan ini namun belum ada jawaban. Kami hanya tinggal menunggu jawaban dari akuntan tersebut,” terang Kasat Reskrim, Iptu Yulamlam.

Kasat Reskrim Ende juga membantah rumor yang berkembang di tengah masyrakat soal penyidik takut memeriksa Anggota DPRD Ende karena adanya tekanan dari pihak tertentu atau politisi di senayan.

“Penyidik tidak takut dan tunduk pada tekanan dari pihak tertentu. 7 (Tujuh) oknum Anggota DPRD yang diduga terlibat, penyidik sudah meminta keterangan dalam bentuk klarifikasi. Sedangkan dokumen yang berkaitan dengan kasus tersebut penyidik sudah dapatkannya dari pihak Sekertariat DPRD Kabupaten Ende. Jadi tidak benar penyidik takut, ” sebut dia.

Dalam penanganan kasus ini , kata dia, butuh waktu dan koordinasi yang baik sehingga tidak terjadi pembekakan dalam pembiayaannya. Kalau saja penyidik telah mengantongi jawaban dari salah satu akutan publik maka penanganan kasus ini semakin mengerucut berkaitan dengan perhitungan soal potensi kerugian negara, tegas Iptu. Sujud Alif Yulamlam.

Terpisah, Ketua Forum Peduli Kesejahterahan Masyarakat Ardyan, Rabu (30/7) mengatakan, penyidik Kepolisian Resort Ende dalam menangani kasus dugaan gratifikasi harus mengedepankan asas profesionalisme. Publik kini bertanya-tanya dan menduga selama ini penyidik mendiamkan kasus dugaan gratifikasi yang menyeret para politisi yang juga pejabat di Kabupaten Ende. Ia melihat ada suatu keistimewaan tersendiri yang diberikan dalam ruang hukum bagi para politisi dan pejabat tersebut, persoalannya hingga kini mereka juga tidak pernah dimintai keterangan dalam kapasitas keterlibatan mereka.

“Ini menunjukan kejanggalan dalam proses penuntasan kasus dugaan gratifikasi tersebut. Kondisi ini tentunya akan memunculkan berbagai persepsi di tengah masyarakat, kalau publik beranggapan, polisi (penyidik) takut memeriksa tujuh (7) oknum Anggota DPRD Ende itu; hal yang lumrah” sebut Ardyan So, sambil menduga lambannya penuntasan kasus ini karena adanya tekanan dan intervensi dari pihak tertentu atau mungkin juga dari salah satu politisi di senayan.

Lebih jauh aktivis PMKRI cabang Ende ini berharap agar penegak hukum dalam hal ini penyidik Kepolisian Resort Ende harus transparan dalam mengusut dan menuntaskan kasus dugaan gratifikasi. Langkah ini sebutnya, sebagai bentuk keterbukaan dan akses informasi bagi publik berkaitan dengan penaganan kasus dugaan gratifikasi yang menyeret para politisi “besar” di Kabupaten Ende.

Seperti yang diberitakan sejumlah media , Hakim Tunggal, Yuniar Yudha Himawan, mengabulkan permohonan praperadilan kasus dugaan gratifikasi DPRD Ende oleh Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gertak) Flores-Lembata.

Gugatan forum Gertak dengan nomor 02/PID.Pra/2018/PN.End atas pemberhentian proses penyelidikan kasus dugaan gratifikasi.

Pada sidang ke enam, Senin, (26/3), Pengadilan Negeri Ende memutuskan dan memerintahkan agar Polres Ende melakukan proses penyelidikan dugaan kasus gratifikasi yang melibatkan tujuh anggota DPRD Ende.

Saat membacakan amar putusan, Hakim Yudha pun menyebutkan nama-nama anggota DPRD Ende yang diduga menerima uang perjalanan dinas dari Dirut PDAM Ende, Seodarsono. Mereka diantaranya, Herman Yosep Wadhi, Oktavianus M. Mesi, Jhon Pela, Orba K. Ima, Sabri Indra Dewa, Kadir Hasan Mosa Basa dan Fransiskus Taso.

Disebutkan pula bahwa 7 (tujuh) anggota DPRD tersebut masing-masing menerima uang dengan nominal berbeda. Demikian pula pada proses pengembalian pun berbeda yakni pada Tahun 2015 dan Tahun 2017.(*/kr7 + rb)