Rintihan Hati Sosok Guru Perempuan dari Flores NTT

Loading

Oleh : Elisabeth Wilhelmina

Jawa Tukan, S.Pd

Larantuka, gardaindonesia.id | Sebait puisi dari seorang guru perempuan tangguh dari Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Puisi ini melukiskan suasana hati dan mimpi para guru di pelosok negeri,

Aku melihat indonesia dari kacamata ibukota..
Lewat gedung-gedung pencakar langit dan hiruk pikuknya lalu lintas kota Jakarta..
Aku melihat indonesia, dari senyum palsu anak-anak negri di setiap sudut kota metropolitan.

Senyuman bercampur dengan peluh keringat di setiap jalanan ibukota..
Senyum tunas muda pemilik Negri;
Yang menjerit di tengah gemerlap lampu-lampu jalanan kota seribu jiwa seribu gedung bertingkat…

Wahai penguasa Negeri…
Betapa sombongnya dirimu, betapa angkuhnya dirimu. Sekali coretan tanganmu diatas kertas putih itu, saat itu pula kau hasilkan duit berjuta rupiah. Kau lupa diri, kau lupa bahwa uang yang kau dapatkan itu adalah hasil peluh keringat, bahkan tetesan air mata penuh perjuangan kaum jelata negeri ini.

Kau lupa bahwa yang kau miliki adalah milik rakyat negeri yang disebut … Nusantara.

Ahhh….Indonesia, Negeri yang kaya susu dan madu,
Ahh indonesia, dimanakah susu dan madu itu? Dimanakah keadilan itu dapat ditegakkan, sampai kapankah anak-anak Negri pemilik Bangsa bisa tersenyum lepas tanpa kepalsuan.

Kapankah Jakarta; hai…. kota metropolitanku, kau berikan setitik kebahagiaan buat kaum jelata Negeri,,
Lampu dan gedungmu tak bisa menentramkan hati dan jiwa mereka
Sombongnya dirimu; hai….kota seribu nyawa bahkan semilyar penduduk Yang menempatimu…

Wahai ibukota, kapankah kau menjadi ibu yang sesungguhnya
Bagi kami anak-anak Negri dari sabang sampai Merauke, kapankah kesombonganmu bisa dikalahkan oleh tangisan anak-anak pengemis di kolong jembatanmu

Terlampau sadis… caramu,,, hai… ibukota
Aku yang hanyalah suara tak berarti..
Mau meneriakkan, menyuarakan suara-suara kaum jelata, suara anak-anak Negeri, yang katanya negri pemilik susu dan madu
Gemerlapmu tak bisa menembus batas-batas wilayah hati kami yang masih gelap..
Gelap dan selalu gelap yang kami rasakan
Wahai ibukota, kembali aku menatapmu kini..

Aku yang hanyalah pemilik negeri bayang-bayang, negeri diatas awan kataku
Negeri yang hanya bisa kami rasakan susu dan madu dibalik kacamata para bos-bos yang sudi memberikan lembar seribu dua ribu, ketika kami selesai menjadi pengamen di tengah hiruk pikuk lalu lintasmu…
Jakarta…. kejamnya dirimu,,

Kau gagal menjadi ibu bagi anak negri pemilik susu dan madu..
Kau lupa diri bahwa diantara gemerlapmu, ada tangisan anak yang kelaparan, ada jeritan wanita-wanita malang yang sedang mengais rejeki tanpa kenal lelah.

Kau lupa bahwa di tengah kesibukanmu,ada pria-pria tangguh yang rela bekerja keras hanya untuk bisa membayar pajak keluar masuk jalan tol demi selembar kertas rupiahmu… aku kecewa kataku…

Wahai penguasa negri…
Rakyat bukan bonekamu
Semua yang bicarakan di gedung megahmu hanyalah lambang bahwa kau sudah bekerja. Semua mengatasnamakan rakyat, semua hanya demi rakyat
Yah… rakyat adalah penghasil lembaran-lembaran berjuta bahkan bermilyar rupiah bagimu
Kau gagal hai penguasaku
Dan aku sedih menatap kotamu di ujung malam ini..

Gemerlapmu niscaya memabukkanku..
Gedung pencakar langitmu seolah mau menghantarku ke langit sana yang tak bisa menampilkan pesona bintang dan bulan karena kesombonganmu
Dan aku,, diatas jembatanmu ini, hanya bisa menatapmu,ditengah geliat ibukota ,ibu negri… aku menangis…

Airmataku jatuh bersama malam tanpa bintang dan bulan
Aku kecewa bersama desiran angin yang enggan berlalu bersama geliatmu yang tiada henti

Aku sedih wahai ibu negri
Biarlah kesedihanku ini berlalu bersama sang waktu (*)

 

Penulis adalah seorang guru, berdomisili di Waibalun, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur

Editor (+ rony banase)