Hai Perempuanku

Loading

Waibalun-Flotim, Garda Indonesia | Seuntai refleksi perjalanan hidup sosok perempuan tangguh dengan konsistensi mempertahankan budaya tenun di Waibulan Kabupaten Flores Timur (Flotim) Provinsi Nusa Tenggara Timur. Refleksi ini ditulis oleh Helmy Tukan,S.Pd., yang berprofesi sebagai guru di SDI Waibalun, selain sebagai pendidik, Helmy aktif sebagai pegiat literasi, dan pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) Flotim.

Hai perempuanku,…urailah benang, tenunlah menjadi selembar sarung gapailah segala asamu di setiap masa kehidupanmu,.sulamlah benang-benang kasih dan jalinlah untaian mutiara hidupmu agar semakin bermakna bagimu dan sesama.

Itulah sepenggal sajak lepas yang kugoreskan di awal pagi ini. Pagi kusambut dengan seulas senyum penuh harap yang membias bersama sinar mentari yang hadir dari balik jendela kamar dan rumahku yang berada di kaki Gunung Ile Mandiri. Gunung tangguh pelindung kampungku, Waibalun.

Pagi ini sedikit cerah meski semalam diguyur hujan. Aku kembali bangun memulai hari. Membereskan rumah, memasak bagi seluruh isi rumahku dan segera mengurus anak-anak ke sekolah.

Sebut saja aku adalah Ina Kewa. Aku lahir dan dibesarkan di Tanah Lamaholot, Flores Timur. Karena keterbatasan biaya, aku hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah Menengah Atas (SMA). Masa remaja yang indah tidak kudapatkan. Aku harus menelan pil pahit dan salib yang harus kutanggung karena tidak mau mendengar nasehat orang tua.

Aku hamil dan lelaki yang menghamiliku tidak mau bertanggungjawab. Lengkaplah sudah deritaku kala itu. Akupun harus pasrah menerima semua keadaan waktu itu.

Aku jatuh,…aku terpuruk. Semua temanku menertawakanku. Namun aku tak peduli. Bagiku itu adalah masa suramku kala itu.

Hari berganti tahunpun berlalu, Aku dan anakku yang kubesarkan tanpa sosok sang ayah; begitu cerianya ia melihat dunia. Tanpa tahu seperti apa deritaku.

Aku, Ina Kewa perempuan tangguh dari Flores Timur. Aku mewakili sekian ratus kaummu.

Kaum wanita Lamaholot yang sering menjadi kaum tertindas oleh kaum adam, kaum laki-laki.

Hari-hari yang melelahkan selalu aku jalani dengan penuh syukur. Menjadi wanita kepala keluarga bagi keluarga kecilku di kampung.

Berbagai pekerjaan sudah aku jalani. Mulai dari menjadi petani, penjual ikan, penjual kue, mencari kayu bakar, meniti jagung dan menenun.

Keseharian sebagai bapak dan ibu bagi anakku kujalani dengan sukacita walau kadang dihiasi dengan tangis airmata.

Hidup adalah perjuangan, itu adalah motto hidupku.

Aku tak mau menjadi beban bagi orangtuaku. Apalagi semakin hari mereka semakin tua, biarlah aku yang menjadi tulang punggung keluarga ini.
Ya… Aku, anakku, ayah dan juga ibuku. Aku harus menjadi anak yang berbakti..biar dalam perjalanan hidup ini, aku memikul salib berat karena ulahku sendiri. Memiliki anak namun tak bersuami.

Aku, Ina Kewa si perempuan tangguh. Tanah kelahiranku bukanlah tanah yang subur. Curah hujan dalam setahunpun tak sama banyak dengan yang dialami di daerah di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Alam Flores yang kering namun menampilkan kesan eksotis. Gugusan pulau yang membentang diantara lautan membiru menambah indah panorama nusaku. Flores Island, Nusa bungaku. Biarpun kering namun Tuhan tak membiarkan kami merana, beberapa tanaman tumbuh dengan suburnya di tanah yang kering.

Jagung, kelor, kelapa, dan sorgum tumbuh dengan angkuhnya di tanah kami. Mereka seolah berlomba untuk menampilkan dan memberikan yang terbaik bagi pemilik tanah ini. Termasuk pengabdiannya padaku, Ina Kewa.

Ketika musim jagung tiba, aku dan anakku bersama dengan seisi kampung, kami beramai-ramai memetik jagung di ladang. Cukuplah buat persediaan setahun ini untuk makan dan untuk dijadikan ‘Jagung Titi’

Proses pembuatan Jagung Titi

Sejak kecil kami sudah dilatih bagaimana mengolah jagung menjadi makanan khas yang dinamai Jagung Titi; tentu kalian tahu kenapa dinamai demikian. Jagung setengah tua maupun yang tua, di sangrai terdahulu diatas tungku api dengan menggunakan tembikar dari tanah liat.
Begini proses pembuatannya…kami harus ekstra hati-hati ketika mengambil jagung yang disangrai dari dalam tembikar lalu diletakkan keatas sebuah batu yang pipih berbentuk segiempat atau setengah lingkaran. Lalu sebelah tangan kami mengambil sebuah batu lagi yang lebih kecil ukurannya dan berbentuk pipih. Batu itu yang akan memipihkan jagung titi. Tentunya dibutuhkan kesabaran dalam melakukan pekerjaan ini. Bertarung melawan bara api, dan selalu sabar agar bisa memipihkan jagung.

Peluh keringat bercucuran ketika tiba sang surya jatuh tepat diatas kepala. Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 WITA, saatnya makan siang.

Teriknya siang ini menusuk hingga ke pori-pori namun semangat juangku tak pernah padam. Hanya demi membahagiakan anakku. Bagiku anak adalah segalanya. Permata hidupku. Meskipun kehadirannya tak diingini oleh ayahnya yang sekarang entah dimana.

Meski hadirnya menjadi bahan cemoohan dan ejekan orang-orang sekampungku. Aku iklas. Aku terima. Karena aku adalah Ina Kewa, Si Perempuan Tangguh Lamaholot.

Segala cara kulakukan demi membahagiakan anakku yang kini telah memasuki usia sekolah, kini usianya 8 tahun. Ia harus berbahagia bersama teman-teman sebayanya.

Kala itu, ketika selesai makan siang, aku harus membereskan sisa jagung yang kutiti. Sembari sang anak membantu menjemur benang yang sudah kucuci tadi, benang yang akan kupilin, kuurai dan kutenun menjadi selembar sarung khas Lamaholot yang disebut “kwatek” bagi kaum wanita dan “senai “bagi kaum pria.

Sudah 5 tahun aku menekuni pekerjaan ini. Seperti halnya meniti jagung, ternyata menenun juga butuh keuletan khusus. Tidak mudah melakukan pekerjaan ini.

Kadang aku berpikir, sehebat itukah nenek moyang kami, sehingga bisa menjadikan untaian benang asli yang diperoleh dari tanaman kapas dan mengolahnya menjadi selembar sarung khas Lamaholot?…pikiranku melayang dan terlintas ide, untuk tetap mempertahankan kearifan lokal ini.

Jagung titi dan kwatek, adalah warisan budaya yang harus kita lestarikan. Kedua kearifan lokal ini dihasilkan dengan cara yang luar biasa rumit. Perlu kesabaran, keuletan, ketelitian, dan tentunya dengan hati yang gembira ketika kita mengerjakan atau menghasilkannya.

Benang sebelum di pilin, harus dicuci sampai bersih. Benar-benar bersih agar nanti tidak luntur. Ketika mengikat motif perlu hati-hati agar dapat menghasilkan ikatan yang bagus, jika tiba saatnya dicelup kedalam zat pewarna, dapat menimbulkan motif yang indah dan kesannya sempurna.

Harus ada keseimbangan antara air dan pewarna. Agar dapat menghasilkan warna-warna yang indah seindah alam Flores Timur. Seindah pesona Nusa Bunga.

Ketika tiba saatnya, ina atau ibu penenun akan menenun untaian benang-benang indah tadi dalam keragaman warna; proses menenun tidaklah mudah.

Butuh waktu beberapa hari tergantung si penenun. Kadang saya berpikir apakah lebih baik jika ibu penenun dapat menentukan waktu yang lebih cepat, misalnya 1 atau 2 hari selesai?..Namun hal itu tidaklah mudah.

Ibu penenun masih harus membagi waktu antara menenun, meniti jagung, ke kebun dan masih harus membagi waktu untuk kegiatan solidaritas di kampung.

Itulah kami ibu atau ina Lamaholot diantara kesibukan sebagai wanita pekerja dan ibu rumah tangga, kami harus mengambil bagian dalam acara kedukaan, perkawinan, tunangan, permandian anak, pertemuan kumpo kao keluarga, pertemuan di masyarakat desa dan beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya yang harus dijalani.

Tidak mudah memang, tapi itulah kami. Itulah aku, Ina Kewa, Ian Lamaholot, Ibu Bumi Lamaholot.

Aku Ina Kewa, Ibu Kehidupan,..tanpa aku apalah artinya dirimu tanpa aku matilah segala kehidupan di muka bumi ini. Namun kaumku sering tidak dihargai. Suaraku sering tak didengar.

Dukaku menjadi bahan tertawamu…Aku selalu tegar…Aku selalu berani hadapi dunia yang sombong ini, mungkin jiwaku keras sekeras jagung titi namun pesonaku indah memabukkanmu, seindah sarung tenun yang berwarna-warni.

Aku Ina Lamaholot, mengharapkan perhatian dari kalian, agar kearifan lokal kita ini tetap terjaga. Peluh dan keringatku selalu menghiasi hari-hari hidupku. Hanya untuk memenuhi panggilan sebagai seorang ibu dan penghuni Lewotanah Lamaholot.

Aku hanya bisa berharap semoga kalian bisa mendengar segala harapku. Semoga jagung titi dan kwatek selalu menjadi kearifan lokal Kabupaten Flores Timur. Salamku, Ina Kewa Lamaholot. (*)

Penulis (*/Helmy Tukan,S.Pd)
Editor (+rony banase)