Tidak Bersih!, 10 Kantor Perangkat Daerah Lingkup Provinsi NTT

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Sejumlah anggota dan pengurus daerah yang terhimpun dalam Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) melakukan penilaian terhadap Kondisi Sanitasi Perkantoran Lingkup Pemprov NTT pada 15 Maret 2019. Survei dilakukan serentak atau secara bersamaan pada semua Kantor OPD (Organisasi Perangkat Daerah).

Survei dilakukan terhadap hampir 37 kantor badan atau dinas lingkup provinsi NTT, penilaian dilakukan oleh tim independen yang terdiri dari para Dosen dari Prodi Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Kupang, dosen dari FKM Undana Kupang serta didukung oleh tenaga sanitarian Kota Kupang.

Ketua Tim Penilai John Takesan dan didukung oleh 30 penilai yang terbagi atas 10 tim (beranggotakan 3 orang) dengan susunan tim sebagai berikut : Tim 1 (Dian M Yahya,Amd.KL; Albina B Telan, ST,M.Kes.; Mustakim Shadan,SKM,M.Kes.), Tim 2 (Dr Luh Putu Ruliati,SKM,M.Kes.; Dwi Indria Kusuma Ningsih,Amd.KL; Albertus Ata Maran,SKM,M.Kes), Tim 3 (Tri Indriati,SKM;Soni Doke,S.Pt,M.Kes; Yasinta N Enas,Amd.KL), Tim 4 (Sengrawani M Nomleni,Amd.KL; Agustina, SKM, M.Kes; Agus Setyobudi, SKM,M.Kes), Tim 5 (Adrianovi B K Kleden, Amd.KL; Siprianus Singga,ST,M.Kes; Masrida Sinaga,SKM, M.Kes), Tim 6 (Ike O Giri,SKM; Ragu Theodolfi,SKM,M.Kes; Allen H Tumbio,SKM), Tim 7 (Yuliana Radja Riwu,SKM,M.Kes; Yustina Seo,Amd.KL; Waltrudis Alus,Amd.KL), Tim 8 (Enni R Sinaga,ST,M.PH), Tim 8 (Enni R Sinaga,ST,M.PH; Regina E Boru,SKM; Oka L Tihu,SKM), Tim 9 (Dr Kusmiyati,SKM,M.Kes; Frans G Mado,SKM,M.Kes; Rini A Y Muskanan,SKM) dan Tim 10 (Dr Imelda F E Manurung,SKM,M.Kes; Erika M Resi,SKM,M.Si; Debora G Suluh,ST,M.Kes)

Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong para pimpinan instansi untuk lebih menaruh perhatian terhadap isu sanitasi di tempat kerjanya masing masing, dan sebagai upaya untuk menjadikan Isu Sanitasi menjadi perhatian dalam kebijakan publik pemerintah.

Kegiatan survei Sanitasi Perkantoran Lingkup Perangkat Daerah Prov. NTT dilaksanakan atas dukungan dari Ketua Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Komponen yang dinilai meliputi, kondisi toilet, ketersediaan dan kualitas air bersih, sistem pengelolaan sampah, sistem pengelolaan air buangan atau air limbah, upaya pengendalian vektor dan binatang pengganggu serta ketersediaan informasi kesehatan. Hasil penilaian terhadap 6 (enam) komponen tersebut adalah sebagai berikut :

Istimewa Data Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) NTT

Hasil penilaian seperti terlihat pada data atau tabel diatas yaitu sebanyak 10 kantor Perangkat Daerah yang masuk kategori kurang bersih, 8 kantor Perangkat Daerah yang dinilai oleh Tim cukup bersih dan 18 kantor Perangkat Daerah yang dinilai sangat bersih.

Terdapat 1 (satu) kantor perangkat daerah tidak dilakukan penilaian lanjutan oleh tim yaitu Dinas Nakertrans, karena menurut pengakuan pihak berwenang di kantor tersebut bahwa gedung kantor yang mereka tempati saat ini tidak akan digunakan lagi dalam waktu dekat , mereka akan segera dipindah ke kantor lainnya, sehingga tim penilai memutuskan tidak dilakukan penilaian lanjutan.

Istimewa Data Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) NTT

Pelaksanaan penilaian ini dilakukan dengan berpedoman pada Permenkes No. 48 tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran.

Untuk diketahui bahwa ada 2 (dua) aspek yang menjadi fokus penilaian yakni :

  • Pertama, aspek ketersediaan sarana atau fasilitas beserta jumlahnya sesuai rasio;
  • Kedua, aspek pengelolaannya termasuk pemeliharaan sarana.

Dari kedua aspek yang dinilai, aspek pengelolaan atau pemeliharaan sarana atau fasilitas banyak yang tidak sesuai dengan kriteria, sehingga dinilai kurang oleh tim, sedangkan dilihat dari aspek jumlah atau ketersediaan fasilitas pada umumnya setiap kantor perangkat daerah dinilai cukup baik dan baik. Hal ini menunjukkan bahwa aspek perilaku pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas sanitasi tersebut masih belum baik, hal ini terkait dengan kebiasaan.

Istimewa Data Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) NTT

Masalah Sanitasi Perkantoran mungkin kedengarannya sederhana atau sepele dan tidak seksi, tetapi sebenarnya sanitasi yang baik di tempat kerja sangat penting dan vital, karena dapat mendorong produktifitas dalam tugas. Bayangkan saja, kalau di suatu kantor ‘Toiletnya Tidak Berfungsi Dengan Baik’, pemenuhan ‘Urusan Belakang’ menjadi terhambat. Bisa jadi karena sanitasi tidak baik orang tidak bisa bekerja, terutama para kaum Hawa.

Seperti yang terjadi pada anak sekolah SD di salah kampung di Manggarai Barat, sesuai pengakuan mantan siswa bahwa dia bolos dari sekolahnya, karena tidak ada WC di sekolah tidak cukup, dan airnya tidak, dia malu untuk antri dengan murid perempuan lainnya di sekolah, kini dia menjadi putus sekolah (Sekolah Tompok, Bahasa Manggarai) dan menjadi buruh tani di kampungnya.

Tantangan Isu Sanitasi

Hasil penilaian tersebut diatas, dapat menjadi indikasi dari perhatian terhadap isu sanitasi. Hal ini terkonfirmasi juga dari data tentang besarnya belanja publik untuk sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan ((AMPL).

Hasil kajian yang dilakukan oleh Pokja AMPL Provinsi NTT atas kemitraan Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Provinsi NTT dengan UNICEF tentang besaran belanja publik dalam bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) bahwa rata rata selama 5 (lima) tahun 2013—2017 besar anggaran sektor AMPL mencapai lebih dari 178 Miliar, dan lebih dari 78% dari anggaran tersebut bersumber dari APBN, tidak terhitung dengan anggaran dari mitra yang bergerak pada sektor AMPL.

Selain itu, besarnya anggaran sektor AMPL seperti tersebut diatas, sebagian besar untuk biaya investasi seperti pembangunan sarana dan kegiatan diklat (88,4%%), dan 10,97% biaya operasional serta 0,57% untuk biaya pemeliharaan. Sedangkan, biaya tidak langsung seperti administrasi, peningkatan kapasitas, perencanaan, monev, kesra pegawai, dan pengembangan sistem manajemen sebesar 12,70%. Biaya kegiatan langsung untuk promosi dan advokasi, pemantauan, pembangunan sarana, serta pemantauan kualitas sebesar 87,30%

Besarnya anggaran AMPL berkorelasi dengan capaian akses sanitasi di NTT. Badan Pusat Statistik (BPS) NTT merilis data akses sanitasi di NTT masih rendah yaitu 15,7% masyarakat NTT masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS), hal tersebut menempatkan NTT berada pada ‘Peringkat Ketiga’ dari belakang (Peringkat 31) akses sanitasi dari 34 Provinsi lainnya di Indonesia.

Dilihat dari sektor kebijakan, sanitasi merupakan salah satu target tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals / SDGs), dan isu sanitasi juga menjadi target dalam RPJMN. Dalam konteks lokal Provinsi NTT, isu sanitasi menjadi salah satu target dalam RPJMD. Dan ditetapkannya Pergub No. 10 tahun 2012 tentang Pokja AMPL.

Kini, Pergub tersebut perlu ditinjau kembali karena adanya perubahan tata organisasi. Di tingkat kabupaten dan kota, beberapa diantaranya terdapat Peraturan Bupati atau Wali Kota, atau dalam bentuk instruksi bupati.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah implementasi dari berbagai kebijakan tersebut dalam menyelesaikan masalah sanitasi ? Apakah ada korelasinya dengan isu capaian sanitasi di NTT ? Hipotesis saya bahwa produk kebijakan dalam bidang sanitasi tidak efektif dalam implementasinya.

Dilihat dari sisi SDM pelaksana program sanitasi, bahwa kegiatan sanitasi dilakukan oleh banyak sektor, penyediaan sarana sanitasi merupakan kewenangan sektor pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sedangkan pemberdayaan masyarakat untuk perubahan perilaku menjadi kewenangan sektor kesehatan dalam hal ini adalah para sanitarian, sehingga dalam sektor kesehatan ada pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang fokusnya adalah pendekatan pada perubahan perilaku masyarakat itu sendiri terutama untuk membangun, memelihara dan memanfaatkan sarana sanitasi. (*)

Penulis (*/Karolus Ngambut dan John Takesan)
Editor (+rony banase)