Riak Ombak di Tepian Pulau Waibalun Flores Timur

Loading

Larantuka-NTT, Garda Indonesia | Sebait sajak tak berjudul mengawali tulisan kecilku ini. Tulisan yang akan menggambarkan indahnya alam kampungku dengan pesona Pulau kecil di laut sana, Pulau Waibalun namanya.

Riak ombak menari di tepian pantai…
Suara merdu burung membahana membelai sunyi…
Angin pantai cumbui dedaunan hijau pewarna nusaku…
Deru dan menderu melanda sunyi di sekujur tubuh pulauku…
Debur dan mendebur sepanjang lorong waktu dari masa ke masa.

Tentunya tidak asing bagi warga Kota Larantuka dan Warga Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur,  karena letak pulau ini yang seolah-olah menjadi bidadari mungil di tengah laut yang bisa dilihat dari Pulau Adonara, Pulau Solor dan Pulau Flores.

Jika anda dari Kupang menggunakan Kapal Fery maka samar-samar tampak pulau Waibalun ketika kapal mulai memasuki kawasan perairan Solor. Demikian juga jika anda dari Kota Makasar ketika memasuki Selat Larantuka, akan tampak pesona Pulau Waibalun menyambut hadirnya para tamu di kota kecil Larantuka; sang bidadari kecil ini menjadi primadona di tengah laut kampungku, Waibalun.

Aku teringat akan kenangan indah di masa kecil, bermain bersama teman-teman ketika pulang sekolah. Merengkuh dayung dan berlomba bersama ombak agar segera tiba ke tepian pantai berpasir hitam di pulau waibalun.

Kami begitu kompak dan bersemangat, meski kadang ada gelombang dan arus yang mencoba menguncang perahu kecil kami (*perahu=tena, dalam bahasa daerah) tradisional milik ayah seorang temanku

Perahu sederhana yang terbuat dari kayu pohon mangga dan dilengkapi dengan kayu bambu sebagai alat keseimbangan perahu pada badan sebelah kiri dan kanannya, yang dalam bahasa daerah Waibalun disebut ‘eler’.

Dua orang teman laki-lakiku semasa SD kala itu, ditugaskan mengayuh dayung. Kami, kaum wanita menyanyikan lagu untuk memberi semangat pada sang pengayuh dayung; tidak sampai 15 menit kamipun berlabuh di tepian pantai Pulau Waibalun. Segera kami bergegas turun, serpihan sinar matahari sore membias hingga ke seluruh isi pulau ini, pohon, tanah, dan tentunya hewan penghuninya.

Ada beberapa jenis burung, kera hutan dan ular laut yang dalam bahasa waibalun disebut ‘haring’ dan dalam bahasa ilmiahnya disebut hydrophinae. Ular laut ini tergolong dalam ular berbisa yang memiliki warna kulit yang khas, berwarna hitam putih bak zebra cross di jalanan. Kebanyakan ular laut jenis ini menjadi penghuni laut laut pulau kecil di seantero perairan planet kita ini.

Pulau Waibalun di Flores Timur

Aku tercengang menatap bisu, sunyi sepi di alam sekeliling kami. Hanya sesekali terdengar bunyi ombak memecah sunyi ketika riak gelombang mencumbui bibir pantainya. Oh..indahnya alamku, angin laut bagaikan menyapu lembut pada setiap wajah pendatang dan tamu pulau.

Suara-suara alam menyapa dari balik bebatuan alam, batu karang berbagai bentuk dan ukuran terhampar di sepanjang pantai pulau ini.

Aku terkesima…, sepertinya batuan ini merupakan batuan endapan dari letusan gunung berapi pada ratusan tahun lalu. Batu karang yang eksotis, menurutku. Air laut yang jernih tentunya mengundang rasa ingin segera mandi.

Sore itu, aku bersama rekan Panitia Pesta Nelayan dan mahasiswa dari Kota Kupang yang datang untuk mengikuti Kegiatan Prosesi Semana Santa di Kota Larantuka; yang dimulai dari Rabu Trewa, Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo.

Mereka mengadakan kegiatan pembersihan di Pulau Waibalun. Dengan semangat, mereka bekerja membantu kami untuk mempersiapkan acara pada hari senin nanti, pesta nelayan yang akan diadakan ini merupakan bagian dari rangkaian “Festival Bale Nagi 2019”. Kegiatan ini menjadi ajang bergengsi tahunan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Flores Timur.

Penulis saat berada di tepian Pulau Waibalun

Pulau Waibalun atau yang sering disebut “Nuha” oleh warga setempat merupakan pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri. Jika anda sedang berada di pulau ini, perasaan damai akan muncul. Namun, anda tak boleh melakukan hal-hal yang merusak alam pulaunya, jika benar terjadi, maka anda akan mendapat teguran dari sang penghuni pulau.

Sosok halus yang tidak terlihat namun diyakini ada. Sang penjaga pulau yang merupakan sosok tak terlihat ini selalu dipercaya kehadirannya. Oleh karena itu, pada setiap tahun masyarakat setempat mengadakan ritual adat yang dilaksanakan oleh suku “Le Hadjon”.

Suku ini dipercaya secara turun temurun melaksanakan Upacara Adat “Pau Haring” atau memberi makan ular haring, Sang Penunggu Pulau. Yah…suatu tradisi yang masih dipegang teguh oleh Suku Hadjon hingga pada zaman modern seperti sekarang ini.

Tradisi yang perlu diwariskan oleh kaum muda turunan Suku Hadjon. Nenek moyang kita dulu tahu dan mengerti akan keseimbangan alam, tentang pelestarian alam. Bagaimana manusia harus benar-benar menghargai alam itu sendiri sebagai sumber hidup.

Dengan adanya ritual tersebut ,mereka tahu bagaimana rasa syukur itu selalu diucapkan. Dengan demikian, alampun akan bersahabat dengan manusia.

Laut di sekeliling Pulau Waibalun di Flores Timur kaya akan ikan, cumi-cumi, kerang atau siput dan dan beberapa sumber daya alam laut lainnya. Masyarakat setempat sering melakukan kegiatan menangkap ikan disana, juga sering mencari kerang atau siput atau dalam Bahasa Waibalun disebut “gimang”.

Aktifitas ini cukup menghabiskan energi, namun terkesan asyik dan menyenangkan. Sebulan sekali, ketika senja tiba, banyak penduduk setempat berbondong-bondong untuk mencari kerang di Pulau Waibalun. Sambil bercerita bersama keluarga dan sahabat. Hmhmm…..sungguh menyenangkan.

Bercerita bersama alam dan mendengar alam menyuguhkan suara-suara indah di balik bebatuan. Sesekali.., nampaklah makluk-makluk kecil yang mengintip dari celah serpihan karang dan terhempas bersama ombak. Sungguh suatu suasana alam yang eksotis. Begitu asyiknya hingga malam menjemput senja di Pulau Waibalun.

Alam telah memberikan kenikmatan bagi kita, sekarang bagaimana cara kita melestarikannya. Mungkin dengan aktifitas rutin sebagai warga masyarakat untuk selalu membersihkan dan merawatnya. Selain memberikan pesona alamnya, Pulau Waibalun juga diajadikan lokasi wisata rohani dengan adanya Patung Yesus Gembala Yang Baik yang terletak pada bagian atas pulau ini.

Patung ini diresmikan pada masa pemerintahan Alm. Bapak Felix Fernandez, yang kala itu menjabat sebagai Bupati Flores Timur. Inilah awal, Pulau Waibalun dijadikan salah satu destinasti wisata alam dan religi.

Jangan lupa!, untuk datang dan menghadiri Festival Bale Nagi, Pesta Nelayan pada setiap tahunnya di Pulau Waibalun. Lautku bersih, Lautku kaya. Marilah kita lestarikan demi masa depan anak cucu kita.
Semoga! (*)

Penulis (*/Helmy Tukan, Guru dan Pegiat Literasi di Kabupaten Flores Timur)
Editor (+rony banase)