3 Rekomendasi ICJR Terhadap Pembatasan Akses Komunikasi di Medsos

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Pemerintah telah membatasi akses penggunaan media sosial (Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp, dan Line) untuk sementara waktu dimulai sejak 22 Mei lalu yang diperkirakan hingga dua sampai tiga hari kedepan. Tindakan ini dilakukan terkait dengan kondisi di Jakarta, terutama Kantor Bawaslu dan KPU RI yang terus didatangi massa aksi unjuk rasa yang memprotes hasil Pemilihan Umum 2019.

Baca juga :

http://gardaindonesia.id/2019/05/23/menkominfo-rudiantara-fitur-foto-video-di-medsos-dikunci-sementara/

Pembatasan ini, menurut klaim pemerintah yang diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, adalah semata-mata dilakukan untuk mencegah provokasi hingga penyebaran berita bohong kepada masyarakat.

Pemerintah lebih lanjut menyatakan bahwa keputusan untuk membatasi akses ke media sosial dan aplikasi messaging ini telah sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai lembaga kajian independen dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pada umumnya di Indonesia mempertanyakan inisiatif dari pemerintah ini, karena tindakan pembatasan ini tidak diperlukan didasari dengan dua alasan yaitu:

Pertama, pembatasan ini bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi. Pembatasan yang dilakukan terhadap media sosial dan aplikasi messaging telah menghambat komunikasi masyarakat, terutama melalui aplikasi Whatsapp dan Line. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kedua, pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat. Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005 memberikan kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar (eksternal) atau dari dalam negeri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya. Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa tersebut, konstitusi memberikan kekuasaan kepada kepala negara atau pemerintah untuk menilai dan menentukan negara dalam keadaan darurat.

Dalam Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia yaitu: Pertama,situasinya harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan Kedua, Presiden harus penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden. Penetapan ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 silam untuk mengumumkan keadaan darurat di Aceh. Meskipun begitu, tindakan-tindakan pembatasan HAM harus ditentukan batas-batasannya yang jelas beserta ukuran-ukuran yang tidak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dengan merugikan kepentingan yang lebih luas. Tindakan pembatasan akses media sosial dan aplikasi messaging secara langsung tanpa ada pengumuman sebelumnya adalah tidak tepat.

Berdasarkan atas hal ini, maka ICJR merekomendasikan tiga hal kepada Pemerintah yaitu:

Pertama, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging harus benar-benar mengkaji batas-batasannya yang jelas, agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi.

Kedua, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagaimana diatur dalam ICCPR, maka Presiden harus membuat penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.

Ketiga, apabila suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat namun pemerintah merasa perlu untuk menetapkan suatu kejadian tertentu yang menyebabkan pembatasan HAM, maka tindakan tersebut seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, yaitu Jaksa Agung. Sehingga kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis. (*)

Sumber berita (*/Tim IMO Indonesia)
Editor (+rony banase) Foto by beritasatu.com