Pemuda dan Pancasila dalam Konflik Horisontal di Indonesia

Loading

Oleh : Denny Agiel Prasetyo

Jakarta, Garda Indonesia | Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo atau lebih dikenal dengan Pak Jokowi mencanangkan Gerakan Revolusi Mental yang Bertujuan untuk Mewujudkan Indonesia Raya yang Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi dan Berkepribadian dalam Kebudayaan atau disebut Trisakti.

Namun pada kenyataannya terdapat hambatan yang dirasa besar untuk mewujudkannya. Diantaranya adalah adanya Konspirasi Global yang sangat nyata dan kentara dirasakan bersama, sengaja menciptakan situasi dimana sesama anak bangsa dibenturkan melalui konflik horisontal dengan ragam pemicu.

Konflik horizontal yang terjadi belakangan ini banyak dipengaruhi dan disebabkan oleh beragam faktor, diantaranya adalah kesenjangan sosial yang tinggi dan rentang jarak yang cukup jauh antara si kaya dengan si miskin, tingkat pendidikan yang tidak merata (/kalau tidak mau disebut kurang), dan kegagalan membumikan Pancasila secara utuh dan menyeluruh kepada segenap warga bangsa ini.

1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila yang ditetapkan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo, haruslah dapat menjadi renungan dan menggugah kesadaran seluruh Warga Bangsa Indonesia bahwa Pancasila sangatlah penting sebagai Falsafah Dasar Negara Indonesia karena merupakan Petunjuk Agung Berkebangsaan Indonesia dan Pemersatu Bangsa

Merujuk prinsip falsafah dasar bernegara (filoshopische grondslag) yang disampaikan oleh Founding Father Bung Karno dalam pidatonya dihadapan Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menawarkan prinsip Kebangsaan; Internasionalisme /Kemanusiaan; Mufakat/Demokrasi; Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan yang beliau sebut sebagai 5 (lima) dasar atau Pancasila.

Lima Prinsip Dasar itulah kemudian menjadi sila-sila yang kita warisi saat ini dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai sumber hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan disahkannya sebagai dasar atau ideologi negara pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak kemudian berarti revolusi Indonesia menuju peradaban yang lebih maju selesai.

Menurut Bung Karno, bahwa kemerdekaan hanyalah sebagai jembatan emas menuju Indonesia Sejahtera. Serangkaian pemberontakan dan teror politik atas Ideologi Pancasila harus dihadapi pemerintahan Presiden Ir.Soekarno hingga harus mengakhiri kekuasaannya pasca peristiwa 1965, karena penggulingan kekuasaan dari campur tangan pihak CIA di Indonesia.

Puncaknya Reformasi 1998 menjadikan Rezim Otoritarian dan Militerisme menjadi musuh bersama untuk ditumbangkan, kekuatan reformasi yang dipelopori oleh Mahasiswa dan Pemuda; namun celakanya Pancasila ikut menjadi “korban”.

Pancasila yang harusnya menjadi way of life nya Bangsa Indonesia dalam fase membangun nation and character building kembali menjadi “kering” karena tak ada gerakan serius Pasca Reformasi yang bertekad Membumikan Pancasila dengan Murni dan Konsekuen.

Saat ini Indonesia masuk dalam fase demokrasi liberal yang sungguh nyata meluluh lantakkan peradaban, Manusia serta Kemanusian, yang nyata menjauhkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari nilai-nilai dasar Pancasila yang begitu Luhur dan Agung penuh akan Kemuliaan dan Cita Rasa Asli KeIndonesian.

Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni seharusnya benar-benar menjadi filosophische grondslag Indonesia Raya seperti yang semestinya diamanatkan oleh Founding Father Bung Karno bahwa Pancasila harus menjadi penuntun prilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi setiap Warga Bangsa di Republik Indonesia dari Sabang sampai dengan Merauke.

Lalu, Yang pertama-tama harus dan wajib dilakukan adalah mengembalikan keIndonesian kita yang terus tergerus dari waktu ke waktu dan harus ada gerakan serius untuk membumikan Pancasila dari Sabang hingga Merauke secara komprehensif, dan terukur, karena Pancasila lah yang menyatukan kita sebagai sebuah bangsa, karena Pancasila adalah merupakan jati diri dan identitas kita sebagai sebuah bangsa

Dan Pemuda harusnya mendapatkan kepercayaan yang lebih dimana tidak selalu menjadi objek akan tetapi selayaknyalah dan sepantasnya dipercayakan berada pada garda terdepan pembangunan yang berkarakter, yakni nation and character building sebagaimana amanat Founding Father bangsa ini.

Juga, Meletakkan pemuda dan kaum muda tidak lagi hanya sebagai objek pembangunan tapi sudah saatnya dijadikan sebagai subyek daripada pembangunan itu sendiri. Karena regenerasi pasti terjadi dan tidaklah mungkin dapat ditolak apalagi dielakkan dan saatnya orang muda diberikan kepercayaan lebih untuk ikut andil dalam regulasi kepemimpinan nasional. (*)

Penulis seorang aktivis dengan beragam pengalaman: Ketua Umum Pimpinan Pusat BM Hipmikindo; Sekeretaris Nasional Aliansi Organ Relawan Pendukung Joko Widodo – Ma’ruf Amin Poros Benhil; Aktivis ’98; Alumni GMNI Jakarta; dan Wakil Ketua DPD Banteng Muda Indonesia provinsi Jawa Barat.

Editor (+rony banase)