Bangkitkan NTT dari Desa

Loading

Oleh : Tristy.W.Ulas.Jati, S.S.T.

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Nusa Tenggara Timur (NTT) bangkit menuju masyarakat sejahtera merupakan visi yang sering digadang-gadang oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat. Oleh sebab itu, menjadi penting untuk memperhatikan program apa saja yang kelak akan dilakukan dalam rangka pembangunan daerah.

Seperti diketahui bahwa selama ini kota merupakan tempat yang dituju oleh sebagian besar orang untuk mendapatkan pekerjaan layak dan mengubah nasib. Kota dianggap tempat yang modern dan dinilai lebih maju. Selain karena memiliki banyak sarana dan prasarana yang memadai, banyak hal menjanjikan lain yang mendorong orang untuk pergi ke kota.

Fenomena kesenjangan pembangunan antara kota dan desa pun masih terus terjadi hingga kini. Desa yang seharusnya menjadi garda terdepan pembangunan daerah, malah cenderung makin terlupakan dan ditinggalkan.

Gambaran mengenai kondisi desa dapat dilihat dari angka kemiskinannya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2018 sekitar 21 persen penduduk NTT masih dikategorikan miskin, yaitu sejumlah 1,1 juta orang. Jika dilihat lebih rinci, kemiskinan di daerah pedesaan (24 persen) lebih besar dari daerah perkotaan (9 persen). Melihat angka ini tentunya menjadi jelas bahwa pekerjaan rumah pemerintah daerah dalam rangka menekan angka kemiskinan harus difokuskan pada kemiskinan di desa.

Fakta lainnya adalah pertanian merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di desa. Dari sudut pandang makroekonomi, pertanian memberikan kontribusi terbesar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT sekitar 28 persen.

Jika ingin memacu pertumbuhan ekonomi NTT, maka tentu salah satunya dengan berfokus pada pengembangan sektor pertanian. Kenyataannya, sektor pertanian tidak bergerak menuju sektor unggulan wilayah. Berdasarkan data Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018, petani di NTT sejumlah 0,8 juta orang justru 59,47 persennya merupakan petani pada usia 45 tahun ke atas. Kurang dari 50 persen petani berada pada rentang usia muda di NTT.

Ada apa dengan fenomena anak muda yang tidak ingin menjadi petani? Ini yang harus digali lebih dalam permasalahannya.

Tantangan berbeda bagi pemerintahan daerah yaitu mengenai desa terluar. Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 menetapkan sebanyak 111 pulau kecil terluar, 7 pulau terluar ada di NTT. Menurut Pendataan Potensi Desa (PODES) 2018, terdapat 294 desa dari pulau terluar NTT. Merupakan jumlah paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia mengenai desa terluar. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan daerah untuk memajukan desa terluar. Desa terluar merupakan representasi wajah Indonesia. Desa terluar harus menjadi desa mandiri yang menunjukkan daerah maju, bukan wajah daerah yang tertinggal.

Data Potensi Desa

Desa-desa di Indonesia diklasifikasikan kedalam tiga kelompok menurut tingkat perkembangannya. Kelompok tersebut yaitu desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Klasifikasi tertinggi tentunya adalah desa mandiri, dimana di Provinsi NTT hanya 0,30 persen. Desa mandiri sendiri dapat dilihat dari kemudahan warga dalam menikmati layanan dasar, kualitas infrastruktur yang baik, aksesibilitas/transportasi terjangkau, pelayanan umum memuaskan, serta terpenuhi penyelenggaraan pemerintah.

Mimpi besar kita tentunya mewujudkan seluruh desa di NTT menjadi desa mandiri. Desa-desa mandiri inilah yang nantinya akan menjadi motor penggerak percepatan pembangunan. Namun, pembangunan desa melalui desa mandiri harus dilakukan dengan hati-hati. Dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai realitas geografis, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di setiap desa.

Potensi wilayah yang ada di desa harus dimaksimalkan untuk menuju desa mandiri. Bicara pembangunan desa akan terdengar omong kosong tanpa kita tahu potret jelas mengenai setiap desa!. Melalui pemetaan potensi dari seluruh desa dapat diturunkan jenis program yang sesuai bagi setiap desa. Untuk itu perlu kita tahu mengenai data potensi desa di NTT.

Pendataan PODES yang dilakukan BPS dapat dijadikan dasar perencanaan pembangunan desa. Data PODES memberikan informasi tentang kondisi geografis desa, beragam aspek kependudukan dan ketenagakerjaan, keadaan sosial budaya masing-masing desa, informasi mitigasi bencana alam, kondisi infrastruktur desa, situasi lingkungan hidup, termasuk sumber-sumber pencemaran.

Gambaran benderang mengenai desa bisa didapatkan dan memudahkan pemangku kebijakan membuat program untuk membangun desa.

Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dihasilkan dari PODES 2018 yang dirilis pada Desember tahun lalu menyebutkan banyaknya desa tertinggal sebesar 35,89 persen, desa berkembang 63,81 persen, dan desa mandiri sebesar 0,30 persen. Jika dibandingkan dengan PODES 2014, banyaknya desa tertinggal berkurang 16,15 persen. Tentunya ini merupakan sebuah pencapaian cukup bagus bagi pemerintah daerah yang dalam kurun waktu 4 tahun berhasil mengentaskan banyak desa tertinggal. Kerja keras dari pemerintah daerah yang didukung oleh masyarakat dan semua pihak terkait tentunya harus terus dilanjutkan dengan membuat desa berkembang dan tertinggal menuju desa mandiri.

Pembangunan dari desa juga merupakan salah satu prioritas program pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Prioritas tersebut tercatat dalam nawa cita ketiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa.

Kali ini desa merupakan subjek dari pembangunan nasional. Kucuran dana yang bersumber langsung dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dana desa terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2019 digelontorkan dana sebesar Rp 70 triliun, naik dari tahun 2018 yang sebesar Rp 60 triliun. Momentum dukungan pemerintah pusat ini tak boleh dilewati oleh pemerintah daerah dalam membangun desa.

Dana desa merupakan angin segar bagi deru nafas percepatan pembangunan desa. Namun, dana desa juga berpotensi menjadi bumerang bagi pemerintahan desa, jika pemanfaatannya tidak cermat dan penuh kehati-hatian. Alih-alih membuat desa menjadi mandiri justru menjerat perangkat desa menuju jeruji.

Untuk itu, penyaluran dana desa harus diiringi dengan penguatan pendampingan dari para petugas yang ditunjuk sebagai pendamping desa. Hal ini agar perencanaan dan penyerapan dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian maka pemanfaatan dana desa dapat maksimal.

Menuju Desa Mandiri

Kewenangan desa dalam mengelola aset, potensi, dan kekuatannya tentu tidak bisa berjalan sendiri begitu saja. Butuh perencanaan yang matang dari pemerintah daerah dalam mengarahkan kewenangan ini. Perencanaan dalam bentuk program kerja berbasis data. Pemetaan potensi dan kekuatan desa kemudian dieksekusi dengan dukungan penggunaan dana desa yang cermat dan penuh kehati-hatian.

Sektor pertanian, sebagai sektor primer merupakan sektor basis bagi desa tertinggal dan desa-desa perbatasan di wilayah NTT. Diperlukan pengembangan potensi-potensi pertanian yang ada di desa dengan meningkatkan produktivitas di hulu yang dapat menciptakan agroindustri.

Komoditas pertanian yang selama ini sudah menjadi andalan NTT seperti jagung dan sapi menuntut adanya pengembangan industri berbasis peternakan sapi dan perkebunan jagung. Pengembangan tersebut diharapkan dapat memunculkan banyak komoditas unggulan yang dihasilkan dari setiap desa.

Sebagai provinsi kepulauan terdapat banyak desa berbatasan langsung dengan laut. Pembangunan ekonomi desa berbasis maritim tentunya juga tidak boleh dilupakan, melalui pengembangan industri perikanan dan kelautan.

Untuk menunjang pengembangan sektor unggulan tersebut, dibutuhkan integrasi mengenai keterkaitan antar sektor yang berhubungan. Tak lupa juga untuk meningkatkan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam rangka mendukung semua perencanaan pada pembangunan daerah.

Promosi mengenai potensi desa dari masing-masing sektor unggulan harus terus dilakukan. Hal ini dapat membangun kemitraan dengan banyak pihak, sehingga masyarakat terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan daerah ini.

Untuk itu, mari kita berangkat dari desa untuk NTT sejahtera!. (*)

Penulis merupakan Fungsional Statistisi pada Badan Pusat Statistik (BPS) NTT

Editor (+rony banase) Foto istimewa : Mahasiswa Magang Faperta Undana Prodi Agribisnis di Lahan Pertanian Organik Terpadu di Desa Matani Kabupaten Kupang