Diare Penyakit Terbanyak Kedua di NTT : Ubah Kebiasaan Atasi Diare

Loading

Oleh: Josephin N. Fanggi, S.S.T.

Kupang-NTT, Garda Indonesia | “Ah, sonde apa-apa, aman sa”. Itulah kata yang sering terdengar apabila kita diingatkan untuk menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan. Suatu pemandangan yang biasa kita lihat di provinsi tercinta kita ini.

Hal-hal beresiko seperti setelah memegang benda kotor, buang air besar, memegang makanan sisa untuk makanan ternak babi, bermain di tempat kotor hanya mencuci, tangan dengan air atau menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik (anti kuman).

Kenyataan lain yang kita hadapi adalah masalah sampah dimana 4 (empat) kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk dalam 11 kota terkotor di Indonesia, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

Hal yang perlu disadari adalah bahwa kebersihan tubuh dan lingkungan erat kaitannya dengan kesehatan tubuh kita. Kondisi ini sejalan dengan kenyataan yang terjadi di wilayah kita ini. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, jumlah kasus diare di Provinsi Nusa Tenggara timur adalah terbanyak kedua setelah kasus malaria.

Menurut data Potensi Desa (Podes) Tahun 2018 dalam publikasi Statistik Potensi Desa Indonesia 2018 terdapat 198 desa/kelurahan mengalami wabah penyakit diare, terbanyak kedua setelah penyakit Demam Berdarah.

Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air besar, dengan kondisi tinja yang encer. Biasanya diare hanya berlangsung beberapa hari (akut), namun pada sebagian kasus dapat memanjang hingga berminggu-minggu (kronis). Pada umumnya, diare tidak berbahaya jika tidak terjadi dehidrasi. Namun, jika disertai dehidrasi, penyakit ini bisa menjadi fatal, dan penderitanya perlu segera mendapat pertolongan medis.

Beberapa kebiasaan yang dapat membuat seseorang lebih rentan terkena diare adalah jarang mencuci tangan setelah ke toilet, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak bersih, jarang membersihkan dapur dan toilet, sumber air yang tidak bersih, makan makanan sisa yang sudah dingin, dan tidak mencuci tangan dengan sabun yang mengandung anti kuman.

Fasilitas Tempat Buang Air Besar dan Sarana Kesehatan

Salah satu syarat agar sanitasi rumah baik adalah memiliki fasilitas tempat buang air besar atau wc. Apabila rumah tidak memiliki tempat buang air besar maka anggota rumah tangga cenderung membuang hajat (kotoran) di sembarang tempat, seperti sungai, kebun/tanah lapang, dan lain-lain.

Tempat buang air besar berguna untuk menjaga lingkungan sekitar bersih, sehat, tidak berbau, tidak mencemari sumber air di sekitarnya, dan mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare.

Apabila seseorang terjangkit penyakit diare parah sehingga mengalami dehidrasi dan tidak ditangani secara cepat maka dapat menimbulkan kematian. Hal ini dapat terjadi pada daerah yang terletak jauh dari tenaga atau fasilitas kesehatan dan tidak diketahui cara penanganan tradisional oleh warga (oralit).

Menurut data Potensi Desa (Podes) Tahun 2018, sebanyak 168 desa/kelurahan sebagian besar keluarganya membuang hajat bukan di jamban, dari 3.353 desa/kelurahan, hanya 1.030 desa/kelurahan yang terdapat Pusekesmas Pembantu, 967 yang terdapat Poskesdes.

Pencemaran Lingkungan

Pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air, tanah atau udara. Menurut data Potensi Desa (Podes) Tahun 2018, 122 desa/kelurahan mengalami pencemaran air, 30 desa/kelurahan mengalami pencemaran tanah, 147 desa/kelurahan mengalami pencemaran udara 3.136 desa/kelurahan tidak ada pengolahan/daur ulang sampah/limbah. Dari 2.007 desa/kelurahan yang memiliki sungai, 105 desa/kelurahan mempunyai sungai yang menjadi tempat buangan limbah dari pabrik/industri/rumah tangga/lainnya.

Hal-hal ini mengindikasikan bahwa tidaklah mengherankan apabila diare menjadi penyakit terbanyak kedua di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah desa dikatakan menjadi desa siaga apabila memiliki satu poskesdes sehingga penanganan setiap warga yang mengalami gangguan kesehatan bisa dilakukan secara cepat.

Selain itu, menjadi kebiasaan masih ada warga yang membuang hajat bukan di jamban (seperti sungai, tanah), air di desa/kelurahannya tercemar, dan sungai di desa/kelurahannya menjadi tempat buangan limbah dari pabrik/industri/rumah tangga/lainnya.

Kebiasaan adalah hal yang dilakukan secara berulang dalam suatu komunitas dalam jangka waktu tertentu. Hal ini berarti ada proses penyesuaian atau adaptasi diri seseorang terhadap hal tersebut dan karena telah terjadi dalam jangka waktu yang lama sehingga menjadi pembiasaan bagi orang tersebut.

Yang menjadi permasalahan adalah apabila kebiasaan tersebut menyangkut hal-hal yang salah. Karena terjadi dalam waktu yang lama sehingga orang tersebut menunda dan enggan untuk mengubahnya.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa kebiasaan ini tidak dapat diubah. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengubah kebiasaan.

Pertama, Berani untuk mengubah kebiasaan, tanpa mengambil langkah berani untuk mengubah maka kita cenderung untuk menunda atau malah enggan melakukannya.

Kedua, Mulailah perubahan tersebut dengan menggugahnya dalam hati, pikiran dan perasaan kita. Temukan kebiasaan benar, kita harus mengetahui kebiasaan yang benar untuk kebiasaan yang salah tersebut.

Ketiga, Komitmen adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Komitmen berarti kita harus tetap melakukan kebiasaan tersebut walaupun adanya rintangan dan halangan. Komitmen bisa dikuatkan dengan memikirkan atau membayangkan akibat yang terjadi apabila kebiasaan yang salah itu dipertahankan.

Keempat, Bersabar dan jangan menyerah, suatu kebiasaan apalagi yang sudah lama atau mengakar tidak bisa diubah secara instan. Hal ini memerlukan rentang waktu. Namun, apabila dilakukan secara terus menerus seperti halnya “kebiasaan yang lama” awalnya maka “kebiasaan baru” tersebut akan menjadi autopilot dalam otak atau orang tidak lagi berpikir untuk melakukannya (spontan).

Selain cara mengubah kebiasaan di atas, perlu adanya campur tangan dari pihak lain agar perubahan kebiasaan bisa terarah dan terjadi. Keikutsertaan tersebut adalah edukasi dari tenaga kesehatan, pihak terkait, atau masyarakat sekitar yang mengerti kebiasaan yang benar tersebut dan pengawasan secara berkesinambungan dari pihak-pihak di atas ditambah RT/RW, pendamping desa/kelurahan. (*)

Penulis merupakan ASN di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT
Editor (+rony banase)