Tokoh Papua: Ada 4 Akar Masalah Papua, Nomor 3 Patut Diwaspadai

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Tokoh Papua Barat, Willy Hegemur menyebutkan ada 4 (empat) isu penting yang menjadi akar masalah di Papua yang patut disikapi secara bijak oleh pemerintah.

Willy menyatakan itu dalam acara dialog yang digelar oleh Solidaritas Pemuda Papua dan Ras Melanesia di gedung Balai Pustaka dengan tema ‘Merajut Kebersamaan NKRI Harga Mati’.

Menurut Willy, empat akar masalah Papua tersebut adalah soal diskriminasi dan marginalisasi masyarakat Papua, nasionalisme Papua, state crime and human violation, dan kecemburuan sosial.

“Keempat akar persoalan Papua ini harus disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah, jika tidak ingin Papua lepas dari NKRI yang kita cintai ini,” ujar Willy, di gedung Balai Pustaka, pada Sabtu, 31 Agustus 2019.

Terkait isu diskriminasi dan marjinalisasi Papua, kata dia, pemerintah selama ini seakan acuh terhadap persoalan krusial ini.

“Padahal, kalau mau jujur, masalah diskriminasi dan marginalisasi ini telah lama dirasakan warga Papua, khususnya mereka yang berada di perantauan. Namun, pemerintah melihat persoalan ini sebelah mata,” tutur Sarjana Teknik itu.

Willy pun mengajak seluruh komponen bangsa untuk belajar banyak dari pengalaman diskriminasi di Afrika dan Amerika Serikat. Sebab, kata dia, dengan mempelajari pengalaman pahit itu, bangsa ini semoga terhindar dari persoalan serupa.

“Kita tidak ingin masalah diskriminasi ini terus berlarut di NKRI tercinta ini, cukuplah pengalaman pahit itu terjadi di Afrika dan Amerika, tapi jangan lagi di negeri tercinta ini,” cetusnya.

Masalah kedua yang tak kalah penting ialah soal Nasionalisme Papua. Menurutnya, pandangan Nasionalisme Indonesia memiliki pemaknaan berbeda dengan yang diyakini warga Papua.

“Jika nasionalisme yang digaungkan para pendiri bangsa adalah Nasionalisme Indonesia yang melingkupi tanah air dari Sabang sampai Merauke, maka yang dipahami masyarakat Papua, justru Nasionalisme Papua itu sendiri,” ucap tokoh Papua Barat itu.

Perbedaan persepsi inilah, ucap Willy, selalu menjadi gesekan yang berbuntut pada keinginan masyarakat Papua untuk menjadi sebuah bangsa sendiri dengan segala harkat dan martabat yang mereka yakini.

Persoalan ketiga, dan yang paling problematik, yakni tentang state crime and human right violation (kekerasan negara dan masalah hak asasi manusia di Papua – red).

Willy menjelaskan, kondisi kemanusiaan yang ada di Papua selama ini begitu mengenaskan. Ini disebabkan pendekatan negara yang terlalu mengandalkan cara-cara militerisme dalam menyelesaikan masalah di Papua.

“Pendekatan militeristis dalam menangani persoalan Papua justru menimbulkan masalah HAM yang cukup serius di Papua,” tandasnya.

Willy meminta kepada pemerintah agar menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menyentuh konflik yang terjadi di Papua.

“Pemerintah harus menggunakan cara yang lebih halus dan lebih manusiawi agar tidak memicu konflik serius di tanah Papua,” ungkapnya.

Isu yang terakhir kata Willy adalah masalah kecemburuan sosial. “Faktor kecemburuan sosial menjadi penyebab meletupnya kerusuhan beberapa hari belakangan ini,” katanya.

Kecemburuan sosial ini, ujar Willy, dipicu oleh keabsenan negara, dalam hal ini Presiden Jokowi untuk mengunjungi beberapa daerah penting di Papua, seperti Fakfak.

“Presiden hanya mendatangi beberapa tempat dalam lawatannya, sementara di Fakfak tidak pernah dikunjungi. Ini juga yang melahirkan kecemburuan di masyarakat yang berujung pada kerusuhan di Fakfak beberapa waktu lalu, sebelum merembet ke yang lain,” pungkasnya.

Terakhir, Willy meminta kepada seluruh masyarakat yang mendiami Ibu Pertiwi ini agar mengakui dan menghargai ‘keberbedaan’ Papua, baik itu karena kulitnya, maupun seluruh identitas sosial-budaya yang melekat pada Papua.

“Kami hanya butuh diakui, saya bahkan bangga sebagai Negro-Indonesia. Apakah negara juga ikut bangga?” tutupnya.(*)

Sumber berita (*/HRS—Tim IMO Indonesia) Editor (+rony banase)