Merawat Akal Sehat dalam Berdemokrasi

Loading

Oleh Muhammad Syukur Mandar, S.H., M.H.

Jakarta, Garda Indonesia | Indonesia adalah bangsa besar, bangsa yang merdeka dari kekuatan rakyat, direbut dengan tumpahan darah dan jiwa juang yang tinggi oleh para pahlawan di medan laga tanpa pamrih.

Kini usia bangsa tak lagi muda, meski segenap agenda kebangsaan yang tersirat dalam falsafah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, belum ditunaikan oleh para pemimpin bangsa.

Umpamanya, Pasal 33 UUD 1945, tujuan dan cita-cita bangsa yang nyata belum dicapainya. Padahal kemakmuran bagi seluruh Rakyat Indonesia adalah nawa cita pendiri bangsa. Seluruh jiwa dan raga pejuang ditumpahkan bukan sekadar merebut kemerdekaan, melainkan juga untuk mencapai kemakmuran sebagai sebuah bangsa.

Kini jiwa raga bangsa ini terus dilaga, terkoyak antara aksi kepalsuan atas cita- cita dan kesungguhan mengapai nawa cita. Para pemimpin bangsa dituntut bersikap kesatria. Menorehkan mata melihat jiwa rakyat yang terus & semakin merana.

Kemiskinan datang tak henti dan perlahan lahan merenggut satu persatu nyawa anak bangsa. Menghilangkan banyak harapan anak ibu pertiwi. Tapi tak ada getar getir demonstrasi mahasiswa yang meradang, begitu pula nasib pengungsi Wamena (akibat rusuh) dan pengungsi Maluku (akibat gempa) yang tak terurus dengan baik oleh mereka yang seharusnya mengurus.

Tapi juga tak ada suara riak nan lantang mahasiswa atas nama ketidakadilan. Banyak anak cucu Ibu Pertiwi menjerit oleh jepitan ketidakadilan, Mereka yang ditindas bencana nyaris tersiksa oleh duka dan lara di medan pengungsian.

Sementara pada sisi lain, para pejuang masa kini atas nama demokrasi angkat bicara soal narasi kebangsaan yang lantang atas sandiwara politik senayan. Demonstrasi sana sini sibuk digelar, berjatuhan korban anak cucu bangsa yang tak kuasa menahan air mata.

Lalu mengapa kita begitu cinta pada bangsa dan siapkan jiwa raga sebagai taruhannya?, oleh karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang dilahirkan oleh Ibu Pertiwi melalui perjuangan keras di medan laga.

Hari ini nyaris nyata benturan antara akal sehat dan kekerasan di depan mata, dalam narasi demonstrasi & perang akal sehat. Semua atas nama bangsa, semua atas nama negara, seolah berdiri pada tujuan yang sama, tetapi nyata pada posisi yang berbeda.

Siapa diantaranya Nakula dan siapa sebagai Sadewa?, tak mampu kita membedakannya. Kita seolah kehilangan petunjuk akan nawa cita leluhur (the founding fathers).

Presiden pun dibuat nyaris hilang nyali, mungkin tak biasa atau takut menjadi bara demonstrasi mahasiswa, Perpu dipandang perlu untuk direvisi, revisi seolah jawaban nyata bagi akal sehat berantas korupsi. Batalkan Perpu menjadi tuntutan sejumlah agenda yang disuarakan mahasiswa.

Roh negara besar (big country) hampir berubah dan terancam menjadi negara barbar (barbaric country). Negara barbar adalah Negara yang napas pemerintahannya ditentukan di jalanan oleh tekanan masa. Ini bukanlah anugerah melainkan sebagai insentif bencana masa datang buat negara dan anak cucu bangsa.

Tak ada yang salah bila rakyat bersuara, mengkritik yang dianggap keliru olehnya dan tidak sepatutnya, tapi tak juga harusnya pemerintah menjadi gampang meradang, dan tanpa narasi ikut tekanan massa.

PERPU adalah suatu produk yang luar biasa pentingnya pada suatu negara hukum. Perpu mahal harganya bila digadaikan, dengan harga sebuah demonstrasi. Demonstrasi adalah soal demokrasi dan Perpu adalah soal wibawa bernegara. Pada sisi ini kita seolah menjawab teka teki silang dan harus mengisinya, meskipun pada soal yang tak ada jawabnya.

Bukan soal setuju atau tidak, atau sekadar ada atau tidak adanya Perpu, tetapi Perpu harus dilahirkan atas kondisi darurat hukum dan sejenisnya pada sebuah bangsa dan negara. Tak harus menjadi pintu keluar dari tuntutan massa, Perpu harus menjelma sebagai suatu kekuatan istimewa sebuah produk hukum negara yang kehadirannya mampu menyelamatkan kondisi negara dalam darurat. itulah falsafah adanya sebuah Perpu sebaliknya perlu tak kita harapkan hadir menyelinap di tengah teriakan kerumunan massa.

Bahwa jika Perpu dikeluarkan karena desakan massa demonstrasi, maka tidak saja preseden buruk bagi kelangsungan hukum dan pemerintahan dalam kita bernegara. Cerita ini akan memiliki efek sosio politik dan menjadi tradisi baru bernegara dan akibatnya ke depan bangsa kita terbiasa menyelesaikan masalah bangsa dengan cara-cara jalanan. Kita akan hilang dari falsafah musyawarah mufakat yang mencirikan kita sebagai Negara Pancasila. (*)

Penulis (*/Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum)
Editor (+rony banase)