Tolok Ukur Pariwisata NTT Lewat Urusan Toilet

Loading

Oleh Karolus Ngambut

Memperingati Hari Toilet Sedunia pada 19 November tahun 2019

Saya menduga tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 19 November adalah Hari Toilet Internasional (World Toilet Day) disingkat ‘WTD’. Toilet bagi banyak orang mungkin identik dengan jamban atau kakus, tapi sebenarnya toilet itu merupakan satu bangunan yang terdiri atas jamban, dan dilengkapi dengan tempat cuci tangan, namun dalam ulasan selanjutnya tulisan ini saya lebih banyak menggunakan toilet yang berarti jamban atau kakus.

Peringatan WTD telah dicanangkan oleh PBB pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mengampanyekan, memotivasi dan menggerakkan masyarakat tentang pentingnya sanitasi. Mengapa kampanye toilet penting? Data dan fakta menunjukkan masih banyak masyarakat belum mepunyai akses yang layak terhadap urusan sanitasi atau toilet, meskipun pemerintah telah berhasil meningkatkan akses sanitasi yang layak di masyarakat dalam kurun waktu belakangan ini.

Akses sanitasi layak merupakan salah satu target pembangunan berkelanjutan (Sustainable development Goals / SDGs), juga menjadi target pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014—2019. RPJMN 2019 bahkan telah menetapkan target universal sanitasi dan buang air besar sembarangan sebesar nol persen pada tahun 2019. Target tersebut belum tercapai, buktinya data pada situs online STBM SMART, akses sanitasi layak baru di Indonesia baru mencapai 77,91%.

Badan Pusat Statistik merilis data nasional pada tahun 2018 yaitu sebanyak 69,27% rumah yang mempunyai akses sanitasi yang layak. BPS NTT juga merilis data akses sanitasi masyarakat di NTT, yaitu 12,3% masyarakat NTT menggunakan jamban cemplung, 5,35% menggunakan jamban plengsengan dengan tutup dan 12,67% menggunakan jamban plengsengan tanpa tutup. Indikator akses sanitasi layak adalah jika rumah tangga memiliki jamban berjenis leher angsa. Dengan menggunakan kriteria tersebut, maka kelompok masyarakat yang menggunakan jamban cemplung dan plengsengan termasuk kategori akses sanitasi yang tidak layak.

Tahun 2018, Bank Dunia merilis laporan kerugian ekonomi di Indonesia akibat sanitasi yang buruk sebesar Rp.56 Triliun atau sekitar 2,3% dari PDB Indonesia akibat dari hilangnya hari produktif masyarakat karena sakit yang berhubungan dengan sanitasi misalnya diare. Sanitasi layak juga berhubungan dengan kejadian stunting (balita pendek di banding dengan umurnya). Beberapa kajian ilmiah menyimpulkan bahwa sanitasi mempunyai kontribusi positif terhadap kejadian stunting di beberapa negara di dunia. kontribusi sanitasi cukup besar yang saat ini menjadi prioritas nasional yang buruk juga berdampak pada bidang pariwisata yang sangat berpotensi menghambat upaya mendongkrak pariwisata.

Sebagaimana dikatahui bahwa pemerintah provinsi NTT menetapkan sektor pariwisata sebagai sebagai penggerak utama (Pime Mover) pembangunan menuju NTT Bangkit dan Pemerintah NTT telah menetapkan beberapa tempat destinasi wisata unggulan di Provinsi NTT.

Hasil pengamatan lapangan, kondisi toilet umum di tempat pariwisata di NTT belum dikelola dengan baik sehingga timbul bau dan kotor. Hal ini terjadi karena pentingnya menjaga kebersihan toilet masih diabaikan. Padahal toilet merupakan kebutuhan pokok manusia. Diperlukan kesadaran dari berbagai pihak untuk menjaga kebersihan toilet. Banyak penyakit yang bisa ditimbulkan akibat toilet kotor, kondisi toilet umum menciptakan citra positif destinasi, dan menjadi bagian penting dalam upaya meningkatkan daya saing pariwisata. Sehingga Toilet memang bagian tak terpisahkan dari higienitas dan hospitality (keramahtamahan dalam menerima tamu).

Toilet yang kotor tentu memberi kesan buruk pada destinasi wisata kita. Dampaknya, wisatawan dan pengunjung enggan datang ke lokasi yang sama. Dampak lebih mencelakakan adalah para wisatawan yang telah datang kemudian tidak akan merekomendasikan teman dan handai taulannya untuk datang ke destinasi wisata.

Contoh Toilet Higienis

Pemerintah Provinsi NTT terus berusaha meningkatkan daya saing pariwisata di NTT. Kegiatan strategis yang akan di lakukan adalah menggelar ‘Festival Toilet Umum Bersih”. Ajang ini diharapkan dapat mendorong para pengelola pariwisata dan pemerintah senantiasa merawat dan menjaga kebersihan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan, khususnya kebersihan serta mendorong masyarakat untuk lebih peduli dalam menggunakan toilet umum.

Meningkatnya mutu pelayanan pengelolaan toilet di tempat wisata tentu menjadi cerminan budaya dan jati diri masyarakat NTT, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing pariwisata di NTT di tingkat nasional nasional maupun internasional.

Peningkatan Akses Toilet melalui Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)

Konsep pendekatan STBM sejalan dengan model pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara utuh sejak persiapan sampai pada evaluasi (deklarasi). Konsep pendekatan STBM yang merupakan upaya mendorong masyarakat untuk mengubah perilaku dalam bidang sanitasi dan menyediakan sarana sanitasi yang difasilitasi oleh para tenaga sanitarian.

Konsep pendekatan pembangunan sanitasi melalui pendekatan STBM berhasil mengubah perilaku masyarakat dalam bidang sanitasi, dengan tag line ‘tanpa subsidi’, saat ini menurut pandangan saya, masyarakat diserang dengan berbagai nilai – nilai pembangunan ‘value attack’ yang juga membuat masyarakat menjadi bingung karena beberapa skema kegiatan yang dijalankan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya kerap kali menawarkan bantuan langsung yang diberikan kepada masyarakat, meskipun bantuan tersebut di bungkus dengan kata stimulus.

Hasil kajian yang dilakukan pokja AMPL dengan Pengda HAKLI Provinsi NTT yang didukung oleh UNICEF tentang hambatan pelaksanaan air minum dan sanitasi di NTT adalah :

Pertama, Dasi sisi kebijakan, ditemukan bahwa belum bersinerginya peraturan yang terkait dengan sanitasi pada setiap perangkat daerah di tingkat provinsi, selain itu belum tersedianya kebijakan dan strategi tentang layanan sanitasi aman, Visi penghapusan Buang Air Besar (BAB) sembarangan belum selaras dengan perilaku individu, belum adanya kebijakan yang mengatur dan mendorong layanan sanitasi yang berkelanjutan;

Kedua, Dari sisi kelembagaan ditemukan bahwa peran dan akuntabilitas kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap upaya sanitasi di NTT belum didefinisikan dan dioperasionalkan dengan jelas, belum adanya pendampingan yang optimal kelembagaan pokja AMPL di tingkat kabupaten, dan koordinasi antara pemangku kepentingan belum dilakukan secara optimal;

Ketiga, Dari sisi ketersediaan anggaran, ditemukan bahwa anggaran sanitasi yang ada di beberapa perangkat daerah belum optimal, dana kampanye dan sosialisasi tentang sanitasi masih terbatas. Perhatian pada prioritas pendanaan juga penting untuk perhatikan. Hasil kajian yang di lakukan Pokja AMPL menunjukkan bahwa Rerata belanja pemerintah untuk memenuh kebutuhan air minum dan sanitasi di NTT hanya kurang lebih Rp.16.000,- per jiwa per tahun, lebih kecil dari tahun 2013 yang mencapai Rp.66.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap isu air bersih dan sanitasi masih perlu mendapat perhatian;

Keempat, Dari sisi perencanaan juga masih kurang, antara lain koordinasi untuk memaksimalkan penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masih terbatas.

Kelima, Dari sisi monitoring , evaluasi dan pembelajaran juga masih terdapat kekurangan yakni koordinasi pelaksanaan monitoring masih terbatas, baik terbatas pada evaluasi program juga pihak yang terlibat dalam melakukan evaluasi.

Keenam, Terkait pengembangan kapasitas SDM, ditemukan bahwa pengembangan SDM khususnya sanitarian di lini depan layanan sanitasi belum maksimal, masih ada puskesmas yang belum memiliki sanitarian. Di tempat lain, suksesnya program sanitasi didukung juga oleh ketersediaan tenaga sanitasi, bahkan sampai ke desa-desa.

Ketujuh, Dari sisi kepemimpinan lokal, belum optimalnya keterlibatan tokoh kunci dan tokoh lokal di masyarakat, misalnya pimpinan umat komunitas.

Kedelapan, Dari sisi penciptaan norma sosial tentang sanitasi menunjukkan peran media massa masih terbatas untuk mengampanyekan isu sanitasi.

Jalan keluar yang perlu dilakukan adalah

(1). Perlunya koordinasi kebijakan serta komunikasi kebijakan terkait dengan sanitasi sampai ke level paling bawah di masyarakat;

(2). Pelibatan masyarakat dalam urusan sanitasi menjadi sangat penting, masyarakat tidak dianggap sebagai ‘klien’ sebagai penerima manfaat saja, tetapi masyarakat diikutsertakan dalam pelaksanaan pembangunan sanitasi. Konsep pendekatan pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pelanggan atau klien terbukti telah gagal mencapai tujuan pembangunan, karena itu pendekatan yang melibatkan masyarakat penerima manfaat menjadi strategi yang tepat untuk mencapai kesuksesan dan keberlanjutan program sanitasi. Pelibatan kelompok masyarakat lokal dalam tatanan sosial kemasyarakatan misalnya kelompok gereja menjadi amunisi yang sangat kuat dalam mencapai tujuan pembangunan sanitasi.

(3). Pembangunan yang berorientasi pada pendekatan ekonomi dan politik ternyata tidak cukup memberikan manfaat terhadap capaian pembangunan. Para ahli menekankan pendekatan pembangunan dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat termasuk di dalamnya adalah aspek sosial budaya. Sebab dari beberapa pengalaman juga menunjukkan bahwa beberapa fasilitas sanitasi yang dibangun dari dana pemerintah maupun bantuan LSM tidak dipelihara dan dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

(4). Peluang penggunaan dana desa untuk pembangunan sanitasi telah terbuka lebar, melalui Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 tahun 2019 merupakan salah satu momentum terbaik dalam upaya peningkatan akses sanitasi dan air bersih di masyarakat.

Walaupun sanitasi adalah ‘urusan belakang’ namun pembangunan sanitasi akan berdampak pada pembangunan Pariwisata NTT dalam mewujudkan kualitas manusia di Provinsi NTT. Manfaat dari investasi dalam bidang sanitasi berdampak pada 10—20 ke depan, ketika generasi yang saat ini lahir akan tumbuh menjadi dewasa dan menjadi produktif. Karena itu menatap masa depan pariwisata kita melalui ‘urusan belakang’ perlu diperhatikan. Selamat Hari Toilet Internasional. (*)

Penulis merupakan Staf Akademik Jurusan Sanitasi Poltekkes Kemenkes Kupang

Editor (+rony banase)