Perlunya Pengembangan Lembaga Keterampilan di Provinsi NTT

Loading

Oleh Josephin N. Fanggi, S.ST.

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar ketiga di Indonesia sebesar 21,03 persen pada Semester II tahun 2018 [Data Badan Pusat Statistik (BPS)]. Berdasarkan piramida penduduk, sebagian besar penduduk berada pada usia muda.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Bulan Agustus Tahun 2018 yang dilakukan oleh BPS terdapat 3,01 persen penduduk dari penduduk angkatan kerja yang berstatus pengangguran. Berdasarkan data Sakernas di atas, sebagian besar pengganggur berpendidikan SMA ke atas, yaitu 76,92 persen.

Selain itu, sebagian besar penduduk yang bekerja berpendidikan SD ke bawah, yaitu 56,77 persen. Hal ini berarti tingkat pendidikan pengangguran sudah baik/tinggi, sedangkan tingkat pendidikan sebagian besar penduduk yang bekerja masih rendah. Permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya ketersediaan lapangan usaha sesuai pendidikan penganggur dan produktivitas bekerja yang rendah. Dengan produktivitas yang rendah maka upah yang diperoleh pekerja juga rendah.

Josephin Fanggi, S.ST

Lalu, apakah kita harus menunggu tersedianya lapangan pekerjaan dan bekerja dengan keterampilan yang kurang baik? Berbagai fasilitas telah disediakan pemerintah untuk bagi warga negara yang ingin berwirausaha. Contoh fasilitas tersebut adalah bantuan modal (bantuan peralatan dan perlengkapan, kredit dana melalui bank dengan bunga rendah (kredit usaha rakyat), dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) untuk penduduk Kota Kupang, dana desa yang dikelola melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Josephin Fanggi (paling kiri) bersama teman ASN BPS Provinsi NTT

Dengan adanya fasilitas tersebut akan sia-sia jika penduduk yang memperolehnya tidak memiliki keterampilan yang bagus. Dengan keterampilan yang bagus akan menghasilkan produk yang bagus. Pengembangan keterampilan akan menumbuhkan percaya diri bagi yang mempelajarinya karena telah memberikan gambaran dan ilmu pengetahuan tentang usaha yang akan dilakukannya.

Selain itu, akan mengasah bakat-bakat terpendam yang sering kali tidak bisa ditempuhnya karena putus sekolah dan tidak tersedia di lembaga pendidikan formal. Bakat yang disertai dengan pelatihan dan proses pembelajaran secara terus-menerus akan menjadikan seseorang ahli untuk hal tersebut. Pendidikan yang ditempuh penganggur sering tidak sesuai dengan potensi sumber daya yang ada di desanya.

Untuk jenis lapangan usaha industri, modal kecil, tempat usaha kurang strategis, peralatan secukupnya, apabila produknya bagus maka usaha orang tersebut tetap akan sukses. Untuk jenis lapangan usaha perdagangan, modal besar tetapi jika keterampilan marketingnya tidak bagus maka usaha tersebut tidak berlangsung lama.

Banyak cara atau program yang telah dilakukan oleh pemerintah, contohnya adalah program yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Ketenagakerjaan, yaitu program kursus dan pelatihan. Program ini terdiri dari berbagai kursus dan pelatihan di berbagai bidang, seperti pelatihan agrobisnis, tata boga, teknik kelistrikan, teknik otomotif, perikanan, industri, garmen, pariwisata, tata rias, seni, fotografi, administrasi, perpajakan, sekretaris, mengemudi.

Bila dilihat dari data Podes tahun 2018 dalam Publikasi Statistik Potensi Desa Indonesia 2018, terdapat 3.184 desa yang tidak memiliki lembaga keterampilan. Karena banyak penduduk yang masih dalam kategori miskin maka diharapkan untuk adanya lembaga keterampilan yang ada di desa untuk menghemat biaya pelatihan (transportasi, penginapan, dan makan minum).

Program yang diadakan oleh pemerintah adalah Desa Vokasi dan 4in 1.

Desa Vokasi
Program Desa Vokasi dimaksudkan untuk mengembangkan sumber daya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dengan memanfaatkan potensi lokal. Melalui program Desa Vokasi ini diharapkan dapat membentuk kawasan desa yang menjadi sentra beragam vokasi, dan terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang memanfaatkan potensi sumber daya dan kearifan lokal. Dengan demikian, warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumber daya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat.

4 in 1
Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) diselenggarakan melalui pendekatan “4 in 1”, sesuai dengan tahapan :

  1. Analisis peluang kerja
    Pada tahap ini, diidentifikasi lowongan kerja dan peluang usaha;
  2. Kursus dan pelatihan kerja
    Untuk mengisi lowongan kerja diberikan kursus keterampilan. Sedangkan untuk menciptakan usaha diberikan pendidikan kewirausahaan dan keterampilan;
  3. Uji kompetensi/sertifikasi
    Sebagai jaminan bahwa kursus dan pelatihan yang diberikan dipelajari dengan baik maka diadakan uji kompetensi. Sebagai bukti pernah mengikutinya diberikan sertifikat bagi yang mengikutinya;
  4. Jaminan penempatan lulusan
    Setelah selesai mengikuti kursus dan pelatihan, peserta dapat memperoleh pekerjaan dan menciptakan lapangan usaha karena telah adanya identifikasi lowongan pekerjaan yang tersedia dan peluang usaha yang bisa tercipta terlebih dahulu.

Program pertama di atas cocok diterapkan di desa karena keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal dan mengingat keterbatasan biaya penduduk di wilayah ini sehingga dapat menyejahterakan penduduk dan mengembangkan desa tersebut secara berkesinambungan. Bahan mentah yang dimiliki di desa tersebut diolah menjadi barang siap dikonsumsi dengan nilai jual yang lebih tinggi dan dipasarkan dengan menggunakan teknologi sehingga memberikan penjualan yang lebih banyak. Selain itu, bisa menjadi sarana konsultasi berkelanjutan bagi warga mengenai pengembangan sumber daya di desa tersebut.

Pada program yang kedua terdapat identifikasi lowongan kerja dan jaminan penempatan lulusan. Selain itu, adanya uji kompetensi/sertifikasi yang merupakan jaminan bagi perusahaan yang memperkerjakannya dan usaha sendirinya. Mengingat bermanfaatnya lembaga keterampilan dan cocok dengan kondisi di wilayah ini maka diperlukan perhatian serius mengenai keberadaan lembaga keterampilan secara konsisten dan berkesinambungan di wilayah ini oleh pemerintah. (*)

Penulis merupakan ASN BPS Provinsi NTT
Editor (+rony banase)