Mengapa Jakarta Selalu Banjir?

Loading

Oleh: Dr. Andang Bachtiar

Ada berbagai pertanyaan masyarakat tentang kondisi subsurface (bawah permukaan tanah kota Jakarta), kondisi gerakan tanah dan kegempaan di wilayah yang menjadi ibukota republik ini. Jawabannya, teluk Jakarta adalah daerah ketinggian tektonik yang membuat lempeng tanah di wilayah ini turun terus menerus.

Setidaknya, demikian pendapat pakar Geologi DR. Andang Bachtiar. Pendapat itu dikemukakan oleh mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu dalam Focuss Group Discussion (FGD) tentang Peluang dan Tantangan Ruang Bawah Tanah DKI Jakarta, pada 20 Desember 2012 lalu, di Hotel Milineum Jakarta.

Acara diskusi itu diikuti oleh puluhan pakar geologi, geofisika, geoteknik, geodesi, geodinamik, konstruksi, air tanah, dan kegempaan antara lain, Prof Jan Sopaheluwakan (LIPI), Prof Hasanuddin Z. Abidin (ITB), Prof. Herman Moechtar (Badan Geologi), Dr. Asrurifak mewakili Prof Masyhur Irsyam (ITB), Dr. Agus Handoyo (ITB), Dr. Agus Guntoro (Trisakti), Dr. Danny Hilman (LIPI), Irm Ali Djambak MT (Trisakti), Ir. Wahyu Budi (Badan Geologi), Dr. Imam Sadisun (ITB), Dr. Widjojo Prakoso (UI), Dr. Firdaus Ali (UI), Prof Robert Delinom (LIPI), Ir. Rovicky D.P MSi (IAGI), perwakilan dari Kimpraswil, BMKG dan BIG-Bakosurtanal.

Ada beberapa poin penting yang dikemukakan Adang. Beberapa diantaranya cukup mengejutkan karena di luar pengetahuan yang selama ini dipahami masyarakat. Jakarta atau lebih tepatnya Teluk Jakarta adalah kota yang didiami sebagai daerah Ketinggian Tektonik. Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas.

Yang terjadi, justru malah sebaliknya. Banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata air di pantai dan Teluk Jakarta. Kandungan air agak payau di air tanah dalam adalah karena percampuran dengan air perasan dari lempung-lempung pengapit di atas dan di bawah akwifer karena proses kompaksi biasa, bukan karena intrusi air laut.

Data isotop juga menunjang kesimpulan tersebut. Di pinggiran laut seperti di Muara Baru sampai ke Ancol, tentu saja, air tanah bebas dangkal dan air permukaan dipengaruhi oleh pasang surut air laut di sana.

Sebenarnya sejak 2002 hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) telah menyosialisasikan hasil temuan ini. Hasil isotop dan pemetaan sifat kimia air tanah seluruh daerah DKI Jakarta selama 10 tahun terakhir, makin menguatkan kesimpulan tersebut.

Kurangnya sosialisasi tentang hal ini ke masyarakat sehingga informasi tersebut tidak tersampaikan dengan baik. Sementara sebagian birokrasi dan masyarakat menganggap hal ini tidak memiliki konsekuensi apa-apa ke depan.

Pada lapisan yang di-dating sebagai Mid-Holocene atau berumur geologi sekitar 4—5 ribu tahun yang lalu, garis pantai mundur sampai di selatan Monas yang menyebabkan diendapkannya lapisan sedimen laut dengan air asin di dalamnya. Kalau kasusnya seperti itu maka memang air di dalam akwifer tersebut sudah asin dari asalnya, dan sering disebut juga sebagai connate water. Kedalaman lapisan-lapisan tersebut lebih dari 300—400 meter-an di daerah Jakarta Pusat dan makin mendangkal ke selatan.

Teluk Jakarta adalah ketinggian lokal. Sementara dari pantai teluk Jakarta ke arah darat ke selatannya adalah berposisi rendahannya yaitu “West Ciputat Low.” Oleh karena itu, meskipun ada 13 sungai mengalir membawa sedimen ke arah Teluk Jakarta, tetap di teluk Jakarta tidak terbentuk delta.

Karena itu, sedimen-sedimen yang di bawah sungai-sungai itu sebagian besarnya diendapkan di rendahan Ciputat Barat, yaitu di daratan Jakarta yang secara geomorfologi disebut sebagai “Dataran Banjir Jakarta”. Maka, ketika masuk ke Teluk Jakarta sungai-sungai itu hanya menyisakan suspensi halus dan arus sungai yang lemah. Ini menjawab pertanyaan, mengapa ada dataran banjir Jakarta.

Rencana pembangunan sea-wall di Teluk Jakarta seharusnya memperhitungkan konstelasi tektonik sedimentasi tersebut. Sea-wall harus dibangun di blok yang selalu naik yang mungkin terletak menjorok ke dalam teluk. Bukan di lokasi pantai yang sekarang. Kalau posisinya tidak tepat maka dalam jangka panjang (>50 tahun) sea-wall itu juga akan terus tenggelam!

Demikian juga dengan reklamasi (pengurukan) Teluk Jakarta. Seyogianya memperhitungkan garis batas ketinggian dan rendahan tersebut. Kalau posisi area yang diuruk ada di selatan garis batas, maka reklamasi akan ambles terus. Hasil survei GPS Prof Hasanuddin dari ITB juga menunjukkan penurunan maksimum di bagian selatan daerah Muara Baru sampai ke Ancol. Kebijakan reklamasi harus dimodifikasi, dikawal dengan mendelineasi daerah-daerah yang akan sia-sia saja kalau direklamasi.

Pada bagian lain, potensi gempa tektonik di Jakarta. Kepulauan Seribu sebagai kelurusan utara dari ketinggian Ciputat-Tangerang selalu bergerak naik secara tektonik. Teras-teras terumbu yang berkembang di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu itu adalah buktinya.

Demikian juga daerah sepanjang garis imajiner Ciputat-Ujung Teluk Naga. Adang menyebut, daerah tersebut adalah tektonik yang selalu naik. Teras-teras sungai di sepanjang aliran Sungai Cisadane membuktikan gerak tektonik naik tersebut. Adanya slicken side, offset, pergeseran di sedimen-sedimen pleistosen

Hal ini membuktikan patahan-patahan Jakarta bisa aktif sewaktu-waktu dalam masa kwarter ini. Ini menjawab bahwa Jakarta memiliki patahan yang bisa aktif sewaktu-waktu. Jadi bukan hanya ancaman dari Selat sunda dan sesar sekitar Jakarta saja yang menjadi potensi rusaknya Jakarta akibat gempa.

Sebagai tindakan preventif mitigasi bencana gempa bumi dengan adanya indikasi-indikasi patahan aktif tersebut. Adang menyebut, saat ini sedang diusahakan untuk membuat mikrozonasi gempa di Jakarta sampai ke level 4 yaitu skala 1:25.000. Dengan demikian, bangunan-bangunan yang didirikan di DKI Jakarta nantinya bisa mengacu pada peta mikrozonasi tersebut untuk desain dan konstruksinya sehinga ramah gempa.

Lantas, bagaimanakah Masa depan Ibukota negara ini? Merujuk pada konstelasi tektonik Tersier dan Kwarter yang ada, secara geologi teknik masa depan DKI adalah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang merupakan daerah ketinggian yang lebih aman daripada dataran banjir Jakarta yang selalu turun.(*)

Sumber (*/Tim IMO Indonesia)
Editor (+rony banase)