Gelar Bahtsul Masail, PP Muslimat NU Bahas Pencegahan Perkawinan Anak

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Di Indonesia masih sangat sedikit pengetahuan mengenai Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM) pada anak perempuan. Akibatnya, penyebab dan dampak MKM pada perempuan belum banyak dipahami. Menstruasi bisa menyebabkan anak absen dari sekolah bahkan bisa sampai drop out.

Menstruasi juga akan berdampak terhadap kondisi kesehatan anak. Anak perempuan yang telah mengalami menstruasi menunjukkan organ reproduksinya sudah matang. Artinya anak tersebut bisa melakukan hubungan seksual dan dapat menjalani kehamilan.

Pada masyarakat sosio ekonomi rendah dengan pengetahuan yang minim, seringkali orang tua mengawinkan anaknya pada usia kanak-kanak atau di bawah 18 tahun, padahal anak belum siap secara fisik dan mental.

Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia angka perkawinan anak di bawah umur terus meningkat.

Dalam laporan “Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda” yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), United Nations Children’s Fund (UNICEF), dan PUSKAPA UI pada Februari 2020, menunjukkan bahwa pada tahun 2018 Sulawesi Barat memiliki prevalensi tertinggi (19,43%) sementara Jawa Barat memiliki angka absolut tertinggi yang diperkirakan mencapai 273.300 perkawinan anak. Pada tahun 2018, sekitar 11% atau 1 dari 9 perempuan berumur 20—24 menikah sebelum berusia 18 tahun dan sekitar 1% atau 1 dari 100 laki-laki berumur 20—24 menikah sebelum berusia 18 tahun. Diperkirakan ada 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum berumur 18 tahun.

Pernikahan anak terjadi baik di daerah pedesaan maupun perkotaan serta meliputi berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang. Pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama atau karena kehamilan.

Alasan orang tua menyetujui pernikahan dini seringkali dilandasi oleh ketakutan akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat tali kekeluargaan. Selain itu, pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya yang telah mapan, sehingga sulit untuk mengubahnya. Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas.

Pernikahan anak akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan anak yakni terhadap pendidikan, kesehatan, psikologi dan kemiskinan. Anak yang menikah dini akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi. Hal ini tentunya merenggut hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Perempuan umur 20—24 tahun yang menikah sebelum umur 18 tahun memiliki kemungkinan empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan yang menikah setelah umur 18 tahun.

Dari sisi kesehatan, komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak adalah penyebab utama kematian perempuan berumur 15 sampai 19 tahun. Bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20—29 tahun.

Berdasarkan persoalan di atas, Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama dengan UNICEF (United Nations Children’s Fund) Indonesia menggelar Bahtsul Masail “Pencegahan Pernikahan Usia Anak” di Jakarta pada tanggal 14—16 Februari 2020.

Acara dihadiri dan dibuka oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Ketua Periodik PP Muslimat NU Hj. Siti Aniroh, Keynote Speaker Muslimat NU Yenny Wahid, beserta Tubagus Arie Rukmantara perwakilan UNICEF Indonesia.

“Pelaksanaan Bahtsul Masail ini momentumnya sangat pas karena menjadi salah satu tindak lanjut dari diluncurkannya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak yang dilaksanakan oleh pemerintah,”ujar Menteri Bintang dalam sambutannya. “Target pemerintah ialah menurunkan perkawinan anak dari 11,2 persen ke 8,74 persen pada tahun 2024. Apresiasi yang tinggi kepada UNICEF dan Muslimat NU karena mendukung upaya pemerintah. Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat kita, saya juga mendorong Kemendagri untuk melahirkan kebijakan-kebijakan daerah, serta mendorong Kemendesa untuk menggunakan dana desa dalam rangka pencegahan perkawinan anak”.

“Perkawinan anak memiliki dampak yang buruk seperti menyebabkan stunting, kecemasan memiliki bayi karena tidak siap, dan mengakibatkan penurunan Indeks Pembangunan Manusia. Kita perlu menyampaikan pemahaman dengan bahasa rasional dan emosional. Agama dipercaya efektif untuk mengubah sikap masyarakat karena dapat menyentuh secara emosional. Bahtsul Masail menjadi landasannya karena masyarakat Indonesia ini masyarakat beragama”, ujar Yenny Wahid saat dimintai keterangan.

Tubagus Arie Rukmantara, perwakilan UNICEF Indonesia yang hadir menambahkan bahwa target yang saat ini dimiliki pemerintah untuk menurunkan perkawinan anak sangat krusial untuk didukung. “Tentu upaya Muslimat NU ini patut kita apresiasi. Organisasi keagamaan ini kontribusinya sangat kuat karena umatnya berjumlah jutaan. Bisa kita lihat jika pencegahan perkawinan anak diikuti oleh seluruh umatnya, maka pencapaian terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk menyelamatkan anak-anak perempuan kita akan dapat tercapai.” terang Arie.

Dewan Pakar Bahtsul Masail PP Muslimat NU Hj Mursyidah Thahir, menyatakan bahwa pihaknya ingin mengambil peran penting dalam pencegahan pernikahan anak melalui kegiatan Bahtsul Masail dan pembuatan buku pedoman pencegahan pernikahan pada anak. Nantinya, buku tersebut disosialisasikan pada ibu-ibu muslimat NU di seluruh Indonesia.

“Kami ingin menggalang komitmen bersama antara penentu kebijakan pemerintah pusat dan daerah dan Muslimat NU, khususnya warga Muslimat NU, pesantren, majelis taklim serta stake holder untuk isu Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Pencegahan Pernikahan Anak,” kata Hj Mursyidah dalam sambutannya.

Ia berharap, dengan berperannya Muslimat NU dalam program ini, angka prevalensi pernikahan anak di Indonesia dapat menurun secara signifikan, diskriminasi terhadap gender dapat terhapuskan sehingga tercipta generasi bangsa yang cerdas, sejahtera, dan berkualitas. Hal itu disebutnya sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), yakni menghapus semua praktik berbahaya, termasuk perkawinan anak pada 2030.

100 orang peserta yang terdiri dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, dan Pimpinan Cabang Muslimat NU dilibatkan untuk mengikuti sesi selama 3 hari. Mereka berasal dari tokoh agama, pakar kesehatan, tokoh sosial, serta tokoh dan pimpinan Muslimat NU dari provinsi dan daerah yang angka pernikahan anaknya tinggi. Bappenas, Tulodo, Rumah KitaB,

Rekomendasi untuk umat akan disusun dan dibacakan di akhir acara.

Forum bahtsul masail ini mendatangkan sejumlah narasumber dari MUI Pusat, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan RI, Kementerian Agama RI, PP Muslimat NU, UNICEF, dan Pengadilan Agama (PA). (*)

Sumber berita (*/Press release oleh: Muslimat NU)
Editor: DFU