Saputangan Kafan Buat Tuan Corona

Loading

Oleh Marsel Robot

Tuan Corona!

Hanya saputangan dari kafan yang kumiliki
Buat membaringkan kata dan doa menjelang keberangkatan
Dan menghapus darah pada ujung tombak takdir
Terbukalah tabir, aku tak punya apa-apa
Dan tak pernah lebih dari apa-apa
Saputangan kafan menghapus belati dan di hati
Dari doa sebentuk cari muka paling klasik

Tuan Corona!

Hanya saputangan kafan yang kumiliki
Menyapu nyanyian requiem dari benua ke benua
Atas perjalanan saudaraku menuju kelam
Hari-hari ini bulan bercahaya darah dikepung tangisan
Kamboja kuburan berbunga duka
Spoi suara piano di ruang rutin ditelan pusara
Jalan pulang ke rumah lebih jauh daripada ke kuburan
Dan atas bukit, gereja kecil tergelincir oleh air mata
Mungkin suara semesta
yang sedang mengukur jarak antara dia dan kita
Kemudian menyegel takdir di pintu kintal cakrawala

Tuan Corona!
Hanya saputangan kafan yang kumiliki
Mengusap kematian sebagai keindahan sakremental
Yang begitu sentimental di atas sabda
kala semesta memulai berfirman dengan wabah
Kerlap api unggun di tengah kota menjanda

Perjalanan kembali ke dalam diri teramat terjal
Tersedak oleh lahar lendir libido beracun
Kehidupan terasa berada di atas koral
Menjadi padang nestapa mengerikan
Sebab, diriku jauh lebih jahat dari jenis wabah saja di muka bumi
Mungkin, akulah wabah ini?

Tuan Corona!
Hanya saputangan kafan yang kumiliki
Menghalau samar pada geladak kala pulang di bawah gerimis tangis
Setelah doa-doa dilarutkan demi melebutkan tanah kubur
Kutitipkan piring, gelas, senduk, dan mantra di atas pusara
Biar matahari terbenam dalam kafan basah
Sebab, Aku belum mampu pergi dengan tegar ke dalam sunyi
Atau belum mampu menjemput kelam dengan senyum
Selain mengantar mawar hitam di tepi makam yang lebam
Mengeja keberangkatan menuju bunda kesunyian (*)

*/Penulis merupakan Sastrawan dan Dosen FKIP Undana Kupang

Foto oleh boneog.com