Ketidakadilan dalam Keadilan Hukum di Indonesia

Loading

Oleh Dr. Gradios Nyoman Rae, S.H., M.H.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat). Sebagai afirmasi dalam bagian awal tulisan ini; Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuatan belaka (Machtsstaat). Konteksnya di sini adalah kedaulatan selalu berada di tangan negara sebagai pengambil keputusan final dalam upaya penegakkan keadilan di dalam sebuah negara.

Problem utama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Terpidana Korupsi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ternyata telah bebas dengan gembira dari Lapas Sukamiskin Bandung. Sebuah lapas yang megah berdiri di tengah Kota Bandung. Memang namanya saja SUKA MISKIN akan tetapi, bagi penulis di dalamnya dihuni oleh para Koruptor yang secara hukum telah terbukti melakukan tindakan pidana korupsi yang tentunya “tidak miskin” seperti nama lapas tersebut. Di Lapas Sukamiskin, banyak berkumpul para koruptor, dan lapas tersebut tidak terlepas dari sorotan awak media akibat para terpidana secara bebas keluar masuk lapas tanpa ada pengawalan dan/atau adanya kepentingan yang urgensi.

Di sana pula, menjadi tempat perkumpulan orang kaya dengan fasilitas yang super mewah.

Sebuah pertanyaan yang menohok adalah: Ada apa dengan negara, yang memberikan Remisi kepada M. Nazaruddin sesuai ketentuan sebuah keadilan hukum?

Pemberian remisi dari negara kepada mantan bendahara Partai Demokrat ini dinilai sebagai suatu sikap mengkhianati penegakan hukum dalam sebuah negara hukum (Rechtsstaat) yang sangat menghargai dan menghormati supremasi hukum di Indonesia di mana Indonesia adalah sebuah negara yang sangat menjunjung tinggi supremasi hukum.

Kebijakan Negara

Kebijakan negara dalam hal ini kebijakan seorang Menteri Hukum dan HAM yang sangat fenomenal. Menteri Yosona Laoly telah memberikan remisi atau pengurangan masa tahanan terpidana secara istimewa kepada Saudara. M Nazaruddin, seorang terpidana yang terkenal sebagai buronan yang melarikan diri keluar negeri dari kejaran penyidik KPK beberapa tahun silam.

Remisi itu sendiri diatur di dalam undang-undang dan Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 dalam pasal 1 ayat (1) dan ayat (6), ketentuan ini hanya berlaku bagi tindakan pidana anak dan bulan korupsi. Terhadap Korupsi tetap berlaku PP No. 9 Tahun 2012 yang masih berlaku dan sampai saat ini belum ada wacana untuk direvisi.

Pada saat ini kita dikejutkan kembali dgn kebijakan inkonsisten yang melanggar ketentuan UU dilakukan oleh Yasona Laoly memberikan remisi 49 bulan kepada M. Nazaruddin. Kebijakan ini tentunya membuat para pemerhati korupsi dan ICW meradang dan mengecam keras. Atas sikap dan reaksi ini, mewajibkan Yasona Laoly dengan sadar menganulir kembali kebijakan yang sangat melukai hati rakyat dan para penegak hukum dalam hal ini KPK dan Polri.

Yasona Laoly telah menabrak ketentuan hukum karena telah diketahui oleh umum, dan berdasarkan ketentuan hukum bahwa terhadap kejahatan Korupsi para terpidana dalam kejahatan seperti ini, tak diberikan hak istimewa remisi atau bebas bersyarat.

Namun, anehnya oleh Laoly dengan gagah dan berani mengabaikan ketentuan-ketentuan yang telah menjadi hukum positif di negara kita (Rechtsstaat) dengan kekuasaan absolutnya yakni memberikan remisi secara istimewa kepada Terpidana bernama M. Nazaruddin selama 49 bulan atau 4 tahun 1 bulan.

Sebuah keanehan yang betul-betul aneh, memang aneh!. Saudara Yasona Laoly memang sudah melakukan hal yang aneh, dalam sejarah pemberantasan korupsi. Yasona Laoly pun telah mengabaikan hukum dan keadilan.

Tindakan Yasona Laoly telah melunturkan semangat para penegak hukum, yang selama dalam beberapa tahun terakhir telah memberantas dan terus berupaya memberantas tindakan korupsi dari para koruptor sampai akar-akarnya tanpa pandang bulu.

Yasona mengabaikan Undang-undang (UU) dan semangat rakyat. Dia telah mengingkari sumpah jabatan dan melanggar konstitusional khusus mengatur persamaan hak di hadapan hukum. Apakah Yasona Laoly semestinya sadar dan tahu bahwa negara kita ini adalah negara hukum (Rechtsstaat) bukan negara kekuasaan absolut (Machtsstaat)?. Dengan tahu dan mau, Yasona Laoly mengubah sistem pengadilan negara Inodenesia yang Rechtsstaat menjadi Machtsstaat.

Sebuah pertanyaan yang segera menyusul adalah apakah Yasona Laoly dalam hal ini telah menderita sakit ingatan atau autis, karena UU yang dibuat oleh para pendahulu sebagai bentuk keseriusan dalam menyikapi para pelaku korupsi yang sudah secara masif dengan tidak memberikan Hak Remisi atau cuti apa pun. Korupsi di Indonesia sudah menjadi peristiwa luar biasa (extra ordinary crime) yang harus ditegakkan secara serius.

Yasona Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM, sebagai pejabat negara telah meruntuhkan semangat penegakan hukum dan merangsang kembali para pelaku korupsi untuk melakukan korupsi secara bebas. Yasona Laoly pun dalam hal ini, tidak menghargai lembaga lain yakni KPK dan Polri sebagai gerbang terdepan melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan segala risiko hukum termasuk menerima institusinya di praperadilan dalam setiap langkah penangkapan dan penahanan.

Jika kita merujuk pada peraturan perundang-undangan Pasal 34 ayat (1) peraturan pemerintah No. 99 Tahun 2012 secara eksplisit menegaskan “syarat terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi adalah bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar perkara pidana yang dilakukannya, JC (justice colaborator). Sementara, di dalam tahap penyidikan-penuntutan sampai putusan, Saudara M. Nazaruddin yang terkenal dengan sikap melarikan diri ini tidak pernah menunjukkan sikapnya untuk mendukung para penegak hukum dalam membongkar para kejahatan korupsi lainnya, dengan mengajukan dirinya sebagai JC (justice colaborator).

Ada apa dgn Yasona Laoly dalam hal ini..? “Hanya Malaikat yang Tahu.”

Yasona Laoly, secara normatif, seharusnya tahu dam paham bahwa kebijakannya telah bertentangan dengan UU, lebih dari itu secara psikologis melukai hati penegak hukum (KPK) dan rakyat yang telah menggantungkan harapannya agar Korupsi di Indonesia harus diberantas secara tuntas.

Selain itu, jika kita merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, lalu dikaitkan dengan posisi Muhamad Nazarudin adalah sebagai pelaku utama, maka wajib hukumnya pengadilan menolak permohonan JC (Justice Colaborator) yang diajukan oleh M. Nazaruddin apalagi Remisi.

Kembali ke problem utama yakni pemberian remisi ala Yasona Laoly ada indikasi dan patut diduga ada konspirasi tingkat tinggi padahal ada dua perbuatan korupsi yang dilakukan Muhammad Nazaruddin, pertama menerima suap dari korporasi dan yang kedua adalah korupsi yang merugikan uang negara puluhan miliar.

Sudah seharusnya juga dalam hal ini, Presiden Jokowi bisa membentuk tim khusus pencari fakta yang independen agar dapat membuka apa motifnya di balik remisi yang fenomenal ini. Jokowi pun harus bisa membuktikan bahwa dirinya sangat peduli dalam soal tindakan pidana khusus ini. Terkait dengan hal ini, sebetulnya pak Jokowi bisa membuktikan tentang apa yang pernah beliau sampaikan dalam pidato ketika kampanye. Tidak hanya slogan, frasa yang hanya sekadar menarik hati para pemilih dalam konteks politik.

Hal yang dijalankan oleh Yasona Laoly tentang remisi atau cuti menjadi preseden buruk yang tidak berpihak pada semangat pemberantasan dan mengesampingkan efek jera bagi para pelaku yang serakah mencuri uang rakyat.

Halo Yasona Laoly di mana keadilan yang mau dicapai? Jika tujuan hukum sebagai sarana keadilan, maka menjadi adil jika saudara M. Nazaruddin akan menghirup udara bebas pada tahun 2024, bukan saat ini.

Remisi gaya Yasona Laloy ini sangat mengawatirkan kita semua, akan semakin tumbuh subur korupsi di Indonesia yang menjadi budaya dan tradisi yang dapat ditransformasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Perlu diingat bahwa Indonesia telah menjadi bagian negara yang turut dalam konvensi internasional dalam pemberantasan korupsi. Sudah seharusnya kerja sama secara internasional dapat terjalin baik dan korupsi di Indonesia seminimal mungkin dan bahkan pada waktu akan datang tidak lagi terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif.

Ditambah lagi dan masih dalam ingatan kita bahwa kasus wisma atlet dapat diungkap oleh KPK dalam masa Partai Demokrat berkuasa, tentunya upaya hukum yang dilakukan KPK tidak mudah harus membasmi para birokrat yang sedang berkuasa. Ini pekerjaan tak mudah, para penggiat korupsi, LSM dan masyarakat layak memberikan apresiasi kepada KPK dan Polri pada masa itu.

Sejarah telah mencatatnya bahwa tindakan Nazaruddin tidak hanya menerima suap dari korporasi tetapi juga merugikan uang negara yang bersumber dari pungutan pajak masyarakat kecil menengah sampai kelas atas.

Pembebasan Nazaruddin sungguh menggemparkan dunia internasional. Yasona Laoly memanfaatkan situasi Covid-19 sebagai momentum di mana rakyat hanya berfokus pada masalah kesehatan dianggap tidak lagi peduli pada para koruptor yang mau ambil atau rampok uang negara.

Kebijakan remisi ala Yasona Laoly telah menghilangkan akal sehat, meruntuhkan kerangka dan sistem hukum sehingga dalam strategi apa pun, pemberantasan korupsi hanya sebuah angan-angan, karena korupsi akan terus terjadi secara masif.

Semoga segala yang diuraikan dalam tulisan ini bermanfaat bagi kalangan para teoretis terlebih para penegak hukum. Biar Menteri Hukum dan HAM tergugah pula hatinya, untuk bertobat dan menganulir kembali kebijakan remisi bagi koruptor yang perbuatan pidananya berdampak pada ekonomi rakyat dan bahkan eksistensi sebuah negara.

Bagi kalangan luar, pemerhati korupsi, LSM para akademisi tergugah pula untuk memikirkan jalan terbaik dalam pemberantasan korupsi di Indonesia agar terbebas dari segala praktik korupsi yang berkembang menjadi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Banyak waktu dan uang telah terbuang dan dihabiskan untuk memikirkan bagaimana cara pemberantasan korupsi di Indonesia, agar jangan lagi terjadi ketidakadilan dalam keadilan di negara Indonesia yang kita cintai ini. (*)

*/ Penulis merupakan Advokat/Dosen Tetap Universitas Bung Karno dan tidak tetap di Universitas Kristen Indonesia

Editor (+rony banase)