Manajemen Rumah Aman & ‘Shelter’ untuk Peningkatan Layanan bagi Korban TPPO

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Rumah aman dan shelter (penampungan) memiliki peran penting dalam memberi perlindungan terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Destri Handayani, pengelolaan layanan rumah aman atau shelter di Indonesia saat ini masih lebih menitikberatkan pada sisi keamanan korban.

“Secara tidak langsung pelayanan yang menitikberatkan pada sisi keamanan korban ini menimbulkan dampak lain, seperti keluarga atau pendamping korban kesulitan berkomunikasi dengan korban karena adanya aturan yang ditetapkan oleh manajemen shelter,” ujar Destri dalam Webinar Manajemen “Memahami Prinsip Perlindungan dan Penanganan Berbasis Korban” pada Selasa, 28 Juli 2020.

Destri menjelaskan, laporan situasi perdagangan orang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika pada Juli lalu salah satunya mengkritisi manajemen shelter yang dianggap kurang ramah. Sebab, dianggap melanggar hak kebebasan bergerak korban.

“Kritik ini menjadi catatan sendiri bagi Gugus Tugas TPPO agar dalam pelaksanaan tugasnya menekankan pada penghormatan dan pemenuhan hak-hak korban. Isu lain yang juga jadi catatan adalah standar layanan dan manajemen rumah aman, ini penting dibahas supaya layanan shelter kita ke depan menjadi lebih baik,” tambah Destri.

Peningkatan pengelolaan shelter menurut perwakilan Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang Kementerian Sosial, Dian Bulan Sari, dapat dilakukan dengan memperkuat sistem dan standar operasional prosedur (SOP). Misalnya menerapkan SOP Kunjungan Klien, baik untuk keluarga dan instansi terkait, serta persyaratan khusus untuk kondisi pandemi Covid-19. Terkait hal ini, Dian mengimbau agar penerapan SOP harus diperketat.

“Kita harus mengedepankan hak korban dengan membuka komunikasi antara klien dengan keluarga klien. Namun mereka juga harus mengikuti SOP, karena banyak kasus pengunjung mengaku keluarga tapi ternyata agen yang datang untuk mencoba mengintimidasi para korban. Ada juga mengaku dari instansi ternyata Id Card dipalsukan. Pelaksanaan SOP untuk kunjungan harus lebih ketat lagi,” tutur Dian.

Kesusteran Gembala Baik, SR.M Theresia Anita dari Rumah Aman Shelter Perempuan dan Anak Gembala Baik juga ikut membagikan pengelolaan dan tantangan dalam memperbaiki layanan di shelter. Ia merekomendasi agar dalam setiap tahap pendampingan korban, orientasi selalu diarahkan pada kepentingan korban.

“Kami ada assesmen lanjutan, dengan melibatkan klien dalam mengambil keputusan. Poin penting di sini adalah mengedukasi dan memahamkan mereka akan apa yang sebetulnya mereka alami, sehingga diharapkan mereka akan lebih kooperatif dalam proses pendampingan. Agar klien dapat jujur memberikan informasi, kami juga membuat kesepakatan bersama. Kesediaan klien untuk bertemu pengunjung juga perlu dilakukan,” ujar Suster Anita.

Webinar Manajemen “Memahami Prinsip Perlindungan dan Penanganan Berbasis Korban” pada Selasa, 28 Juli 2020.

Di sisi lain Ahli Manajemen Shelter, Margaretha Hanita memberikan perspektif yang berbeda tentang manajemen shelter. Margaretha menekankan pentingnya persepsi yang benar tentang perbedaan antara shelter dan rumah aman.

“Shelter berbeda dengan rumah aman, ini yang harus kita sepakati dulu karena penanganan rumah aman dan juga shelter sering sekali memiliki persepsi yang tidak sama. Di Indonesia itu tidak mudah menyediakan rumah aman. Namanya rumah aman itu ya betul-betul untuk mengamankan saksi dan korban, dalam konteks keamanan korban jangan lupa apa status korban di situ,” kata Margaretha.

Margaretha juga menghimbau agar ketika mengamankan korban sebaiknya pengelola melakukan analisis ancaman. Hal ini berguna untuk melihat sejauh mana ancaman yang diterima korban, karena status korban biasanya adalah saksi kunci yang akan memberikan keterangan di polisi.

“Kita mau menyelamatkan korban untuk penegakan hukum, makanya harus ada koordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Minimal LPSK tahu bahwa bapak dan ibu melindungi korban, supaya bisa berkoordinasi baik dengan APH (aparat penegak hukum). Makanya kami sangat menyarankan jangan asal melindungi korban tanpa adanya surat rujukan dari penegak hukum. Pendamping dan pengelola shelter dan rumah aman juga harus terlatih mengamankan korban,” jelas Margaretha.

Destri menyimpulkan, manajemen atau pengelolaan shelter dan rumah bagi saksi dan/atau korban memiliki kendala dan tantangan tersendiri, namun tidak berarti kita tidak dapat mewujudkan rumah aman dan shelter yang memenuhi standar yang terus menjamin terpenuhinya hak-hak saksi dan/atau korban sesuai dengan asas pelayanan yang berbasis korban. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu disusun SOP pengelolaan shelter dan rumah aman yang lebih detail, dilakukan standarisasi bagi shelter atau rumah aman milik pemerintah, masyarakat, dan organisasi keagamaan, serta pusat perlu melakukan bimbingan teknis kepada shelter dan rumah aman yang ada di daerah. Masyarakat, NGO, organisasi keagamaan juga memiliki peran sangat penting dalam membantu upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem manajemen pengelolaan shelter atau rumah aman baik di pusat maupun di daerah. Sinergitas antara pemangku kepentingan dan penyedia layanan juga penting untuk dilakukan dalam menyediakan akses rumah aman atau shelter sehingga saksi dan/atau korban TPPO dapat terpenuhi hak-haknya selama proses baik pemberian batuan hukum maupun proses reintegrasi dan pemberdayaan.

Upaya peningkatan pengelolaan shelter dilakukan Kemen PPPA melalui webinar bekerja sama dengan IOM (International Organization for Migration) dengan peserta dari lembaga maupun mitra jejaring pengada layanan TPPO di daerah. Webinar kedua ini merupakan rangkaian kegiatan dalam memperingati Hari Dunia Anti Perdagangan Orang, serta upaya pemenuhan hak-hak korban khususnya dalam konteks perbaikan manajemen shelter.

“Upaya perbaikan kita dalam konteks memenuhi salah satu hak korban yaitu hak atas keamanan dan perlindungan bagi korban salah satunya adalah memperbaiki sistem tata kelola shelter. Tentunya ini jadi sinergi kita bersama agar upaya hulu sampai hilir, dari pencegahan hingga penanganan, serta hak-hak korban bisa terpenuhi. Tanpa ada sinergi, tanpa ada kerja sama, tanpa ada koordinasi dan komunikasi yang baik antar kita semua, tentunya kita akan kesulitan di dalam menangani kasus-kasus perdagangan orang,” jelas Plt. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati.(*)

Sumber berita dan foto (*/Publikasi dan Media Kementerian PPPA)
Editor (+rony banase)