Radikalisme Kaum Intoleran Sudah di Depan Pintu Tapi Negara Masih Ragu

Loading

Oleh: Rudi S Kamri

Penyerangan yang berujung tiga orang luka di Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Solo yang terjadi pada Sabtu, 8 Agustus 2020, bagi saya adalah letupan kecil dari rentetan peristiwa tragis yang akan berujung pada pusaran bom waktu yang akan membelah negeri ini. Pembiaran yang selalu berulang terjadi semakin menahbiskan suatu realita bahwa negara sering tidak hadir untuk melindungi keberagaman Indonesia.

Pembubaran brutal oleh massa dalam peristiwa malam midodareni (ritual adat Jawa sehari sebelum pernikahan) di kediaman keluarga Habib Segaf di Solo bukan sekadar peristiwa anarkisme semata tapi merupakan ancaman serius terhadap budaya Nusantara warisan adiluhung dari leluhur kita. Kalau aparat keamanan negara melihat kejadian Sabtu malam kelabu di Solo tersebut hanya merupakan kejadian salah paham atau anarkisme semata ini salah besar. Bagi saya kejadian tersebut adalah gerakan intoleransi yang merajalela dan ancaman serius terhadap eksistensi budaya.

Sikap pemaksaan kehendak sekelompok orang dengan menyalahgunakan dalil agama merupakan serangan teror yang masif bagi Kebinekaan Indonesia. Agama sering dibenturkan dengan keragaman budaya. Mereka lupa, jati diri bangsa yang tercermin dari keragaman budaya Nusantara bahkan sudah ada saat agama belum masuk ke negeri ini. Keberadaan agama harusnya menaungi pelestarian nilai-nilai luhur budaya, bukan malah memberangus eksistensinya. Dalam tata kehidupan masyarakat, agama adalah langit dan budaya adalah bumi yang kita diami. Jadi sangat tidak masuk akal kalau ‘langit’ dibenturkan dengan ‘bumi’.

Negara harus hadir melindungi keberagaman budaya Nusantara. Dan sampai saat ini peran negara ke arah itu terlihat masih jauh dari harapan. Setiap ada peristiwa anarkisme yang bersifat intoleran, baik penyerangan ritual budaya maupun gangguan ibadah agama tertentu, aparat negara seolah ragu untuk bertindak tegas. Keraguan ini akhirnya menjadi pupuk subur bagi sekelompok orang untuk tetap melakukan radikalisme.

Beberapa penceramah agama yang memprovokasi masyarakat untuk bersikap intoleran pun seakan dibiarkan menggelar panggung di mana-mana. Pemerintah dari pucuk pimpinan tertinggi sampai pimpinan di daerah hanya sibuk membangun narasi normatif tanpa bertindak apa-apa. Dalam format politik malah terlihat ormas yang memiliki massa besar dan sering bertindak anarkis justru seolah dipelihara. Semuanya untuk hanya sekedar untuk mendapatkan dukungan politik. Yang terjadi ormas-ormas tersebut lebih sering menjadi kelompok penekan untuk meningkatkan posisi tawar.

Sampai kapan gerakan intoleransi dan anarkisme yang bertopeng agama terus merajalela di negeri ini?

Sampai kita menemukan sosok pemimpin negara yang tegas, nasionalis, tidak berpikir pragmatis, tidak membangun politik dinasti dan tegak lurus melindungi Kebinekaan dan nilai-nilai luhur Pancasila. Entah sampai kapan, yang jelas kita sama-sama merindukan sosok pemimpin setangguh itu.

Salam SATU Indonesia