Menilik Pentingnya Daging Ayam “Asuh” di Era Pandemi Covid-19

Loading

Oleh : Alya Azzahra, Mahasiswi Program Studi DIV Statistika Peminatan Sosial Kependudukan Politeknik Statistika STIS

Daging Ayam Sebagai Bahan Makanan Penting Nasional

Sebagai makhluk hidup, manusia tidak bisa lepas dari makanan yang merupakan kebutuhan dasar. Asupan pangan yang dikonsumsi akan menentukan status gizi kuantitas makanan yang dikonsumsi (BPS,2017).

Terkait konsumsi per kapita, terdapat 5 (lima) bahan makanan penting nasional yang konsumsinya berpotensi terus meningkat yaitu: beras, ikan, udang segar, tahu-tempe, telur ayam ras/kampung, dan daging ayam ras/ kampung (Publikasi Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2020—2024), di antara lima bahan makan penting tersebut yang cukup digemari masyarakat adalah daging ayam karena tersedia banyak, mudah didapat, mudah diolah dan harganya terjangkau.

Data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) menyebutkan bahwa sampai September 2019 , potensi kebutuhan daging ayam ras tahun 2019 (Januari—Desember ) adalah sebesar 3.251.745 ton atau rata-rata 270.979 ton/bulan.

Bagaimana Produksi Dan Konsumsi Daging Ayam Di Era Pandemi Covid-19?

Berdasarkan grafik diatas yang dikutip dari publikasi “Peternakan Dalam Angka 2020” Badan Pusat Statistik, terlihat perbedaan pola produksi (supply) dan konsumsi (demand) daging ayam di Indonesia tahun 2020 pada kondisi normal tanpa kejadian luar biasa seperti pandemi (Gambar 1) dan kondisi dengan kejadian luar biasa (Gambar 2) .Jika melihat grafik diatas, pada Juni—Desember terjadi surplus di kedua kondisi , namun kondisi surplus daging ayam lebih signifikan di era pandemi dibandingkan pada kondisi tanpa pandemi. Contohnya pada bulan Juni, permintaan hanya sebesar 161.475.000 ton sedangkan yang diproduksi berkisar 280.000.000-an ton, berarti terdapat surplus sebesar 120.000.000-an ton, begitu seterusnya sampai bulan Oktober. Selisih yang besar ini disebabkan menurunnya permintaan dari dalam negeri.

Menurunnya permintaan tersebut dipicu oleh konsumsi masyarakat selama pandemi yang memiliki tren global memasak dan makan di rumah (Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 2020,BPS) sehingga rumah makan utamanya yang menjual olahan ayam terpaksa mengurangi permintaan daging ayam karena berkurang pula permintaan dari pelanggan.

Namun, meskipun demikian salah satu efek baik dari over supply daging ayam tersebut adalah terciptanya peluang besar untuk meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan untuk pasar domestik bahkan ekspor.

Daging Ayam ‘’ASUH’’ dan Kaitannya dengan Pandemi Covid-19

Menanggapi melimpahnya produksi daging ayam di Indonesia dan terbukanya kesempatan untuk ekspor, maka pemerintah dan dinas terkait dituntut untuk terus menjaga jaminan mutu produk pangan sekaligus meningkatkan daya saing di pasar ekspor. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus terutama memasuki era pandemi Covid-19 yang menuntut masyarakat untuk senantiasa mengonsumsi bahan pangan yang sudah terjamin mutunya demi meningkatkan kekebalan tubuh dari virus.

Salah satu upaya penjaminan mutu daging yang sebenarnya sudah dilakukan Indonesia jauh sebelum pandemi Covid-19 adalah dengan mengampanyekan produksi daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal) yang merupakan daging yang diperoleh dari ayam sehat, dipotong di RPH-U (Rumah Potong Hewan-Unggas) , telah menjalani pemeriksaan ante dan post mortem oleh Dokter Hewan Berwenang atau Paramedik Veteriner dibawah pengawasan Dokter Hewan dan dinyatakan aman serta layak konsumsi.

Konsep “ASUH” tersebut diinisiasi oleh Pusat Darurat Untuk Penyakit Hewan Lintas Batas Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO-ECTAD) pada 2006 sebagai langkah membantu negara anggota FAO termasuk Indonesia dalam merespons krisis penyakit kesehatan hewan lintas wilayah dan mendukung upaya pengendalian Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan penyakit endemis lainnya.

Berdasarkan data hasil pemutakhiran Direktori Perusahan Pertanian (DPP) dan DNRT 2019, menunjukkan bahwa jumlah RPH dan TPH di Indonesia adalah 1.331 yang tersebar di 34 provinsi. Jika mengacu pada data tersebut sudah seharusnya pemerintah dapat mengontrol 1.331 RPH dan TPH ini untuk memaksimalkan produksi dengan tetap menjamin aspek “ASUH” utamanya daging ayam. Meskipun demikian, penyebaran RPH/TPH di Indonesia belum merata karena hampir 40 persen RPH/TPH terdapat di Pulau Jawa yakni sebanyak 514 RPH/TPH.

Wilayah lain yang memiliki distribusi RPH/TPH lebih dari 10 persen adalah Sumatera dengan jumlah 266 (19,98 persen), Sulawesi 199 (14,95 persen), serta Bali dan Nusa Tenggara 140 (10,52 persen). Sisanya berada di Kalimantan sebanyak 116 (8,72 persen), serta Maluku dan Papua sebanyak 96 RPH/TPH (7,21 persen). Melihat distribusi RPH/TPH yang masih terpusat dan belum merata tersebut nampaknya bisa menjadi bahan kajian pemerintah untuk senantiasa memperhatikan industri peternakan di pelosok daerah demi menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional.

Berdasarkan hasil kajian singkat diatas, nampaknya penting bagi pemerintah untuk menilik kembali pentingnya produksi daging ayam dengan standar “ASUH” yang berpotensi besar memberi keuntungan di era pandemi ini mengingat kondisi surplus daging ayam yang memberi peluang besar meningkatkan nilai tambah dan tentu nantinya akan menjadi meningkatkan daya saing di mata pasar ekspor apabila daging ayam dari Indonesia sudah bisa berstandar “ASUH” yang memang krusial dibutuhkan ditengah hiruk pikuk pandemi ini. Namun, semua keputusan dan realisasi kebijakan nantinya tentu bergantung pada pemerintah kedepannya.(*)

Foto utama oleh grid.id