Perempuan Pilar Ketahanan Pangan Keluarga dalam Perspektif Gender

Loading

Oleh : Dra. Bernadeta Meriani Usboko, M.Si. Staf Ahli Gubernur Bidang Kesra

Sebuah Refleksi Peran Perempuan dalam Memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) Ke-40

Rawan pangan tingkat global maupun nasional menjadi isu penting dalam program pangan sedunia World Food Programme (WFP) pada tahun 2020. Masalah pangan dunia diperparah lagi dengan pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia saat ini, yang belum bisa diprediksi sampai kapan berakhir.

Mengutip laporan penelitian dari Lembaga Penelitian Ekonomi Pembangunan Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations University World Institute for Development Economics Research [UNU-WIDER]), menyebutkan bahwa dampak pandemi Covid-19 telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin di seluruh dunia menembus angka 1,1 Miliar orang, dan 395 juta orang diprediksi akan terjerumus ke kondisi ekonomi ekstrem termasuk kekurangan pangan. Di Indonesia, Covid-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin sebanyak 1,63 juta orang. Sehingga jumlah penduduk miskin tercatat 26,42 juta orang.

Bagaimana dengan mereka yang di sana… mereka yang terbatas dalam jangkauan dan terisolasi karena topografi, geografi dan iklim yang tidak menentu…mereka yang terbatas pada kualitas Sumber Daya Manusia dan keterbatasan modal/Sumber Dana..? Mereka yang terkungkung pada kehidupan sosial budaya masyarakat yang mengimpit ruang gerak berusaha, dan mereka yang sedang mengalami masalah sosial ekonomi lainnya yang akan berdampak pada masalah kesehatan, stunting dan masalah pendidikan.

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan merupakan hak asasi setiap orang. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan, jangkauan, kelayakan, dan kesesuaian pangan. Sebagai suatu sistem yang kompleks, perwujudan ketahanan pangan tersebut akan dicapai dengan terlaksananya sub sistem ketersediaan terkait dengan upaya peningkatan produksi pangan, sub sistem distribusi tentang keberadaan pangan yang merata dan terjangkau di masyarakat dan sub sistem konsumsi tentang kecukupan pangan yang dikonsumsi baik jumlah maupun mutunya.

Litani berbagai masalah ini kalau dideretkan satu per satu maka memunculkan pertanyaan etis dan fundamental, yakni di manakah tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa dalam masalah ini..? Dosa dan salah siapakah ini? Sudahkah kita berbenah? Sekadar untuk permenungan kita ibarat sepuluh anak darah simak bacaan kitab suci Matius 25 : 1-13. Di posisi manakah kita.

Perempuan pasti bijak, mampu memprediksi dan mengatasi berbagai masalah dengan hati dan kerelaan berkorban untuk orang-orang yang dicintainya. Namun, dalam berbagai urusan publik termasuk pangan ditempatkan pada posisi nomor dua, bahkan selalu berada pada golongan terpinggirkan yang dianggap lemah, di mana setiap upaya yang dilakukan kaum perempuan belum dinilai sebagai bagian dari kontribusi yang sangat strategis untuk dihargai.

Fakta memperlihatkan hal itu, termasuk dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Perempuan masih dianggap kurang atau hanya sedikit berkontribusi dan menjadi obyek dalam pembahasan “Ketidakadilan Gender” dan kekerasan oleh sekelompok masyarakat tertentu. Padahal berbagai studi telah mengungkapkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga, yang tentu berkontribusi bagi daerah maupun nasional. Sebab perempuan berperan dalam produksi, pengolahan dan distribusi pangan mulai dari tingkat rumah tangga termasuk menentukan jenis makanan yang terhidang di meja makan berserta kandungan gizinya.

Menyikapi masalah kerawanan pangan yang terjadi, berbagai upaya penanggulangannya telah dilakukan dimulai dari akar rumput dan perempuan sebagai basis memiliki peran yang sangat vital dalam penanganan pangan. Mengapa? karena secara sosiokultural perempuan hidup di tengah masyarakat dan memiliki peran penting dalam keluarga. Perempuan dapat melakukan kegiatan apa saja “positif” untuk meningkatkan taraf hidup, ekonomi pertanian dan menjaga ketahanan pangan berupa, tidak melakukan pembelian pangan secara panik, mengupayakan diversifikasi pangan dengan mengonsumsi pangan lokal, dan menyediakan pangan untuk konsumsi.

Dalam proses penguatan ketahanan pangan khususnya dalam rumah tangga perempuan memiliki peran signifikan. Peran ganda perempuan tidak saja dalam domestik tapi juga dalam publik menjadi faktor penentu besarnya kapasitas perempuan dalam menjamin ketahanan pangan termasuk upaya pemenuhan ketersediaan, jangkauan, pemerataan, serta keamanan dan ketahanan pangan keluarga.

Stigma emosional dan pemegang urusan domestik sampai saat ini masih disematkan pada perempuan walaupun dunia sudah modern, mitos ini masih sangat dominan. Tapi perempuan tak selemah mitos-mitos yang telah disematkan. Fakta menunjukkan antara lain, dilansir dari laman Wider Oportunities for Women, tahun 2009 yakni 46,8 persen pekerja perempuan, 59,2 persen perempuan sedang bekerja dan mencari pekerjaan. Perempuan juga diproyeksikan dalam memperhitungkan peningkatan angkatan kerja yakni 51,2 persen antara tahun 2008—2018. Mayoritas perempuan bekerja karena kebutuhan ekonomi untuk membantu keluarga dan pekerjaan nontradisional untuk mendukung diri sendiri.

Melihat pentingnya peran perempuan, maka program pemberdayaan yang mendukung optimalisasi potensi sumber daya alam oleh kaum perempuan perlu ditingkatkan.

Program -program yang dilakukan diarahkan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat perempuan baik dari sisi domestik maupun dari sisi publik. Pemberdayaan perempuan yang dapat dilakukan dari sisi domestik di antaranya: peningkatan pengetahuan ibu rumah tangga tentang konsumsi pangan dan pemenuhan gizi seimbang serta pembiasaan konsumsi pangan lokal dalam pemenuhan pangan sehari-hari. Sedangkan dari sisi publik, pemberdayaan dapat dilakukan melalui gerakan diversifikasi pangan yang meliputi pengembangan produksi atau industri kuliner yang berbasis pangan lokal maupun optimalisasi pemanfaatan lahan dan atau pekarangan.

Pengembangan pangan lokal akan meneguhkan kembali identitas lokal kawasan, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, serta mendukung perkembangan wisata daerah. Sedangkan optimalisasi pemanfaatan lahan dan atau pekarangan juga menjadi upaya perempuan dalam meningkatkan peran untuk ketahanan pangan rumah tangga. Ketersediaan lahan pekarangan maupun lahan kebun lainnya sebagai upaya dalam meningkatkan gizi keluarga maupun pendapatan keluarga. Hal ini berarti perempuan penopang ekonomi keluarga.

Kemajuan dunia telah menyebabkan gejala modernisasi dan urbanisasi serta berbagai perubahan nilai sosial, norma, tata laku dan persepsi, serta pola hubungan antara laki-laki dan perempuan terutama pada struktur ekonomi dan budaya sampai pada masyarakat pedesaan. Ironisnya, keadaan tersebut menimbulkan terjadinya gejala disintegrasi dan diskriminasi dalam “pembagian kerja” antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang. Hal ini secara empiris terlihat nyata pada keadaan tenaga kerja perempuan di berbagai bidang. Kondisi tersebut dapat diartikan sebagai suatu permasalahan dan kendala dalam proses pembangunan, karena dikhawatirkan dapat meminggirkan, bahkan menghilangkan fungsi dan peran perempuan, sebagai pilar dan pelopor ketahanan pangan yang dimulai dari keluarga.

Sebagai contoh, dalam pengamatan yang kami lakukan di beberapa tempat di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur, seperti: (1). Kota Kupang, dapat kita temukan sepanjang Jalan El Tari Kupang, dari subuh hingga menjelang siang dilanjutkan sore hari perempuan menyiram sayur, menjelang sore sampai malam bahkan sampai tengah malam perempuan bergiat dengan kuliner di sepanjang jalan tersebut. Jeda waktu saat mereka tidak berada di kebun sayur dan aktivitas kuliner malam hari, mereka kembali ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyiapkan makanan untuk anggota keluarga, mencuci dan kebutuhan domestik lainnya. (2). Berbagai pasar- pasar tradisional di seantero Flobamora, seperti pasar buah di kota Soe/TTS, pasar sayur di Nduaria/Ende, pasar buah dan sayur di Elopada/Sumba Barat kita dapat menemukan kaum perempuan juga memegang kendali, termasuk ketika kita melintasi jalan Timor Raya (Kupang menuju Atambua) di sepanjang Oesao, Naibonat, Takari, dan seterusnya selalu ada kelompok perempuan yang terlibat dalam giat ekonomi juga dalam usaha tani, baik pada lahan basah (sawah) maupun lahan kering (ladang dan pekarangan).

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa betapa beratnya tugas seorang perempuan dalam rumah tangga, apalagi harus berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah atau membantu mencari nafkah keluarga. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam produksi pangan cukup bervariasi. Di wilayah Pasifik (38—71%). Pada tingkat ASEAN, Thailand menduduki posisi tertinggi menurut jumlah perempuan yang bekerja di bidang produksi pangan sebesar 60%. Posisi berikutnya, berturut-turut ditempati oleh Indonesia sebesar 54%, Filipina 47%, dan Malaysia 35%.

Dari sepenggal cerita di atas menunjukkan bahwa perempuan sangat dibutuhkan dalam proses produksi pangan atau dalam mewujudkan ketahanan pangan, baik itu ketahanan pangan secara luas maupun ketahanan pangan dalam rumah tangga. Apakah perempuan masih dikatakan insan yang lemah? Coba simak, selama ini perempuan memegang peranan penting atau posisi kunci dalam berbagai aktivitas termasuk dalam urusan pertanian dan produksi pangan. Perempuan berperan hampir pada semua tahapan baik pada proses budidaya, termasuk memilih benih sampai pada mengolahnya menjadi makanan siap santap yang tentu terjamin kecukupan gizi bagi bayi, balita dan anggota keluarga.

Demikianlah, perempuan dalam 24 jam hidupnya, dirasakan kurang untuk tugas pelayanan. Segala cara dilakukan perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk melakukan usaha alternatif antara lain berusaha menjaga budaya pertanian dan selalu mengupayakan transfer pengetahuan kepada anak-anak mereka, terutama anak perempuan.

Perempuan nyata telah berkarya sebelum matahari terbit sampai pada kembalinya sang surya pada peraduannya bahkan sampai semua anggota keluarga terlelap. Pengakuan tentang kesetaraan keadilan gender perlahan dan pasti bergeser dalam rangka mengurangi subordinasi dalam mengakses pangan.

Kita semua harus menyadari bahwa perempuan bukanlah obyek, melainkan subyek dari pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Berilah perhatian pada perempuan yang tidak terjangkau dan tidak terlayani. Memberi perhatian pada perempuan ibarat memberi peran yang sama pada kaki kiri dan kaki kanan untuk bersama melangkah secara cepat dan tepat menuju pantai idaman: yakni Masyarakat sejahtera adil dan makmur, (kecukupan pangan dalam lumbung), pemanfaatan pekarangan untuk ketersediaan pangan lokal, tanaman obat keluarga (Toga), Bank Pupuk Organik melalui pengolahan sampah rumah tangga. Gerakan ini sejalan dengan program Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur : NTT Bangkit NTT Sejahtera. (*)

Editor : (+rony banase)

Foto utama (*/istimewa)