Pencegahan Stunting Ibarat Membangun Rumah di Atas Batu Cadas

Loading

Oleh : Dra. Bernadeta M. Usboko, M.Si.
(Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi NTT)

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada usia anak di bawah 2 (dua) tahun / 1.000 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh masalah gizi kronis sebagai akibat dari asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang lama sehingga anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki kerterlambatan dalam berpikir.

Kondisi tersebut semakin diperparah karena anak yang mengalami masalah stunting rentan terhadap berbagai penyakit dan sulit berprestasi. Anak dengan masalah stunting daya tangkapnya akan sesuatu sangat lamban, mau dikasih apa saja tidak bisa.

Masalah stunting menyebabkan generasi yang dihasilkan mendapat predikat sumber daya manusia berkualitas rendah, karena stunting sangat berpengaruh terhadap produktifitas serta pertumbuhan otak dan fisik anak.

Masalah stunting tidak hanya dialami oleh keluarga yang kurang mampu di desa, namun dapat juga dialami oleh keluarga berada di daerah perkotaan. Hal ini dikarenakan stunting bukan semata masalah gizi makanan namun juga masalah pola asuh dan pola makan yang tidak bergizi seimbang serta sanitasi yang kurang bersih; Jadi siapapun bisa mengalami stunting terlepas dari tingkat ekonominya. Anak kita pun beresiko stunting jika sulit makan, atau sering sakit menyebabkan tidak ada selera / napsu makan rendah.

Akhir-akhir ini selain maraknya masalah Pandemi Covid-19; masalah Stunting juga cukup tinggi menghiasi halaman depan media massa, bahkan menjadi bahan perbincangan hangat. Hal ini karena dampak masalah stunting sulit diperbaiki dan merugikan masa depan anak yang berkaitan erat dengan perolehan generasi unggul, generasi berkualitas. Banyak usaha telah dilakukan untuk mencegah dan menangani stunting, selain sosialisasi antara lain membentuk satu desa model di setiap kabupaten/kota yakni dengan memberi asupan gizi bagi ibu hamil dan ibu menyusui, bayi antara 6—12 bulan, balita 1—5 tahun, anak PAUD dan anak SD melalui penyediaan makanan tambahan bergizi seimbang.

Puskesmas juga telah melakukan pendampingan kepada orang tua dalam memberikan makanan kepada anak-anak. Anak harus makan makanan yang dilengkapi dengan sayuran dan daging serta ikan, dalam bentuk bubur. Namun, hasilnya belum maksimal seperti data dari berbagai media yang menunjukkan bahwa 5.151 balita yang tinggal di Ibu Kota Kupang menderita stunting. Aplikasi Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) Februari 2020, Kota Kupang berada pada presentase 32,23 persen dari 15.980 balita yang diukur status gizinya. Kota Kupang termasuk tertinggi ketiga dari 22 kabupaten/kota se NTT untuk gizi buruk dan posisi enam kurang gizi. Kabupaten yang tertinggi pertama dan kedua gizi buruk dan kurang gizi adalah Kabupaten Kupang, dan TTS, dan Rote Ndao pada posisi ketiga.

Kota Kupang merupakan barometer provinsi NTT menunjukkan perkembangan gizi buruk yang digambarkan selama 3 tahun terakhir sebagai berikut : tahun 2018 sebanyak 218 orang, 2019 sebanyak 353 dan Februari 2020 sebanyak 796 orang. Data Dinas Kesehatan NTT, menunjukkan bahwa jumlah stunting pada 2018 sebesar 30,1 persen dan 2019 turun menjadi 27,9 persen.

Dra. Bernadeta M. Usboko, M.Si. (Staf Ahli Gubernur Bidang Kesejahteraan Rakyat Provinsi NTT)

Ramai dibicarakan bahwa angka stunting masih tinggi dan sulit menuntaskannya. Demikian pula penyebab stunting adalah pola asuh kurang memadai, anak dititip pada nenek atau keluarga karena ibu cari nafkah ke luar kota, anak terinfeksi berulang atau kronis, sanitasi buruk, enggan membawa anak ke puskesmas atau rumah sakit. Kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi kalori namun minim gizi seperti kudapan kaya pemanis maupun MSG tidak hanya berisiko membuat anak kekurangan nutrisi, namun juga membentuk pola makan yang tidak sehat.

Menghindari terjadinya stunting memang memerlukan ketekunan, usaha menyeluruh dari semua pihak dan menjadi tanggungjawab bersama. Pencegahan dan penanganan stunting harus tuntas sampai akar dan dilaksanakan secara terintegrasi, terpola, tersistim dan berkesinambungan melalui pola pengasuhan dan pemberian makanan tambahan dengan pendekatan persuasif berdesain kearifan lokal serta dukungan dari berbagai pihak. Disamping itu, perlu komitmen dan kerja sama terpadu lintas sektor untuk memberi perhatian pada sanitasi, kebutuhan air bersih, pemberian makanan tambahan, pola asuh, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kelahiran serta pola hidup bersih dan sehat.

Berdasarkan uraian diatas, selain perhatian bagi anak usia 0—2 tahun juga penting bagi calon pasangan yang akan menikah dengan memberi pemahaman saat pembekalan pranikah tentang : pertama, kesehatan reproduksi; kedua, perencanaan ekonomi keluarga; dan ketiga kesiapan membangun rumah tangga yang mandiri. Tiga hal ini dimaksudkan atau dengan harapan rumah tangga yang dibangun bisa melahirkan keturunan yang sehat dan menjadi keluarga yang memiliki kematangan ekonomi, sehingga dapat menghasilkan generasi unggul dan bernas serta memiliki daya saing.

Kita bangga memiliki bangsa yang kuat dan maju dilengkapi dengan sumber daya manusia mumpuni, mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat mengatasi berbagai kesulitan sehingga tidak terpuruk atau bahkan hancur karena perubahan zaman. Kita berpegang pada prinsip: “Lebih baik satu langkah seribu orang dengan satu kata satu perbuatan satu mulut satu tindakan dengan landasan kokoh seperti tukang bangunan membangun pondasi rumah di atas batu cadas, simaklah bacaan kitab suci yang terambil dari Matius 7 : 24—27. Jika ingin membangun rumah yang kokoh bangunlah diatas batu sehingga bila badai dan topan menghadang, rumah tetap kokoh.

Membangun rumah seibarat membangun manusia. Membangun rumah dengan pondasi batu cadas tentu kuat dan sulit diterpa badai dan rumah tersebut akan cepat selesai dibangun jika kerjasama dan sama-sama bekerja dengan tugas masing-masing. Demikian pula membangun manusia harus berpondasi kokoh dan keterlibatan banyak pihak dengan porsi atau peran masing-masing.

Masyarakat NTT bangkit untuk sejahtera, berkualitas dan siap berkompetisi dapat dilakukan sejak dini dengan pondasi yang kokoh melalui percepatan pencegahan dan penanganan stunting, dengan langkah sebagai berikut : pertama, Regulasi linier dilaksanakan dengan semangat militansi sesuai kewenangan, komitmen, konsisten, berkesinambungan dan berjenjang dari pusat sampai desa ; Kedua, Perkuat bimbingan teknis dan pendampingan sampai akar rumput dengan memanfaatkan kader-kader posyandu, champion desa dan kecamatan disertai form pencatatan yang seragam dan akurat dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama sebagai kunci. Ketiga, Menekan pertumbuhan stunting juga dapat dilakukan antara lain melalui sosialisasi yang dilaksanakan melalui lembaga-lembaga keagamaan/berita mimbar, secara khusus bagi calon pasutri (pasangan suami istri) saat kursus pernikahan atau pendidikan pranikah. Informasi semacam ini dapat dilanjutkan para kader posyandu dan champion dalam berbagai kesempatan antara lain, pemeriksaan kehamilan, immunisasi, penimbangan bayi dan balita. Keempat, Lanjutan poin 3 bagi calon pasutri, akhir kursus pernikahan atau pendidikan pranikah wajib dilanjutkan dengan implementasi pembentukan kelompok atau secara mandiri membuat dan atau memanfaatkan pekarangan/halaman/kebun/kintal sebagai dapur hidup, apotik/kebun sehat, khusus menanam tanaman yang berguna untuk menunjang kebutuhan gizi calon ibu, ibu hamil, bayi, balita, dan anggota keluarga termasuk remaja putri (calon ibu). Tanaman yang bisa ditanam antara lain kelor, pepaya, berbagai tanaman holtikultura. Untuk motivasi meningkatkan semangat ibu-ibu dan anggota keluarga sesewaktu pada momen tertentu diadakan lomba (lomba kebun, lomba masak, lomba kebersihan, lomba sehat dan sebagainya); Kelima, Poin 3 dan 4 dapat dilakukan bersama antara lembaga keagamaan, PKK, Dharma Wanita dengan pemerintah seperti Dukcapil, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Perikanan, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) untuk ketahanan perempuan dan keluarga, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk pengadaan sumur bor dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (untuk bimbingan teknis dan Pendampingan); Kenam, Kegiatan ini dilaksanakan secara kolaboratif dengan melibatkan perangkat daerah terkait serta dapat memanfaatkan Dana Desa. Ketujuh, Perlu pencanangan desa sehat, desa sejahtera bebas stunting sebagai labsite/labschool/embrio, dengan memilih satu desa sebagai lokus dan fokus.

Akhir kata, stunting tidak dapat dicegah hanya pada 1.000 hari pertama bayi dilahirkan, tetapi harus dilakukan secara kontinyu sesuai dengan siklus kehidupan manusia yakni dimulai dari ibu dan rahim yang sehat. Mari dengan peran masing-masing kita bersama perangi stunting, dimulai dari berperilaku hidup sehat, minum air bersih dan sehat serta mengonsumsi makanan bergizi dari kebun/ pekarangan/halaman sendiri, istirahat yang cukup, memanfaatkan/menggunakan fasilitas pemerintah sesuai kebutuhan (puskesmas, Posyandu, Rumah sakit, sekolah dan sebagainya). Mendapatkan generasi sehat, cerdas, dan beraklah mulia adalah tanggung jawab bersama. Mulailah sejak dini dari rahim ibu seibarat membangun rumah dengan pondasi di atas batu cadas yang kokoh. (*)

Foto utama (*/indonesiabaik.id)
Foto pendukung (*/koleksi pribadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *