Pesan Sapu Tangan Basah

Loading

Penulis : Melkianus Nino

Bahu tertindih seikat kayu api. Terasa seperti sedang memikul peti mati yang dititipkan Gadis Cantik dari rindang Beringin Tua. Badan gemetaran, dengan bulu-bulu pada pergelangan tangan yang merayap pulas, berdiri tegap tak ingin kembali pulas.

Aku tak sadar, ketika Tuan Rimba mengintai langkah kaki dengan begitu lincah. Entah ! Dia, gadis itu, dengan alis tipis disileti seperti hutan mini yang disabit bersih.

Aku melangkah maju dalam kesendirian. Sedangkan, jarak pulang masih 200 mil dari rindang Beringin Tua.

“Terima kasih pada batin yang panik ketakutan. Syukurlah, Aku mampu melewati 50 mil. Berarti masih 150 mil, yang harus dilewati sebelum Barat melukis kejinggaan “.

Disusul desiran batang pohon bambu terus memadu saling memeluk. Terkadang bertikai dan saling menampari. Padahal, tiada angin dan senyap. Sesaat berhenti menguping ke belakang, suasana terasa bisu, hanya susulan bunyi Sepatu Hakeng seperti ada lapang hamparan keramik.

“Kok!, ada setapak berlantai kilap di belakangku?”.

Aku membungkusi diri penuh tegar dan memang haruslah beradaptasi dengan lingkungan sunyi ini.

“Aku harus percaya diri dan berani!”.

“Oh, masih saja ada bebunyian itu!. Kaget ketakutan dengan detakan dalam dada yang gelisah. Sejenak berdiri, masih ada langkah seperti Harimau liar mencari anaknya yang hilang.

Mungkin si Raja Rimba itu, mengiraku yang menculik sulung kesayangannya. Mungkin juga, dia berpikir ke rana sana. Aku yakini, sulung yang hilang keseharian, pergi bersama lentingan.

Aku rasakan Setan gentayangan memergoki dari balik pundak ini.

“Entah itu, si Raja Rimba!, entah juga si Gentayangan dan entah juga siapakah Dia?”.

Banyak tanya menghasut pikiran ini, langkah terus tapaki di tengah onak-onak kebimbangan. Sedangkan, bahu perih kesakitan dengan titipan si Gadis Cantik tadi.

Karena telah lelah dengan titipan itu sembari membayangkan kalau wajah ayunya mirip Bunda yang hilang. Waktu kemarau kemarin, tempat menggayung air. Dia hilang di sana, hingga tak kembali sampai detik ini. Tempat merimba nan hijau sepi menyimpan banyak sumber mata air juga misteri.

Bunda hilang di sana ,karena lupa akan Sapu Tangan. Aku menantinya, Dia tak kembali.

Saat itulah, benak dikejutkan dengan bayangan semu seperti Bunda menegur dan mengingatkan kembali atas Gadis Ayu itu. Sembari rehat sejenak karena kelelahan.

Di seberang Barat, lukisan alam mawar senja. Dedaunan ditutupi binar-binar kemuning. Sekelompok burung-burung kecil berkejaran di atas dahan johar, melompat ke sana kemari di tiap dahan, mencari kenyamanan. Daun-dahan tergoyang-goyang dikira gempa singgahan. Aku menengadah ke sasaran, ternyata ratusan Pipit-pipit kecil.

“Sebentar lagi, akan kembali gelap. Aku harus melangkah seribu, biarkan lebih awal tiba”.

100 mil masih tersisa langkah, waktu terus memukuli pundak. Langkah sang waktu tak mungkin berbalik. Bila kembali, Aku harus mencari sapu tangan yang tertinggal di bawah rindang Beringin.

Setibanya di rumah, binatang piaraan menyambut kedatangan untuk dikandangkan. Belum lagi, seisi atap yang gelap-gulita. Lampu minyak entah tersimpan di mana. Aku harus bolak-balik tiap kamar, padahal tersimpan di depan pampang album Bunda. Kedua pasang lilin yang mengapiti juga membutakan penglihatanku. Dua lilin itu, meminta untuk dimantik biar menerangi album bisu itu.

Saat benderang makin tampak di tiap kamar. Gegasku, menuju ke dapur dan menanak nasi. Dengan membungkus setengah badan dengan selembar handuk dan menuju ke kamar mandi. Segarkan badan dengan mengganti pakaian.

“Puji TUHAN, dengan anugerah malam ini!, Aku merasakan nyaman menanti jarum jam menunjukkan angka 8, sarapan malam”.

Biar lambung tak perih, sarapan sendirian. Dengan sepiring nasi dan ala kadarnya. Juga ada 2 sendok makan, sekedar mengundang Bunda walaupun menyendiri.

“Selamat Makan Bunda!”.

Deringan alarm berdenting di pukul 09.00, Aku berbalik ke hadapan Patung yang berdampingan dengan Album Bunda dan Berdoa.

“Allah Semesta yang kuasa, terima kasih atas waktu sepanjang hari ini. Aku menyadari, masih banyak kelemahan. Aku memohon pengampunan atas segala lalai terhadap sesama, terutama Bunda tercinta. Berikanlah kekuatan, walau dalam kesendirian ini. Terima kasih TUHAN. Amien “.

Malam makin sepi di ujung tepi. Aku telah berselimut mimpi, entah apa yang dimimpikan, memang sungguh tak menahunya. Hanya terang lilin yang menyelimuti.

Angin malam meniup atap rumah, dan berdengung ketakutan. Aku sadar , ketika kokok jago menyapa pagi. Saat itulah, bayangan putih hadir di mimpi dan menyapa.

“Aku telah bersamamu, malam tadi. Aku yang menjagamu juga, Aku ingin menyampaikan satu hal untukmu, Esok tepat di pukul 12.00 siang nanti, nantikan Aku di bawah rindang Beringin tua. Jangan lalaikan pinta itu!”

Setelah Suara mimpi itu hilang dariku, Aku terbangun dan duduk di atas kasur. Khayalanku, sebuah kenyataan. Aku yakini, kalau akan mengetahui kehilangan Bunda.

*******

Tepat pukul 11.00, Aku sudah mendahului. Dengan membisu di dekat pohon Durian. Bola mata menancapkan pandangan ke sasaran pesan. Tiupan angin menggulung ke atas dan meronda sekeliling Rimba Tua. Akar-akar gantung bergoyang tak berhenti. Aku melihat lilitan jam tangan , 10 menit tibalah waktu.

Saat mendekati, tiupan dan gulungan meredah. Aku berkeinginan keras untuk melangkah seribu, namun tak mampu.

Aku dikageti oleh sepotong kertas usang jatuh di atas daunan kering, selang 10 detik kemudian…Sapu tangan pun melambai jatuh, tak tahu dari mana datangnya.

Aku mengambil sapu tangan itu, telah basah dan beraroma rampai. Ada pesan tertulis :

“Anakku, Maafkan Bunda…Bunda tak kembali bersama kirana Misteri yang ada di sekitarmu, saat ini. Bunda yang menitipkan seikat kayu dan yang datang menyapamu di pagi tadi. Itu adalah Aku, Bundamu. Sapu Tangan Basah itu, dari Air mata Bunda”. (*)

Penulis merupakan Founder Rumah Baca dan Menulis “Kelae Ahine” Menetap di Atambua – Kabupaten Belu, Provinsi NTT
Foto (*/istimewa)