Bukankah Kita Butuh Tanah dan Perhatian?

Loading

Oleh: Lejap Yuliyant Angelomestius, S. Fil.

Sore itu, Jona berkunjung ke gubukku. Ia adalah sahabat kecilku di Dili. Kami memang pernah hidup bersama sebagai tetangga sebelum akhirnya berpisah setelah kami sama-sama memutuskan integrasi ke Indonesia di tahun 1999. Kini, Ia dan keluarga tinggal di Lakmaras, sebuah desa kecil di bagian utara Kabupaten Belu, sedangkan aku dan keluarga telah menetap di Maktaen,  dusun kecil yang berada di bagian Selatan Kabupaten Belu.

Di tempatku, kami banyak bernostalgia dengan pengalaman kecil di Bumi Lorosae. Ada banyak cerita masa kecil yang selalu diulangnya yang membuat kami tertawa lepas, namun ada juga cerita yang ia hindari.  Ya, itu cerita tentang perjuangan ayahku pada  peristiwa integrasi Timor-Timur di tahun 1975.

Ayahku (Raja Alexandrino Borromeu) adalah salah satu Tokoh Apodeti Penandatanganan Petisi Balibo. Semasa hidupnya, Cinta akan Merah Putih terlalu kuat melekat di jiwanya. NKRI sebagai harga mati selalu menjadi roh baginya. Sebagai wujud kecintaannya pada Indonesia, ia termasuk dalam daftar para tokoh yang memperjuangkan integrasi. Namun, begitulah nasibnya, tentangnya kini terlebur dalam amnesia NKRI. Jasadnya tak ditemukan di Makam Para Pahlawan.

Hampir sejam lamanya kami bernostalgia dengan cerita lucu masa kecil hingga akhirnya diam sembari meneguk secangkir kopi hangat yang dibawa Jona.  Kopi Lakmaras. Ya, kopi itu memang selalu menjadi kesukaanku, karena setiap tegukannya selalu menarik hasrat dalam raga dengan gairah fantasi yang luar biasa.

Apalagi di tempat ini, alam pun seakan ikut mendukung dengan dandanannya yang memesona karena pada setiap celah barisan bukit-bukit kecil menampakkan pemandangan Pohon Pinus yang kokoh berdiri menantang angin dengan ratusan burung walet yang menghiasi rantingnya yang sesekali beterbangan tanpa panik sembari sesekali membasuh tubuh pada sisa air hujan yang masih menempel pada  daunnya sambil membunyikan suara cicitnya.

Memang, di tanah ini alam sangat bersahabat. Tumbuhan dan satwa langka masih dapat dijumpai tanpa harus  mengadopsinya dari bumi lain.

Aku melihat Jona turut larut dalam pujian alam itu. Ia seakan terlebur dalam kegembiraan makhluk ciptaan dengan kebaikan Sang Khalik

Saat itu, aku tak mau mengusik kekaguman Jona, kini terseret dalam sentilan murkah di jiwa. Murkah itu ada dan telah berdiam lama di jiwa. Murkah kepada pemerintah yang sudah berpuluh tahun lamanya masih mengabaikan perjuangan kami dalam mengangkat Merah Putih pada peristiwa korban di Bumi Lorosae.

Memang beginilah hidup kami yang disebut sebagai pahlawan, cuma diberi uang yang juga habis dikantong tuan tanah. Inilah nasib kami yang disebut sebagai pejuang; hanya diberi sembako yang juga hilang di perut tetangga. Hidup kami memang lebih hina dari burung walet karena setiap waktu hanya mengisi lapar raga dengan mengeluh, menghilangkan haus dahaga  dengan bersungut sebagai balasan jasa dari Pemerintah atas kepatriotan kami.

Hari mulai malam. Perhatian Jona telah beralih pada jatuhnya si raja siang dalam pelukan Pertiwi.  Di dalam dada, aku merasakan hasratku terus memberontak. Ingin sekali aku menghujat. Ingin sekali aku mencaci-maki. Roh kebaikan yang bersemayam dalam diri telah berubah rupa menjadi murkah. Alam yang sebenarnya bersahabat dalam pandangan mata, kini dirasakanku sebagai neraka. Memori darah masa lalu telah kembali memantik jiwaku untuk sebuah aksi anarkis karena sebuah realitas  yang terlupakan.

“Ratu, seandainya tanah ini milikku, aku akan membangun sebuah gubuk untuk burung walet yang ada di sore tadi itu”. Jona memecahkan keheningan dengan sebuah pengandaian.

Sambil menyeruput kopi yang sudah kehilangan hangat, aku  kemudian memegang pundaknya sembari tersenyum dan berkata: “Sobat, jika tanah ini adalah milikku, aku juga akan menanam banyak Pohon Pinus agar menjadi tempat bagi satwa liar untuk berteduh.  Tapi itulah kita dan nasib. Kita hanya bisa terus mengeluh menagih janji kehidupan yang layak di negeri yang telah patah sayap kasih sayang sembari meletakan kepala pada tanah sengketa dan sewaan”.

“Bukankah kita butuh tanah dan perhatian dari Pemerintah?” Jona menambahkan.

Kami saling memandang dalam rasa kasihan, sebelum memandang potret ayah yang di dalamnya tertulis: Merah Putih adalah Jiwaku. NKRI sebagai Harga Mati adalah Rohku.(*)

*/Inspirasi Kisah Perjuangan Ratu Asia Borromeu, Tokoh Pejuang Integrasi Timor-Leste

Foto utama oleh destinasian