Noda Basah di Atas Kertas

Loading

Oleh : Melkianus Nino

Tatapan kosong wajah ayu, berambut panjang serta sedikit melepas senyum. Pipi montok lesung pipi menarik empat mata berpapasan, di hadapan cermin kaca. Beranjaknya Melisa, mencari buku-buku bekas di dalam gudang tua. Terselip album lama,  berusia hampir 5 tahun lalu juga tersimpan rapi. Memang sudah cukup lama, sampah abu melekat pada dinding album. Melisa membuka

Lekatan puluhan potret, potret bersama Sefamilia, masa kecil seperti anak penyu uyuh-uyuh juga barengan teman SMU. Dan teringat kembali ketika didapatinya foto barengan anak-anak seminari, tampak juga si Bendigo.

Kumpulan foto lama, memberikan kesan-kesan terindah. Melisa memandangi bayangan pantulan cermin dan menengadah ke atas langit plafon ter-setting di latar memutih.

Sarang laba-laba bergelantungan, potret sudah bertuan tak bersua untuk bersahabat kembali. Dengan selembar kain basah, sehabis membersihkan bingkai jendela. Hidung terbungkus masker, takut debu beterbangan dekati penghirupan.  Ruang sunyi yang pernah tak tersentuh aroma Superpell. Perasaan untuk ke sana, hanya setujuan mencari konsep-konsep manual lama. Semenjak berseragam Putih-Abu. Kenangan lama yang tak terlupakan oleh setiap Anak Manusia, ketika bergumam cerita masa-masa lalu.

Tempo dulu yang serba manual dengan suratan tentang koresponden. Sahabat-sahabat lama, datang dari tiap penjuru. Bila saatnya, Tinta biru ditarik di atas folio bergaris, Kita seakan sedang berbincang dengan kesunyian. Pena berdarah Biru dan folio hanya perbincangan semu, kiat rasa menyanyikan mantra-mantra cinta. Kian berteman malam di tengah sepi. Apalagi, dibarengi gerimis bernada di atas atap. Tarian melincah manja.

Trend lantunan Nike Ardilla, terdengar di dalam kamar tidur Melisa dengan nada-nada sapa di atas bentang kesedihan.

“… biarkan ku pergi

Menyusuri jalan berliku

Walau pedih kurasakan

Tanpa Cinta lagi”

Sekilas tembang lama saat berhadapan dengan Folio juga Pena Biru, sungguh mengetuk jiwa . Bila Cinta di pergi, kini tak bercinta lagi.

Diksi-diksi meneguri hati saat Pena berkelana. Memilih kata-kata nan menarik, seakan mengundang para pencinta baca. Turut terlarut dengan Sang Masa Lalu.

Dengan kenangan lama yang terlintas, sekejap Melisa dikagetkan dengan suara hatinya melirih dekapi sekat almari yang membelakangi pampangkan potret. Bendito ,anak seminaris berwajah tampan, berjubah putih seperti Malaikat datang menjamah hatinya. Melisa memegang album itu, dan membersihkan dengan kain basah. Melisa memeluk bingkai bisu, seakan sedang memeluk sang Malaikatnya. Batin ikut terpuruk, Ia rasakan kegaduhan dan sesegera menemui Bendito.

“Bendito, di mana kamu saat ini?” lriknya

Hati Melisa tersayat belati yang menusuk dua jantung cinta, tak ada sentuhan menembus sama sekali. Hanya tatapan hampa, peluk hampa dengan Malaikat berjubah dibius bahasa kata.

Melisa menutup pintu gudang yang banyak tersimpan konsep-konsep manual lama dan menuju pekarangan bunga. Di dekatnya, ada pondok mini dengan atap alangan. Melisa memeluk erat, agar tak jatuh dari genggamannya. Karena tak kuasa dengan pondok kecil yang digaduh bising kendaraan. Melisa melangkah cepat ke kamarnya, sembari duduk di atas ranjang dan terkenang raut Malaikat Tampan. Melisa melepas sekat belakang bingkai itu, Ia menjaga untuk tidak menghilang jejak lalunya.

Melisa memisahkan potret dari bingkai berwarna biru, sewaktu ulang tahun yang ke-19. Melisa tak menyangka kalau di balik potret Bendito, ada selembar lipatan kertas yang tak diketahuinya selama ini. Selembar kertas itu, jatuh di atas lantai. Pesan pun tak pernah terungkap dari bibir Bendito , mengenai kertas meretas perpisahan. Bendito harus berpisah untuk ke sekian waktu.

Bendito akan kembali waktu yang tak pasti, bila Sang Cipta masih mengizinkan. Jika tak merestui, Ia akan bernaung disisi-Nya.

“Ben, mengapa baru kutahu bahwa, ada selembar surat untukku?”.

Melisa terpaku bisu. Malaikat berjubah seakan sedang berdiri di depan pintu masuk dan membuang senyum. Bola mata kilap dan dibasahi setetes. Melisa berdiri dan mendekati, nyata hanya jiwa hampa. Lamunan menjauh pergi dan berbalik. Angin meniup masuk lewati kisi-kisi jendela, sesaat tenang lalu hanyut.

Melisa menuju pelataran baring, membuka lipatan kertas. Hiasan warna-warni , terlukis bungaan kecil. Ada tertulis “Untukmu, Melisa”. Tak ingin menahan kesabarannya,

Ia membuka dan membaca sedalam hati,

Suratan Tak Bertanggal

Berikan Maafmu

Jika masih menginginkan keutuhan

Aku masih ada di samping kesepianmu

Aku, Bendito

Menyapa,

Ytc. Melisa

Di –

Bilik Sepi.

Selamat Ulang Tahun Melisa

Panjang umurmu, sehat senantiasa dalam dampingan-Nya

Melisa …

Sebetulnya, Aku ingin langsung menemuimu empat mata, untuk memberikan kado untukmu. Bertepatan dengan hari momenmu, Aku bersama teman-teman harus pergi menimba ilmu di seberang sana.

Maaf, jika kadomu dititipkan lewat teman sebangku yang juga sekampung denganku. Sangat Aku syukuri, bila Album dan isinya tiba erat di sepuluh jarimu.

Melisa …

Aku benar menaruh utuh kedalaman Cintaku, luasnya tak mampu terukur. Mungkin jarak yang mampu kumaterai.

Sejujurnya, ” Aku benar mencintaimu …”

Aku menyadari di tempat ini, beberapa di antara kami tak menyiasati melayani dan menjadi Pelayan  Serta bertemu dengan-Nya.

Melisa …

Aku ingin melangkah keluar dari hasrat, namun Aku adalah harapan satunya keluarga. Penyesalan , adalah cukup bagiku. Kini Aku telah dijubahi putih oleh niat besarku.

Sejujurnya, berikan Maafmu sekali saja. Aku yakini kalau pada kesempatan kedua, mungkin hadir juga sahabat dekatmu nantinya, yang semirip denganku. Entah rautnya, Pengertiannya, serta segala yang dimiliki.

Aku meyakini, Dia akan menggantikan Aku , sebagai satu-satunya adalah semiripku.

Melisa …

Aku tetap tegar menghadapi hidup panggilan ini. Aku hanya menitip sepesan untukmu. Simpanlah sebaik mungkin potret juga isinya, sebagai kenangan

Aku, adalah pelayan kehidupanmu

Kamu juga bagiku, adalah Masa lalu

Salam Malam

Dia beserta Kita.

Aku, adalah Ceritamu

Aku, Malaikat-Nya.

Bendito

Ruang pikir Melisa menjauh, seakan tak ingin melepas pergi Bendito. Melisa baru mengetahui tentang selembar surat ini, kalau Bendito merahasiakannya. Melisa memegang surat itu, seakan-akan sedang dalam palung mimpi.

Jejari tangan makin letih-melemah, Ia sedang penat-rehat memikul beban Berat. Lamunannya, tak memiliki satu kepastian pun.

Melisa benar tak menyadari kalau air mata mengalir deras, jatuh membasahi surat itu. Ia lantas mengempiskan kedua gua hidung mancungnya berulang kali. Melisa ingin menangis, hanya rasa sedihnya terdengar angin dan membawa kabar kesedihan.

Melisa mampu menahan diri penuh tegar. Namun, kini Surat Bendito dibasahi air mata Melisa.  (*)

Penulis (*/Jurnalis Garda Indonesia, Biro TTU, Menetap di Atambua)

Foto utama (*/istimewa/ilustrasi)