Merawat NU Menjaga Bangsa

Loading

Oleh : Muh. Fajar Hasan

95 tahun, nyaris jelang seabad yang lalu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan. Tepat pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai representatif dari ulama tradisional, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah. Rangkaian lipatan sejarah menjadi sumbu bahwa api semangat NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, dengan sekelumit problem keagamaan serta problem sosial di tanah air. Tetapi juga, utamanya menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam. Sebagaimana telah diperjuangkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Selama hampir satu abad hingga saat ini, NU telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, NU selalu mengambil peran penting dalam menyikapi ragam masalah kebangsaan yang mengancam ketahanan nasional. Walau berbagai polemik tersebut hari ini, makin nyaring mendesing.  Menariknya, NU terus tangguh. Merespons problem kebangsaan itu dengan konsisten menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan.

Permasalahan Kebangsaan

Francis Fukuyama, pemikir politik Amerika Serikat, pada tahun 1992 menulis karya kenamaan The End of History and The Last Man. Sebagai postulat atas tesisnya, bahwa demokrasi liberal telah menjadi pemberhentian terakhir umat manusia dalam perjalanan mencari ideologi. Ia merupakan bentuk terakhir (paling ideal) dari sistem politik-pemerintahan umat manusia.

Fukuyama berdalil, bahwa demokrasi liberal dianggap menjadi sistem paling ideal di mana kesetaraan, kebebasan, dan hak-hak individu dilindungi oleh kekuasaan negara yang menerapkan sistem check and balances. Sejarah umat manusia dianggap telah berakhir karena tak ada lagi evolusi pemikiran yang menginginkan tujuan lain selain demokrasi liberal.

Demokrasi liberal menurut Fukuyama mengandung ancaman mencuatnya politik identitas. Setiap kelompok merasa memiliki hak lebih untuk dihormati sehingga ketika ada yang mengkritik atau menentang domain yang diusung identitasnya mereka harus dilawan. Adanya perjuangan pengakuan dan pertentangan identitas dalam masyarakat demokrasi liberal menandakan bahwa sistem tersebut menimbulkan celah permasalahan baru. Artinya masyarakat belum nyaman dengan sistem yang ada dan membuka kesempatan untuk melakukan penelaahan lebih lanjut terhadap sistem baru.

Kecenderungan predikatif yang disampaikan Fukuyama adalah niscaya. Namun, semakin hari kita merasakan bahwa demokrasi liberal mengikis demokrasi Pancasila yang notabene kaya akan nilai-nilai sebagai representasi budi manusia nusantara. Kekayaan budaya bangsa Indonesia adalah benteng tersendiri dari gerusan liberalistis yang notabene kontradiktif dengan hakikat ajaran leluhur bangsa. Indonesia sebagai bangsa ketimuran seraya menjaga adab dan membangun demokrasi di atas itu. Sebagaimana konkretnya adalah Demokrasi Pancasila. Dalam peran ini, NU mampu mengaktualisasikan itu. Merekatkan harmoni keragaman budi manusia nusantara melalui ajaran ahlus sunnah waljamaah.

Di Indonesia politik identitas ini juga menguat dengan kemunculan diskursus elektoral yang mengusung tema-tema siapa yang merasa paling mewakili ulama atau siapa yang merasa paling milenial. Bahkan gerakan-gerakan akar rumput pun mulai melakukan penetrasi politik dengan berbagai cara.

Akar rumput jadi terpecah belah karena memperjuangkan identitas demi pengakuan dan penghormatan masing-masing. Sedangkan para politisi seperti memberi angin pada perpecahan dengan memainkan isu identitas tersebut demi menggalang dukungan untuk tampuk kekuasaan. Ketika dua hal ini disatukan dalam suatu momen politik, mudah sekali memecah belah masyarakat. Tak usah siapa tunjuk siapa. Sebaiknya kita semua melakukan refleksi terhadap diri masing-masing.

NU selalu hadir memoderasi gonjang-ganjing itu. Dengan misi menampilkan Islam yang akomodatif. Hal ini, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan-penegakan nilai-nilai kemanusiaan dibanding kekakuan sikap dalam beragama yang bisa mereduksi hak-hak asasi masyarakat karena cenderung berpijak pada ekslusifisme yang berpotensi memonopoli kebenaran serta gampang menyulut kekerasan berbasis agama. NU menempatkan Islam meski secara statistik tergolong mayoritas namun tak boleh bergimik menindas.

Peran NU dalam menjaga kehormatan Islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara-cara yang bisa diterima oleh kelompok lain. Bukan ditegakkan dengan sebuah penindasan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi komunitas masyarakat mana pun, yang pada gilirannya, cara-cara ini dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama sebagai bangsa.

95 tahun berdinamika terbukti mematangkan NU yang hari ini makin kokoh. Makin menunjukkan eksistensinya dalam menjaga, merawat bangsa ini. Bagaimanapun tantangan ke depan kehidupan berbangsa, semoga NU selalu hadir menjadi gerbong besar yang solutif. Selamat hari lahir NU. Mari, merawat NU, menjaga bangsa.(*)

Foto utama (*/istimewa)