Penguasaan Wilayah, Kedamaian dan Harga Diri Suku Bangsa Meto di Timor Barat

Loading

Oleh: Drs. Ignatius Sinu, MA

Sebuah Catatan Disertasi Dr. Hendrik Ataupah

Ekologi, Persebaran Penduduk, dan Pengelompokan Orang Meto di Timor Barat memang sebuah disertasi yang dibuat Hendrik Ataupah. Disertasi ini dibuat berdasarkan studi pustaka dan studi lapangan yang sangat panjang sejak tahun 1982 hingga tahun 1988, sebelum datang kepada analisis dan penulisan, menuju ke jenjang promosi doktor. Rentang waktu penelitian yang lama lantaran harus memberikan jawaban teoritis atas bangun teori mengenai ekologi, pesebaran penduduk, dan pengelompokkan orang.

Studi ini, mau tidak mau dimulai dari mendapatkan infomasi dari dan tentang akar-akar serabut, datang ke akar-akar cabang, seterusnya ke akar tunggang lalu naik ke batang pohon, terus ke dahan, cabang, ranting lalu daun. Di daun-daun itulah yang dimaksudkan dengan orang Meto, suku bangsa yang memiliki kemampuan beradaptasi secara baik dengan lingkungannya, suka perkembangan baik dalam konteks penguasaan wilayah maupun dalam konteks interaksi sosial dengan suku bangsa lain yang datang menetap dan beranak pinak ke tempatnya tinggal, tempat yang dahulunya liar.

Penelitian yang mendalam dengan mendapatkan informasi dari berbagai sumber, mendeskripsikan dengan saksama peristiwa dan tempat di mana peristiwa itu berlangsung puluhan dan ratusan tahun yang lalu. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber itu begitu kaya dan kompleks sehingga membutuhkan kehati-hatian di dalam menganalisis untuk datang kepada jawaban yang akurat atas pertanyaan-pertanyaan yang dibangun.

Data dan Analisis

Tulisan ini menghantarkan saya ke beberapa pengalaman kecil ketika saya bersama guru dan orang tua saya, Dr. Ataupah. Beliau sangat jelimet dan tidak suka dengan kompromi. Beliau sangat komit dengan fakta dan kebenaran akan fakta itu. Dia tidak segan-segan memberikan nilai DP3 rendah kepada pegawai yang melakukan kesalahan kecil saja, kesalahan yang menyebabkan orang sakit hati. Ternyata ini adalah watak dasar dari suku bangsa Meto, suku bangsa yang suka menghargai orang lain, dan karena itu orang lain atau suku bangsa lain hendaknya menghargai eksistensinya.

Orang Meto menghargai suku Bangsa Cina yang datang membeli Cendana dan Lilin, atau melakukan aktivitas dagang berskala internasional jauh sebelum datangnya penjajah Portugis dan Belanda pada abad ke 16; sebaliknya suku bangsa Cina yang datang ke tempatnya suku bangsa Meto walau di daerah yang amat terpencil, memberikan penghargaan yang tinggi kepada suku Bangsa Meto dengan tinggal dan makan bersama orang Meto; mencicipi makanan yang disediakan ibu-ibu dan gadis-gadis Meto.

Orang Cina datang ke pemukiman suku bangsa-suku bangsa Meto membawa sejumlah barang berharga, tentunya sebagai barter, dan barang yang amat berharga menyebabkan kedua suku bangsa ini saling menghargai hingga sekarang dan kapan pun adalah soal okomama, menyuguhkan siri pinang kepada suku bangsa Meto, dan seterusnya makan siri pinang menjelma menjadi budaya yang tinggi nilainya untuk suku bangsa Meto.

Guru saya, Dr Ataupah, melukiskannya dengan gaya bahasa Indonesia Meto “orang Meto adalah suku bangsa asli yang berbaur sedemikian rupa dengan suku-suku bangsa yang datang dari luar dalam perkawinan, bahasa, dan kebiasaan hidup……… Suku bangsa Meto walaupun populasinya kecil namun, pemukimannya yang tersebar menyebabkan suku bangsa ini mendominasi penghunian wilayah ini (Pulau Timor).

Suatu pagi di tahun 1998, kami jalan-jalan di Baranusa, Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Ketika kami melewati sebuah rumah kurang terurus, dinding berlubang, atap daun sudah bocor sana sini, Dr. Ataupah bilang kepada saya, bahwa “tulang punggung dari rumah itu sudah patah”. Ungkapan yang sangat simbolik gaya Meto. Maksud dari “tulang punggung” adalah kepala rumah tangga, dalam hal ini sebagai orang Meto. Dr. Ataupah sangat hati-hati memilih kata, karena itu “tulang punggung” dipilih sebagai simbol dari laki-laki yang menjadi kepala dari sebuah keluarga.

Saya penasaran, dan beberapa jam kemudian saya datang lagi ke rumah itu, bertamu, bercakap-cakap dengan anggota keluarga, saya temukan jawaban bahwa memang benar kepala keluarga, yang adalah seorang nelayan yang handal telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, sementara yang ditinggal pergi adalah ibu rumah tangga dan anak-anak yang kurang berdaya.

Ataupah menulis “usif terkemuka yang berdarah campuran Tetun dan Meto, dan mungkin juga berdarah Cina adalah leluhur cikal bakal usif-usif Sonba’I yang secara umum dikenal dengan nama Laban, karena nama aslinya dikeramatkan”. Ketika membaca bagian ini saya merefleksikan pengalaman saya tahun 1996 di Fatumnasi, Mutis. Fetor Oematan mengundang kami untuk mengikuti acara peminangan keluarga. Kami berpikir makan malam paling lambat pukul 19.00 WITA, ternyata hingga pukul 22.00 WITA, belum ada tanda-tanda.

Utusan datang menyampaikan permohonan maaf dari fetor Oematan bahwa sedikit bersabar masih menunggu kedatang “bapak PPL”. Bapak PPL yang ditunggu baru datang pukul 23.00 WITA, karena itu kami juga baru dijemput pada jam tersebut untuk makan bersama. “Bapak PPL” adalah seorang Manggarai yang bernama Tarsisius, nama Tarsisius ini begitu dikeramatkan oleh sang usif, bangsawan suku bangsa Meto yang bermukim di Fatumnasi, wilayah menjelang puncak Gunung Mutis.  Tarsisius sangat terpandang oleh suku bangsa Meto di Fatumnasi karena jasanya sebagai pembawa pembaharuan di sektor pertanian.

Dari Pantar kami ke Lembata seterusnya ke Flores bagian timur, ketika kami jalan-jalan di wilayah Kecamatan Waiklibang Flores Timur, yang kami temukan adalah ladang-ladang penduduk dengan pondok-pondok kecil tak layak huni, namun berpenghuni. Ladang-ladang itu ditumbuhi pohon-pohon mente umur 2—3 tahun. Kepada kami, Dr. Ataupah bilang 10—15 tahun lagi rumah-rumah daun itu akan digantikan rumah-rumah dari tanah (batah merah) dan blek (seng).

Kami sulit percaya, dan ada yang nyeletuk bahwa jangankan 10 tahun, dua tiga tahun lagi tanaman-tanaman itu mati kekeringan. Dr. Ataupah diam saja, tidak menanggapi omelan lawan bicaranya. Senin, 8 September 2014 sekitar pukul 09.00 WITA, lima belas tahun kemudian, saya berkesempatan lewat lagi di tempat ini bersama Simon Seran, dosen dari Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Kepada pak Simon saya menjelaskan bahwa tahun 1998 saya dan Dr. Ataupah lewat di tempat ini. Kala itu tempat ini semata-mata ladang berpindah yang ditumbuhi tanaman jambu mente berusia 2—3 tahun yang pemiliknya tinggal dalam gubuk-gubuk yang tidak layak huni.

Dr. Ataupah bilang 10—15 tahun kemudian gubuk-gubuk itu akan berubah menjadi rumah-rumah permanen, berdinding batu dan beratap seng. Ternyata benar, gubuk-gubuk yang kami saksikan dahulu sudah jauh bermetamorfosa menjadi rumah-rumah permanen cenderung mewah, tidak hanya berdinding batu beratap seng, tetapi berlantai keramik dan berplafon.

Metode Penelitian Khas Antropologi

Hendrik Ataupah adalah juga seorang antropolog yang mengembangkan metode-metode penelitian masyarakat yang sangat mendalam dan diteliti. Penelitian yang mendalam dilakukan Ataupah dengan datang dan tinggal berlama-lama di lokasi-lokasi penelitian dan dengan saksama menggali dan terus menggali apa yang baginya ada, tetapi belum ditemukan. Begitu banyak informasi yang dia dapatkan, sehingga menyebabkan Ataupah harus dengan sangat hati-hati, teliti dan tekun mendapatkan makna di balik aneka data yang ada padanya.

Membaca alur tulis Ataupah, saya terbayang akan kritik E. Leach, seorang guru besar antropologi di Universitas London (1961), bahwa cara kerja pengumpulan data antropologi seperti ini tidak bedanya dengan mengumpulkan kupu-kupu (butterly collecting). Begitu banyaknya dan begitu beragamnya sehingga menyebabkan sang antropolog kebingungan sendiri di dalam menganalisis. Ataupah paham betul akan  kritik Leach ini, karena itu ia selalu dengan lugas membebaskan diri dari kesulitan memberikan pemahamannya atas keanekaan informasi yang dimilikinya.

Disertasi Dr. Ataupah menuntun pembaca, terutama kaum antropolog, untuk memahami dan tidak mengklaim atau menghakimi begitu saja suku-suku bangsa yang bermukim di tempat-tempat yang sulit dijangkau di Timor. Karena itu adalah kebiasaan ketika kaum bangsawan yang sedikit bersekolah pada masa lalu mendapatkan pengaruh dari kaum penjajah, para pewarta agama seperti zending dan misionaris untuk memindahkan suku-suku bangsa yang tinggal di tempat-tempat strategis menurut mereka, ke tempat-tempat yang mudah dijangkau dalam konteks persebaran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semuanya datang dari luar.

Ataupah pernah berpesan bahwa jika anda ingin melihat keagungan Timor yang sesungguhnya datanglah ke Letokole. Antropolog yang berkutat dengan suku bangsa Timor, sejarah kehidupan suku-suku asli di Timor datanglah ke Letkole. Letkole, desa terpencil di Kecamatan Amfoang Barat, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Desa yang kami kunjungi pada penghujung Mei tahun 2016, yang hanya bisa dijangkau kendaraan roda dua dan empat pada bulan-bulan kering, atau harus berjalan kaki naik dan turun gunung 17 kilometer jauhnya tatkala hujan; adalah sebuah desa nan-indah, damai, sejahtera dan maju. Semua tanaman bernilai ekonomi ditemukan di desa ini. Desa ini dikitari sungai yang airnya jernih dan mengalir sepanjang tahun, serta dikitari kawasan hutan produksi ribuan hektar yang penuh dengan tanaman jati siap panen. Inilah yang dimaksudkan dengan kemampuan adaptasi ekologi dan strategi penguasaan wilayah ala Suku Bangsa Meto.

Semua suku bangsa yang lain belum tahu bahwa Letkole itu tanah pertanian yang potensial; orang Meto jauh sebelumnya sudah tahu dan datang tinggal di kawasan ini untuk hidup, dan beranak pinak. Dugaan kami pun batal dengan sendirinya, karena suku bangsa Meto di Letkole walau terisolasi secara geografi, tetapi berkebudayaan relatif terbuka terhadap masuknya unsur-unsur luar, terutama melalui aktivitas ekonomi pasar pada masa lalu hingga sekarang.

Tahun 1991 dibangun pemukiman baru di Tanjung Mas, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Rencananya warga dusun Biana, bagian dari Desa Letkole, Amfoang Barat Daya sekarang, juga ikut dipindahkan ke Tanjung Mas. Warga Dusun Biane menolak dengan tegas program ini. Bupati Kabupaten Kupang, Paul Lawarihi, kala itu dengan menunggang kuda datang melihat dari dekat kondisi Dusun Biane. Beliau kaget dan terkagum-kagum dengan keadaan dusun Biane; alamnya yang indah, warganya hidup tenang dan makmur, desunnya bersih dan terawat, tanahnya subur, airnya melimpah.

Secara spontan bupati Paul Lawarihi bilang “ini taman Eden, biar saja mereka di sini.” Bupati Lawarihi sangat kagum dengan orang Meto di Letkole, dan tidak melakukan kesalahan sebagaimana dilakukan pada masa-masa sebelumnya oleh pemerintah kolonial, misionaris, dan zending; memindahkan kelompok-kelomok suku dari daerah terpencil ke daerah yang mudah dijangkau, namun sejarah jugalah yang memberikan jawaban bahwa generasi-generasi berikut dari kelompok-kelompok suku ini terus saja merindukan kampung halaman leluhurnya, dan memutuskan kembali pulang ke kampung halaman leluhurnya yang damai nan sejahtera itu.

Disertasi Dr. Ataupah lebih merupakan catatan sejarah kebudayaan suku bangsa Meto di Timor. Kisah sejarah persebaran, strategi adaptasi, dan strategi memperluas dan mempertahankan wilayah-wilayah basis ekonomi, apakah ekonomi cendana, lilin dan ekonomi baru, ekonomi penggembalaan ternak Sapi Bali di seantero Timor Barat; pertemuan suku bangsa Meto dengan suku bangsa-suku bangsa lainnya baik yang sudah ada di Timor maupun yang datang dari luar Timor dengan adat istiadatnya masing-masing. Proses ini berjalan sangat panjang dengan kisah-kisah heroik, kisah-kisah pertautan budaya, penyesuaian-penyesuaian kebiasaan, yang menjadi warna budaya orang Meto dan suku-suku bangsa lainnya di Timor.

Sejarah perjalanan suku bangsa Meto di Timor ditandai aktivitas-aktivitas perdagangan Cendana, Lilin, dan belakangan ternak Sapi Bali. Perjalanan sejarah kebudayaan orang Meto di Timor juga diwarnai konflik yang diikuti peperangan, dengan konsekuensi yang kalah, ataukah yang mengakui kekuatan lawan lebih, haruslah menghindar mencari tempat-tempat atau daerah-daerah yang sulit dijangkau seteru. Tempat-tempat pelarian di dalam perkembangan berhasil di-‘jinakan’ orang Meto menjadi tempat bermukim dan beranak pinak.

Sekurang-kurangnya, ada empat alasan utama orang Meto berpencar-berpencar di seantero Timor Barat; mulanya adalah untuk menguasai wilayah-wilayah potensial Cendana dan Lilin sebagai hasil hutan non-kayu yang adalah mata perdagangan internasional yang tiada taranya kala itu.

Seiring dengan pengaruh atau masuknya unsur-unsur luar ke dalam unsur-unsur kebudayaan suku bangsa Meto, orang Meto memulai suatu aktivitas baru yaitu bercocok tanam di ladang. Bercocok tanam di ladang adalah pertanian ekstensif yang terus memperluas lahan-lahan pertanian dengan sistem tebang dan bakar. Kawasan yang sebelumnya liar yang didominasi hutan belukar, lambat laun menjadi kawasan budidaya dengan luasan yang terus meningkat, dan terpencar-pencar.

Masuknya suku bangsa luar sering menjadi pemicu konflik, memaksakan terjadinya peperangan di antara suku-suku itu dengan suku bangsa Meto. Tatkala suku bangsa Meto mengakui kekuatan lawan, suku bangsa ini memilih mencarikan daerah-daerah baru yang sulit dijangkau seteru. Daerah-daerah baru ini didiami dan dijadikan kawasan pemukiman,  budidaya, dan ternak.

Persoalan baru ketika diperkenalkan model ekonomi baru bagi suku bangsa Meto di abad 16, yaitu beternak sapi secara ekstensif. Ternak Sapi Bali yang dibawa masuk ke Pulau Timor ternyata mendapatkan kondisi yang sangat kondusif untuk berkembang biak. Sapi Bali berkembang biak dengan sangat cepat, memaksakan terus meluasnya padang-padang penggembalaan (grassing areas) yang berpengaruh pada relung ekologi. Kawasan hutan belukar dengan cepat berubah menjadi kawasan bukit-bukit gundul dan padang-padang terbuka dengan dominasi rumput-rumput padang yang mudah mengering dan terbakar di musim kemarau. Kawasan bukit-bukit gundul dan padang-padang terbuka dengan dominasi rerumputan padang ini, umumnya dengan sengaja dibakar untuk mendapatkan hijaun ternak buat Sapi yang populasinya terus meningkat, Kuda dan Kerbau.

Penutup

Ataupah  tidak memberikan rekomendasi atas persoalan hidup yang dihadapi suku bangsa Meto di Timor Barat. Sedikit satir, bergaya Bahasa Meto, pada akhir tulisannya Ataupah bilang “mereka (suku bangsa Meto)  mungkin masih akan terdesak selanjutnya oleh meluasnya Kota Kupang yang masih sedang berlangsung. Interaksi dengan suku bangsa Rote dipicu oleh keputusan residen Hazaart pada dasa warsa ke dua abad ke-19 mentransplantasikan banyak orang  Rote di sekitar Kota Kupang. Mereka ditempatkan juga di sepanjang teluk Kupang untuk dijadikan tenaga pembangun persawahan, tenaga pengaman dan tenaga pembangun Kota Kupang. Pada masa itu, orang Meto tidak dapat diandalkan sebagai tenaga pengaman Kota Kupang karena dicurigai bekerja sama dengan sesama orang Meto yang bersenjata yang mengancam keamanan kota itu. Sesudah Belanda berhasil menaklukan pedalaman Timor Barat, pelbagai kelompok orang Rote memasuki pedalaman Timor Barat sebagai petani-peternak maupun sebagai pegawai negeri.

Ungkapan bahasa bersayap penuh simbol ini memiliki makna yang maha luas, yang seyogianya terus digali oleh generasi-generasi berikutnya untuk banyak keperluan, terutama keperluan kehidupan bangsa yang Bineka Tunggal Ika ini.

Salah satu hasil penggalian kami, tim peneliti Komunitas Adat Terpencil Fakultas Pertanian Undana, di desa Bitobe, Kecamatan Amfonag Tengah tahun 2017, kami tuangkan dalam tulisan berjudul “Taman Eden di Kaki Gunung Timau”, yang isinya antara lain:  Tempat itu kampung lama, Panoni, lalu ke Nefoopat, Naibois, Nefonfamus, Bitol, Baune, dan Oelakono. Tempat-tempat ini amat ideal untuk pemukiman warga. Dalam perjalanan di lokasi-lokasi itu disaksikan puncak-puncak gunung gemunung anak-anak Timau, tersusun sedemikian rupa membentuk payu dara nan indah memesona, sebagaimana selalu digambarkan guru antrologi saya Dr. Ataupah, dari sana air susu dan madu mengalir memberikan makan dan minum anak-anak manusia yang ada di bawahnya. “Kita manusia, sesungguhnya hidup dari meneteki puting-puting susu ibu pertiwi yang terang benderang tampak pada puncak-puncak puting-puting susu ibu pertiwi itu”. Di Kaki gunung gemunung ini terbentang tanah-tandah datar yang layak untuk pemukiman, berladang, bersawah, dan beternak. Sebagian ladang penduduk sudah sejak lama dikonversikan dengan tanaman kopi, jeruk; sementara pada lereng hingga ke puncak anak-anak gunung di kawasan ini sudah berubah menjadi kawasan hutan tanaman dengan tanaman dominan ampupu (Eucalyptus urophylla) dan mahoni (Swietenia mahagoni) , serta jati (Tectona grandis) di beberapa tempat. Tanaman-tanamanan kehutanan ini ditanaman warga Sonan sejak tahun 1970-an hingga 1980-an. Salah satunya adalah gunung Manumutin yang diselimuti kawasan hutan ampupu hasil reobisasi tahun 1982. Tanaman ini dirawat dengan cara dijaga agar tidak terbakar, kebiasaan mana berubah menjadi budaya tidak membakar padang.

Kopi (robusata dan arabika) tumbuh membentuk kawasan hutan; begitu pula jeruk tumbuh membentuk kawasan hutan jeruk. Pinang walau tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil dan berjauhan namun secara ekonomi amat potensial, begitu pula dengan Siri yang tumbuh menjalar pada pohon-pohon di depan pondok-pondok warga dan dekat sumber-sumber air. Ketika berada di bawah rindangnya Kopi Robusta dan Arabika, bayangan kami seolah-olah berada di dalam kawasan hutan kopi di Manggarai, di Hokeng, ataukah di Bajawa. Itulah Sonan, Taman Eden di kaki Gunung Timau, taman yang dibuat suku bangsa Meto, ditinggal pergi para pembuatnya karena loyalitas mereka kepada pemerintah Indonesia yang diwakilkan pemerintah kecamatan tahun 1980-an. (*)

Foto utama oleh kemendikbud.go.id