Andika, Pelukis Jingga

Loading

Oleh : Melkianus Nino

Akhirnya tertinggal juga semua yang ada. Tiada jalinan lagi, kini telah berlalu dan pergi. Kesempurnaan Cinta, berakhir di Maret ujung Barat, saat Cakrawala melukis kejinggaan. Aku ditepis rasa yang kian membebani kenangan setahun berjalan, benar indah dan sangat menyentuh beban benak. Aku lewati dengan kekejaman yang kualami-rasakan.

“Maaf, bila cukup dan sampai di sini saja!” Aku tak lagi menahu ulasan ini, mungkin rasa yang mengetuknya.

Aku duduk termenung saat mendung kian menghempas bara mentari, mengusirnya hingga dibalut awan membiru.

“Apa mungkin mentari menaruh amarah, benci serta tak lagi jujur-berpengertian”. Aku sedang berbincang dalam hati kepada Dia yang di sana.

Aku seakan tak ingin bersanding lagi. Tetapi, bayang semunya hadir dan membuat langkah tak lagi mengikuti irama. Sajian pagi terasa batu, belum terseduh terasa duri. Cintaku hanya angan-angan, tangan Dika yang halus tak di lagi kugapai. Kebiasaan memanja saat memanggil namanya.

Dia, namanya Andika. Hanya tatap empat mata belaka, kosong. Mata seakan membuta, bisuku tak lagi berkata-kata. Ilmu yang kugapai seakan tak berarti sama  sekali. Aku diam membukit, saat menatap awan putih menebal, melaju disusul kombinasi mewarnai Mahkota Cakrawala.

Di saat mentari bersahabat pada ketinggian yang sudah-susah kutafsiri. Pancaran berlabuh, menghadirkan nuansa melukis sapuan indah. Aku berdiri dari tempat duduk dan melangkah perlahan keluar kerai teras. Aku memikirkan dari Keagungan Pencipta yang mencipta lalu melepas pesona, laksana Kembang Kembar Mawar Merah.

Aku tak menahu, dan harus beranjak ke mana tujuan mana, dahi mengernyit gelombang. Tangan kiri memegang erat handphone, nada buta-bisu, senyap non-aktif dan Aku bermati raga-mati suri. Aku kewalahan, kebingungan dengan situasi saat berhadapan ini.

“Tapi… tapi… Hanyalah tapi tiada makna. Huuff!”.

Suara hati makin menggunung, hinggapi kumbang-kumbang kecil terbang kian -kemari, susah mengais madu. Dua dahan mawar berduri, sabar menanti jawaban.

Aku seolah terbuai rasa penasaran dengan keterbukaan diri Andika. Aku telah menilainya sepanjang dua kami. Mengarungi sangat jauh dunia cinta. Namun, mati raga-rasa tanpa apa-apa. Aku saluti semua sempurna darinya, tentang pengertian dan kejujuran nya.

“Dika, mengapa keterbukaan masih bersembunyi?”. Firasatku, kalau dia menyimpan rahasia di belakangku.

Saat Alam kian memutari roda ,wajah gemulai alam nampak berbeda. Pecahnya bara mengubah keadaan menjadi pengap, saat warna-warni membias hawanya.

Aku menuju pesisir pantai, duduk di atas moncong perahu pelaut. Luas hamparan pasir membentang di depan lototan. Mata mengedipkan dari kilatan pasir putih. Disinari mentari senja. Aku surut oleh semburat wajah memburam, seperti sampah kertas mengerut . Laut menyudut surut. Lepas pantai makin menjauh, inginkan mengejar gulungan ombak, namun tikar meluas jauh dari hadapanku.

“Andika…Andika…!”

Aku terus menyebut namanya berulang kali, sembari menunduk melihat keanggunan pada wallpaper di latar handphone ini.

“Jangan meninggalkan kesendirianku . Aku memohon kehadiran sesaat saja. Hadirlah juga didekatiku, sebelum Maret pergi ke barat sebentar lagi”. Aku membatin penuh harapan

Aku melangkah membekasi pasiran putih. Di dekat hijauan rimbakan Bakau, dengan menggantung ribuan akar-akar gantung, demi mencakar kehidupan. Ditengoknya naung bakau, ada bekas cakaran telunjuk kecil mirip jejari gadis menggurat . Di atas lembap pasir, tampak susunan daun menguning jatuh melingkari. Pesan kesedihan menampakkan coretan dari telunjuk itu.

“Aku telah pergi. Dan, Aku Pelukis Jingga di terbenamnya Senja. Aku, ANDIKA”.

Foto utama (*/phinemo.com)