Formasi Spiritualitas Iman Kristiani di Tengah Pandemi Covid-19

Loading

Oleh: Edmario Da Cunha, Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira-Kupang

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setahun terakhir ini umat manusia disibukkan dengan wabah Corona Virus Disease  (Covid-19). Implikasi dari merebaknya Covid-19 turut menghadirkan fenomena-fenomena baru dalam interaksi sosial manusia. Realitasnya, kemana-mana orang harus mengenakan masker, menggunakan hand sanitizer, rajin mencuci tangan dan membatasi diri untuk berinteraksi dengan sesama. Lebih lanjut, banyak hal yang tampaknya berubah. Semisal, adanya “degradasi” etika di mana kebiasaan untuk berjabatan tangan diubah menjadi sekadar membungkukkan badan ketika bertemu, pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah dan kampus-kampus beralih menjadi pembelajaran berbasis daring, bahkan misa pun dilakukan secara online.

Covid-19 memaksakan satu dimensi hidup baru dan menjadi keharusan untuk diterima manusia secara global. Mengingat bahwa pandemi tidak hanya menambah jumlah orang sakit, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian. Harus diakui pula, bahwa cara aman untuk tidak terpapar virus tersebut adalah dengan menaati protokol kesehatan yang telah diimbau oleh WHO (World Health Organization) dan juga pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap individu adalah kunci bagi terputusnya rantai penyebaran Virus Corona. Karena itu, baik pemerintah maupun Gereja menerapkan kegiatan berbasis daring guna menyelamatkan banyak orang dari ancaman Covid-19.

Spiritualitas di Tengah Pandemi

Spiritualitas pertama-tama dapat dimaknai sebagai suatu daya atau semangat. Orang yang memiliki spiritualitas adalah orang yang hidup dengan bimbingan Roh atau hidup dalam Roh. Artinya, setiap orang yang hidup dalam Roh harus memiliki visi untuk mengarahkan hidupnya pada kebaikan dan segi sosial-politis. Di sisi lain, dengan memiliki spiritualitas, maka seseorang dapat mendemonstrasikan kehidupan yang berarti, bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi bagi orang lain dan lingkungannya.

Harus diakui bahwa spiritualitas seseorang adalah menyangkut hal rohani. Karenanya, penghayatan rohani seseorang harus terpancar melalui melalui sikap hidupnya terhadap Allah, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Sikap seperti ini menjadi bukti bahwa seseorang memiliki tanggung jawab untuk bekerja sama sebagai co-creator Allah.

Bagaimana spirit Iman Katolik dibentuk dalam situasi Covid-19? Dalam konteks pandemi sekarang ini, spiritualitas Iman Katolik hendaknya dimaknai secara realistis. Sederhananya, seseorang dapat mengambil sikap yang tidak merugikan diri sendiri, sesama dan lingkungan tempat ia berada. Spiritualitas Iman Katolik tidak hanya terbatas pada relasi vertikal personal dengan yang Ilahi, tetapi juga harus sampai pada bagaimana seseorang memaknainya dalam pola laku dan gaya hidupnya setiap hari sebagai tanggapan atas revelasi Allah. Secara lebih mengena, tanggung jawab itu setidaknya dapat ditunjukkan melalui kesadaran untuk menaati protokol kesehatan demi terputusnya mata rantai penyebaran Covid-19.

Spirit orang yang beriman kepada Allah mestinya ada sebagai tokoh kunci dalam mengusahakan kebaikan bersama. Konsistensi untuk tetap beriman di tengah pandemi menjadi suatu semangat untuk membuktikan essensi dari kemahakuasaan Allah. Dengan kata lain, spiritualitas Iman Katolik yang diwujud nyatakan ada sebagai bukti eksistensi Allah yang tidak dibatasi oleh pandemi.

Membangun Kekuatan Iman dari Rumah

Gereja melalui berbagai cara berupaya untuk menjaga keutuhan iman setiap anggota Gerejanya di tengah pandemi Covid-19. Adapun upaya Gereja menyata dalam menggunakan media komunikasi sosial sebagai sarana pewartaan. Di sana Gereja terus menyemangamati umatnya untuk tetap tangguh dalam iman.

Dalam situasi ini, sebagai anggota Gereja mestinya juga memiliki pola pikir yang berdaya inovatif. Gereja yang sedang berperan untuk menjaga stabilitas iman umat di tengah pandemi ini, mengharapkan kolaborasi dan respon balik  yang baik dari setiap anggota Gereja. Dengan mengikuti misa Live Streaming dari rumah, umat menyadari sebuah keutamaan akan kecintaannya pada Allah. Hal substansial yang diciptakan oleh situasi ini adalah adanya kerinduan mendalam akan perjumpaan dengan Yesus Kristus yang diimaninya dalam Ekaristi. Kesempatan ini dapat menjadi peluang yang baik untuk memupuk formasi spiritualitas iman di tengah pandemi Covid-19 dari rumah.

Kerinduan akan Yesus dalam Ekaristi hendaknya membawa kita untuk menyadari satu hal yang lebih utama di mana meningkatkan spiritualitas dalam keluarga. Covid-19 mengajari kita untuk membangun satu tatanan hidup rohani dalam rumah tangga (Ecclesia Domestica) sebagai bentuk formasi spiritual melalui; doa, baca Kitab Suci dan merenungkannya, hingga merenungkan kisah sengsara Yesus di masa prapaskah bersama-sama. Pewartaan melalui media sosial tidak lagi menjadi hal yang baru bagi Gereja, karena Gereja sudah menggunakan sarana ini jauh sebelum terjadi pandemi ini demi kelancaran pastoral Gereja ke seluruh dunia. hal ini juga telah ditegaskan oleh Konsili Vatikan II, dalam Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial Inter Mirifica, No. 1., yang menyatakan “penemuan-penemuan teknologi yang mengagumkan”.

Di sini juga mau ditegaskan bahwa, pewartaan dan eksistensi  Gereja tidak dapat dikurung oleh ruang dan waktu, juga Covid-19. Dengan situasi pandemi ini, menuntut suatu bentuk atau cara Gereja dalam menekankan dimensi kehadiran Allah yang hadir dalam diri umat dengan sebuah pemahaman yang datang dari umat sendiri. Melalui sarana komunikasi sosial Gereja hadir secara langsung bukan semata virtual saja namun Gereja memberikan dimensi kehadiran Allah yang mempunyai potensi penuh demi iman umat.

Salah satu upaya konkrit yang telah dilakukan oleh penulis sebagai anggota Gereja untuk membangun fondasi iman yang kuat dari rumah adalah dengan mengusahakan pemberdayaan Keluarga Kristiani. Pemberdayaan ini berupa wejangan dan nasihat-nasihat injili yang berdaya guna tidak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi orang lain di sekitar mereka. Dengan demikian, pemberdayaan ini bersifat kontinu. Artinya, apa yang telah mereka peroleh dalam wejangan dan nasihat-nasihat injili itu kemudian menjadi bekal bagi mereka untuk dibagikan kepada orang lain di sekitar mereka.(*)

Foto utama (*/koleksi pribadi)