Sketsa Elektabilitas Parpol di Etalase Politik Nasional: Jakarta!

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Ya, ini sekadar sketsa, gambar yang belum jadi, masih coretan awal, meraba-raba. Tapi bukannya tanpa dasar.

Survei elektabilitas yang barusan dilakukan oleh Nusantara Strategic Network (NSN) cukup menarik. Surveinya spesifik di area Jakarta, dan metodenya tatap muka langsung dengan 400 responden.

Biasanya berbagai lembaga survei akan melakukannya dengan metode sambungan telepon kepada sekitar 1200 responden di 34 provinsi seluruh Indonesia (jadi rata-rata sekitar 35 orang per provinsi) dipilih secara random.

Memang survei ini tidak mewakili gambaran keseluruhan Indonesia. Hanya saja lantaran Jakarta adalah area yang kerap jadi ‘spot-light’ di blantika perpolitikan nasional, maka penting juga untuk dicermati.

Survei dilakukan pada 20—27 Februari 2021. Tatap muka dengan 400 responden yang mewakili seluruh wilayah di Jakarta. Multistage random-sampling, margin-of-error sekitar 4,9%, dengan tingkat kepercayaan 95%.

Hasilnya, ada tiga besar parpol yang mendominasi Jakarta: PDIP, PSI dan Golkar.

PDIP dengan tingkat elektabilitas 21,3%, disusul PSI dengan tingkat elektabilitas 14,3% dan Golkar yang mencapai 9,8%.

Ranking berikutnya adalah: PKS 8,5%, Gerindra 7,0%, Demokrat 5,5%, NasDem 4,3%, PAN 3,5%, PKB 2,8%, dan PPP 2,0%, Partai Ummat 1,3%, Perindo 1,0%, Partai Berkarya 0,8%, Hanura 0,5%, dan Gelora 0,3%.

Sisanya tidak dapat suara, dan yang tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 16,8%.

Melihat sketsa seperti ini, sampai-sampai Riandi, Direktur Program Nusantara Strategic Network diawal bulan Maret, mengambil kesimpulan sementara, “Jika digelar pemilu saat ini diprediksi PDIP dan PSI bakal menguasai Jakarta disusul Golkar.”

Memang politik itu sangat dinamis, tergantung ‘political behavior’ (perilaku politik) partai maupun para kadernya. Kader yang sudah ada di parlemen maupun yang di luar parlemen atau pemerintahan.

Jikalau tidak ada skandal, dan kerja politiknya (turun ke bawah, menyampaikan kritik dan saran yang bermutu, dlsb) itu bisa “diterima” oleh rakyat (konstituen), maka akan sangat mempengaruhi popularitas, persepsi kapabilitas serta akhirnya ke tingkat elektabilitas partai, maupun sang kader itu sendiri.

Ambil contoh PSI misalnya. Walaupun PSI belum berhasil menembus parliamentary-threshold di tingkat DPR-RI, akan tetapi kinerja politiknya di DPRD-DKI Jakarta dengan 8 kadernya di sana telah berhasil menaikan tingkat popularitas dan elektabilitas PSI di ibu kota.

Dan ini, oleh beberapa pengamat, diprediksi bakal – sedikit banyak – mempengaruhi elektabilitas PSI di tingkat nasional. Lantaran Jakarta, sekali lagi, adalah ‘spot-light’ blantika perpolitikan nasional.

Sementara itu, diamati pula bahwa keunggulan PDIP sementara ini tidaklah dapat dilepaskan dari faktor ‘cocktail-party’ di mana kemenangan dua periode berturut di tingkat nasional sangatlah mempengaruhi tingkat elektabilitasnya, bahkan diprediksi masih bisa tetap memimpin sampai pemilu 2024 nanti.

Hanya saja, peristiwa skandal dana bansos yang dilakukan kadernya Juliari Peter Batubara (Mensos) baru-baru ini, serta terkatung-katungnya kasus Harun Masiku bakal menjadi batu sandungan yang cukup berarti. Ini mesti segera diatasi dengan kerja politik yang lebih bersih lagi demi memperbaiki citranya.

Sementara itu Riandi juga menilai, gebrakan PSI yang bekerja dengan sungguh-sungguh di parlemen Jakarta terbukti telah menyedot perhatian publik, bahkan sampai ke tingkat nasional.

“Dari awal masuk DPRD, wakil rakyat dari PSI gencar memelototi penggunaan anggaran oleh eksekutif serta bersikap sangat kritis terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.”

Ia menilai bahwa sikap vokal PSI dalam keseriusannya mengawal uang rakyat terbukti efektif mendulang elektabilitas yang terus meningkat.

Golkar sebagai partai paling senior tentu punya kiat tersendiri dalam menyiasati dinamika politik, di ibu kota bahkan sampai ke pelosok negeri.

Walau ditengarai pula kasus walk-outnya Jamaludin (fraksi Golkar di DPRD DKI Jakarta) ketika PSI menolak kenaikan tunjangan jumbo waktu itu bakal mencoreng kredibilitas partai itu.

Dinamika perpolitikan ibu kota masih terus bergolak, semakin mendekati 2024 bakal semakin menggelegak.

Siapa yang bisa mengatalisasi setiap peristiwa menjadi kinerja politik yang sungguh-sungguh, bukan yang abal-abal, pasti bisa mengambil hati rakyat.

Rakyat Jakarta semakin hari semakin cerdas, mata mereka terus mengamati, lalu pikiran mereka terus menimbang-nimbang segala perkaranya.

Coretan sketsa politik ini belum selesai. Berbagai program politik mesti terus dikerjakan.

Dan ingat, kiprah seperti apa yang masuk akal dan berkenan di hati rakyat itulah yang akan memperolah simpati dan kepercayaan, sampai akhirnya menjadi pilihan.

Itulah elektabilitas.

Senin, 8 Maret 2021

Penulis merupakan Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB)

Foto utama oleh sindonews.com