Saraswati: Prostitusi ‘Online’ Melibatkan Anak Harus Dihentikan!

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Prostitusi online menjadi modus baru bagi pelaku perdagangan orang yang rentan terjadi karena faktor kemiskinan dan pendidikan yang rendah, pengetahuan yang minim, keterbatasan informasi mengenai dampak fisik dan psikis dari perdagangan orang dan juga adanya penyalahgunaan media sosial untuk tindakan pelanggaran hukum.

Baca juga : http://gardaindonesia.id/2021/03/19/awas-bujuk-rayu-puluhan-anak-jadi-korban-eksploitasi-seksual/

Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19, di mana perekonomian semakin sulit, orang sulit mencari pekerjaan bahkan ada yang terdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kondisi perekonomian sedang terpuruk. Berbagai tempat hiburan pun ditutup dalam rangka untuk mengurangi penularan virus Covid-19 ini.

Namun, situasi pandemi Covid-19, bagi pelaku perdagangan orang memiliki cara baru untuk mendapatkan uang dengan menggunakan media digital melakukan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana pada kasus perdagangan orang dengan modus prostitusi online yang terjadi di wilayah Kreo, Larangan Tangerang, di mana Kepolisian Polda Metro Jaya melakukan operasi penggerebekan di salah satu hotel yang diduga pemilik hotel adalah seorang selebriti yang berinisial CA.

Menyoroti persoalan di atas, pendiri Yayasan Parinama Astha (ParTha), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pada Jumat, 19 Maret 2021, menyampaikan bahwa prostitusi online yang melibatkan anak makin meningkat jumlahnya dan hal ini harus menjadi keprihatinan kita bersama.

“Kami memberikan dukungan kepada Kepolisian Polda Metro Jaya untuk memproses kasus ini dengan baik dan cepat, dan berharap dapat mengungkapkan lebih banyak lagi kasus perdagangan orang yang selama ini cenderung menggunakan media online untuk iklan atau transaksi,” tegas Saraswati.

Aktivis perempuan dan anak yang akrab dipanggil Sara ini, mendorong upaya aparat penegak hukum untuk lebih giat menegakkan hukum sesuai dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (PA) dan juga bisa ditambahkan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sara pun menambahkan karena korban masih berusia anak maka kepolisian wajib untuk memberikan pasal tambahan yang memberatkan. “Karena hal tersebut telah diatur dalam UU mengenai adanya pemberatan hukuman bagi orang yang melakukan tindakan perdagangan orang terhadap anak,” terangnya.

Ibu dari dua anak ini pun menegaskan bahwa dengan adanya anak-anak yang terlibat menjual diri dalam prostitusi online dengan maupun tanpa mucikari, penting untuk adanya pemberian pemulihan bagi anak-anak tersebut. “Anak-anak ini harus diberikan proses bimbingan, pemulihan maupun rehabilitasi. Jangan sampai mereka justru kembali lagi nanti menjadi korban maupun pelaku dalam prostitusi online. Proses ini tidak akan mudah maupun singkat maka harus ada dukungan dana restitusi yang dapat dipenuhi melalui sanksi pada pelaku yang memfasilitasi perdagangan anak ini maupun dari pemerintah melalui APBN yang ada di bawah Kementerian Sosial,” urainya.

Selain itu, Sara menandaskan bahwa perlu adanya pembekuan terhadap aktivitas hotel tersebut. “Hal ini sangat penting untuk memberikan informasi ke publik bahwa seharusnya hotel bukan untuk menjadi tempat terjadinya transaksi prostitusi,” pungkasnya.

Sumber berita dan foto (*/tim ParTha)

Editor (+roni banase)