Soal Impor Garam Pernah Bikin Jokowi Murka, Lalu Bagaimana?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Berapa kebutuhan (konsumsi) garam nasional kita? Dan berapa produksi nasionalnya? Seperti biasa, data mendasar seperti ini ada beberapa versi. Salah satu versi, bilang kebutuhan konsumsinya sekitar 4,4 juta ton (2021). Sementara produksi garam nasional sekitar 2,5 juta ton. Jadi, masih defisit sekitar 1,9 juta ton. Lalu, bagaimana? Ya impor! Lagi-lagi impor. Untuk jangka pendek ya apa boleh buat.

Yang jadi soal adalah solusi kita selalu untuk jangka pendek! Ya, sependek akal dan visi pembuat kebijakan yang terus berkutat dengan ambisi jangka pendeknya.

Jokowi kabarnya pernah ‘murka’ lantaran jajarannya tidak mampu mengatasi penyakit impor garam yang sudah mendarah daging dari dulu. Kementerian KKP sempat ada prahara soal lobster yang menyeret Menteri Edhy Prabowo ke KPK. Dulu, lebih sibuk korupsi lobster ketimbang mencari solusi swasembada garam.

Pokoknya, semua serba jangka pendek-lah. Apalagi kalau ada kesempatan dalam kesempitan untuk melakukan impor sebagai jalan keluar jangka pendek.

Dari defisit 1,9 juta ton itu kabarnya pemerintah mau impor sebesar 3 juta ton! Lho kok bablas? Kebanyakannya kok sampai 1,1 juta ton. Buat ‘iron-stock’ juga kah?

Kita tidak tahu persis. Sama tidak tahunya tentang seberapa besar sebetulnya kebutuhan versus produksi real garam nasional. Jadi semua serba meraba-raba saja, lantaran data persis tidak ada. Kalau pun sementara ini ada pihak yang berani kasih data misalnya, maka kita tidak bisa percaya begitu saja. Maaf ya.

Sehingga angka rencana importasi 3 juta ton garam itu, ya kita tidak bisa terlalu menyalahkannya, tapi juga tidak bisa membenarkannya begitu saja.

Mencari keseimbangan supply-demand untuk program importasi garam ini memang kerja yang butuh bola kristal dan ilmu gaib tingkat dewa.

Mungkin serupa juga dengan beberapa komoditi lain seperti gula, jagung, bawang putih, kedelai, daging sapi, buah-buahan dan banyak komoditi pangan atau hortikultura lain yang masih mesti kita impor (terus-terusan).

Maka, menabur stok dengan rencana impor garam sampai 3 juta ton itu kebanyakan atau terlalu sedikit, ya kita hanya bisa tahu setelah mencicipinya nanti. Kalau pas ya jadi terasa gurih, tapi kalau overdosis malah bisa jadi pahit. Semua bisa diketahui post-factum, setelah kejadian. Tak ada perkiraan (forecasting) yang adekuat.

Soal garam ini memang ironis. Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yang punya garis pantai sepanjang 202.800 kilometer. Plus luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi merupakan 71% dari keseluruhan wilayah Indonesia.

Dengan kenyataan geografis seperti itu, apakah kita tidak bisa menciduk air laut itu lalu diserahkan kepada sinar matahari anugerah Tuhan yang melimpah di area khatulistiwa ini untuk kemudian jadi garam? Mau tambah yodium? ya tinggal tambah proses sedikit. Masukan larutan KI03 ke dalam sprayer sesuai dengan formula yang ditentukan.

Dengan sedikit arahan dan pembinaan dari instansi yang kompeten, para Petani Garam tentu bisa memenuhi kualifikasi (kualitas) garam industri juga dengan kadar Natrium Chlorida (NaCl) 97%. Ditambah bantuan permodalan dan mekanisasi tak tertutup kemungkinan Indonesia bisa jadi eksportir garam dunia.

Intinya, proses produksinya amat sangat sederhana. Bahan bakunya melimpah ruah. Jadi apanya yang salah ini? Sehingga kita masih terus impor garam?

Dulu di sekitar tahun 1930-an Indonesia juga pernah jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Sekarang kita jadi importir gula terbesar di dunia. Ironis. Apakah hal serupa ini bakal terus-terusan terjadi juga di industri garam? Bukankah ini ironis bagi sebuah negara maritim?

Sekadar informasi, beberapa negara yang biasa jadi pemasok garam industri ke Indonesia adalah: Australia, tahun 2017 nilainya: USD 76,09 juta dan tahun 2016: USD 70,33 juta. Lalu, disusul India (2017: USD 5,75 juta, 2016: USD 12,56 juta). Kemudian, Selandia Baru (2017: USD 1,16 juta dan 2016: USD 1,22 juta). Denmark (2017: USD 203,22 ribu dan 2016: USD 126,66 ribu).  Jerman (2017: USD 158,18 ribu dan 2016: USD 1,03 juta). Negara lainnya (2017: USD 275,20 ribu dan 2016: USD 757,43 ribu).

Jadi, di tahun 2017 kemarin nilai importasi garam kita mencapai USD 83,5 juta (sekitar Rp 1,2 triliun). Tahun 2016: USD 86 juta (sekitar Rp 1,25 triliun).

Jokowi sempat menyentil jajarannya yang tahu betul mengenai hal ini, namun tidak pernah mencari solusinya secara komprehensif. Jokowi pun mengakui, selama ini persoalan garam hanya disikapi melalui jalan pintas, yaitu impor.

Akhirnya,

Garam, kalau ditabur pada porsi yang pas akan melezatkan, tapi kalau kebanyakan ditabur malah akan jadi pahit! Supaya tidak pahit, bikin strategi nasional untuk ekspor garam saja. Optimalisasi kan potensi alam (garis pantai) kita.

Sabtu, 20 Maret 2021

Penulis merupakan Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB)

Foto utama oleh Humas Setda Provinsi NTT