“Kita Sesama Pendosa” Refleksi Atas Perikop Injil Yohanes 8:1—11

Loading

Oleh: Fernando Mau, Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira

Dalam perikop Injil Yohanes 8:1—11 ditampilkan sebuah kejadian yang menggugah kita untuk memberikan tafsiran dan tanggapan kritis atas realitas saat ini. Kalau kita membaca dan merenungkan teks Kitab Suci ini, maka kita dapat menyaksikan bagaimana seorang wanita yang melakukan perbuatan zinah dibawa ke hadapan Tuhan Yesus untuk dihakimi dengan hukum rajam.

Persoalan yang menggugah penulis untuk merefleksikan perikop Injil ini terletak pada hukum rajam yang hendak dijatuhkan pada wanita yang berbuat zinah. Kalau kita melihat persoalan ini dalam konteks kita saat ini, maka dapat disamakan dengan hukuman mati yang sering dipraktikkan dalam kehidupan bernegara saat ini.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus menolak untuk menghukum wanita yang berbuat zinah dengan mengatakan, “Barang siapa di antara kamu tidak berbuat dosa, hendaklah ia yang pertama melempar batu kepada perempuan itu.” Penolakan Tuhan Yesus ini sekaligus memberikan peraturan bilamana kita dapat menghakimi orang lain. Jika kita tidak berdosa, maka kita boleh menghakimi orang lain dan sebaliknya jika kita berdosa maka kita tidak boleh menghakimi orang lain. Tetapi, semua manusia di dunia ini berdosa (kecuali Bunda Maria, satu-satunya manusia yang tidak berdosa) dan dalam konteks bacaan ini__di antara orang-orang yang hadir__ hanya Tuhan Yesus yang tidak berdosa. Ia tidak menghukum perempuan itu. Ia menyelamatkan nyawanya dan mengampuni dosanya. Ia menyurunya pergi dan jangan berbuat dosa lagi.

Penjelasan di atas memberikan sebuah pemahaman, bahwa manusia secara kondisi eksistensial senantiasa mengalami keberdosaan. Memang manusia punya kecendrungan untuk berbuat baik, tetapi serentak punya kecendrungan berbuat dosa. Kalau dalam bahasa teologis dikatakan, manusia hidup dalam keadaan rahmat dan dosa. Berkaitan dengan ini, rasul Paulus mengatakan, “ Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku” (Roma 7:19—20). Dengan demikian, manusia sebenarnya tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk saling menghakimi.

Hal berikut yang perlu kita tahu, bahwa kehidupan manusia tidak boleh ditiadakan oleh siapapun termasuk oleh manusia itu sendiri, karena manusia adalah citra Allah. Dari sini, dapat kita tarik, bahwa citra Allah yang melekat dalam diri manusia menegaskan keluhuran martabatnya dan kodrat ilahinya. Jadi, bukan ditentukan oleh apa yang dicapai di luar diri Allah. Konsekuensinya adalah selain Allah, tidak ada yang berhak mencabut nyawa manusia, Allah yang mencipta, Allah yang menghembuskan nafas kehidupan, maka Allah yang berhak mengambil kembali apa yang menjadi miliknya.

Pemahaman-pemahaman di atas sebenarnya menghantar orang pada sebuah tindakan cinta akan kehidupan. Tetapi fakta sering berbanding terbalik, sehingga penghilangan atas kehidupan manusia dapat kita saksikan di mana-mana, dengan berbagai alasan yang mengeliminasi keluhuran martabat manusia.

Pada zaman modern ini, seseorang bisa saja dihukum mati karena dikehendaki oleh penguasa yang otoriter atau karena melakukan pelanggaran yang digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa. Ini sering dibenarkan dengan dalil “demi kebaikan bersama, demi sebuah keadilan, demi kepastian hukum, dan lain-lain”, namun ada hal paling fundamental yang mereka lupakan, yaitu keberadaan setiap manusia secara personal sebagai citra Allah yang mestinya dilindungi, karena darinya kehidupan bersama dan segala macam usaha untuk merawat kebersamaan itu terbentuk.

Jadi, melihat keadaan masyarakat manusia yang cendrung legalis ini, kita sebenarnya berada dalam suatu pelarian, suatu keterbiritan, suatu keterasingan, suatu alienasi dari kasih Tuhan yang tidak terbatas. Karena itu, kecendrungan kita adalah mencari kedamaian yang kita ciptakan sendiri dengan menghakimi orang-orang yang bersalah, padahal kedamaian yang hakiki itu hanya dapat ditemukan dalam Tuhan tanpa menghakimi orang lain.

Kita perlu berbalik dari keberdosaan kita, Tuhan tidak menghakimi kita. Tetapi, Ia hanya berpesan kepada kita, “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Foto utama (*/koleksi pribadi)