Habis Gelap Terbitlah Terang

Loading

Oleh: Albertus Muda, S.Ag

Kekuatan yang terbersit lewat untaian kata-kata berhikmah di atas, keluar dari mulut seorang perempuan belia yang saat ini kita kenang sebagai salah satu pahlawan nasional. Bagaimana tidak? Kata-kata di atas, menarasikan konteks budaya pada zamannya yang membelenggu, menindas dan paternalistis.

Ya, situasi itu benar-benar dialami oleh Kartini di zamannya, ratusan tahun silam. Konteks budaya di zamannya, seolah penjara yang menyekap eksistensi dan kemerdekaan manusia muda yang pada dasarnya diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang diharapkan bebas berekspresi dan mengaktualisasikan dirinya secara maksimal, seperti kehendak Tuhan sendiri.

Anak perempuan yang memasuki usia 12 tahun, diharuskan melewati masa dipingit. Oh, begitu? Ya, memang terjadi demikian! Anak perempuan dilarang keluar rumah. Kerinduan untuk bertemu teman bakalan tidak kesampaian. Apalagi merengek mau bersekolah lebih tinggi. Syukur waktu itu belum ada Covid-19. Jika tidak, anak-anak perempuan akan lebih menderita dibanding sekarang.

Itulah sepintas gambaran nyata yang pernah terjadi di zaman Kartini ratusan tahun silam. Inilah yang oleh Kartini dinamakan zaman kegelapan, situasi suram. Madesu (masa depan suram). Ya, semua hal yang mestinya menjadi terang benderang, ternyata sebaliknya menjadi sangat eksklusif, terkekang dan seolah dunia ini hanya dihuni oleh kaum pria. Dengan kata lain, dunia tampaknya priyayi tetapi kehidupan di dalamnya sangat jelata. Kasihan ya kehidupan para perempuan kala itu.

Namun demikian, Kartini memiliki keyakinan bahwa zaman kesuraman bahkan kegelapan itu akan berubah di kemudian hari, ketika para perempuan bersatu, memaksimalkan potensi dirinya yang terbelenggu dan berani menunjukkan jati diri sesungguhnya sebagai manusia yang paripurna. Purna itu karena manusia diciptakan laki-laki dan perempuan sederajat. Taraf derajat inilah yang membawa manusia (laki-laki dan perempuan) kepada proses penyempurnaan diri.

Penyempurnaan itu, mengabarkan datangnya zaman keemasan, di mana laki-laki dan perempuan bergandengan tangan, saling meneguhkan dan bukan lagi menindas pihak yang dianggap paling lemah. Satu sama lain meski memperlakukan secara bermartabat. Meski sana sini, masih terdapat berbagai kekurangan. Namun, semuanya bertujuan membentuk pribadi secara holistik. Paling kurang ada kedamaian, sukacita, kesejahteraan dan pengampunan bersemi di sana.

Ruang ekspresi dan aktualisasi diri bagi perempuan-perempuan di zaman ini, menjadi lebih terbuka dan multidimensi. Keterbukaan itu tampak langsung lewat mudahnya mengakses teknologi komunikasi dan akses pendidikan yang juga sangat menjanjikan bagi kaum perempuan. Inilah zaman pencerahan, zaman keterbukaan menjemput generasi emas di tahun 2045.

Kegelapan Menyelimuti Kita

Hidup Kartini muda, seolah diliputi kegelapan oleh karena cita-citanya tidak terpenuhi. Ia menikah dan meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Semua impiannya habis terkubur. Namun, biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan mati akan membawa kehidupan baru. Kartini telah menjadi biji gandum emansipasi dan literasi yang telah tertanam masuk ke dalam perut pertiwi sehingga menghasilkan kehidupan yang baru untuk perempuan Indonesia kini.

Peristiwa badai siklon seroja, juga banjir bandang dan tanah longsor yang melanda NTT menyebabkan warga kehilangan harta benda dan terutama kehilangan anggota keluarga. Kondisi hari-hari belakangan ini, menggambarkan masa-masa kegelapan dan kesuraman. Kegelapan itu teridentifikasi, melalui orang-orang yang terluka, patah tulang dan bahkan meninggal dunia. Situasi kegelapan ini, mengajak kita semua untuk tidak saling menyalahkan, melainkan  saling mengevaluasi dan introspeksi diri dan komunitas.

Kegelapan melanda warga ketika terjadi hujan lebat, tanah longsor dan banjir bandang. Tak terkecuali rumah-rumah yang menjadi pelabuhan harapan pun rata tanah, dihempas banjir dan longsor juga badai siklon seroja. Kegelapan itu semakin dirasakan, saat suasana sekitarnya sunyi dan mencekam. Rumah terhempas banjir bandang dan longsor. Manusia dan material lainnya digiring paksa oleh banjir bandang ke laut hingga ada yang pergi untuk selamanya.

Kini, kegelapan masih terus menyelimuti, ketika warga yang selamat, tinggalkan kampung halaman mereka. Mereka menghuni pondok-pondok yang kebanyakan tidak layak, menampung banyak orang, dari berbagai usia dalam waktu yang lama. Lainnya masih dirawat di RS dan di posko-posko. Luka-luka tak lekas sembuh. Amputasi tulang pun dilakukan beberapa kali. Banyak yang meninggal dunia bahkan ada yang jejaknya tak ditemukan hingga saat ini.

Terang Perlahan Menghampiri

Tak pernah diduga bahwa di balik kisah pilu, ada sekelumit kisah kehidupan. Ya, ada sebagian besar anggota keluarga yang meninggal dunia bahkan ada yang tidak ditemukan tetapi ada kisah unik dari mereka yang lolos. Berkat bantuan leluhur lewo tanah, lango tukan, mereka bisa selamat meski ditindih reruntuhan, berbatuan dan kayu di malam banjir bandang.

Mereka selamat dan ditolong oleh sesama yang masih bisa lolos dari peristiwa maut itu. Demikian juga, tim tanggap cepat bencana seperti FPRB, TNI/Polri dan LSM/NGO serta komunitas lainnya yang bahu membahu memberi bantuan dalam situasi darurat tersebut. Terang itu mulai terasa, kala para korban ditemukan, dievakuasi ke puskesmas dan juga rumah sakit umum daerah (RSUD). Demikian juga yang meninggal dan tertimbun mulai ditemukan satu per satu, meski tidak semuanya.

Terang itu dipenuhi kasih yang melimpah. Yang meninggal dibersihkan dari balutan lumpur dan dimandikan untuk dimakamkan. Mereka yang cedera, patah tulang baik kaki maupun tangan juga terlindas batu dan kayu dirawat di rumah sakit sebelum diungsikan ke posko yang ditentukan. Ada kehidupan dan kebangkitan dari keterpurukan ini, meski rasa trauma masih terus membayangi.

Para korban yang hidup maupun meninggal sudah dijanjikan mendapatkan santunan. Meski demikian, korban hidup sampai hari ini belum terealisasi santunannya. Kita percaya, pemerintah tidak akan ingkari janjinya. Bantuan demi bantuan pun didistribusikan oleh berbagai komunitas dan kelompok masyarakat baik umum maupun dari lembaga pendidikan, dari TK hingga PT. Mereka datangi posko-posko yang disediakan pemerintah, posko mandiri juga pondok-pondok yang tersebar di kebun-kebun untuk memberikan bantuan.

Terang semakin semarak ketika yang cedera perlahan mulai sembuh, luka-luka mulai kering, meski luka batin masih menyayat hati karena kehilangan anggota keluarga dan harta benda. Namun, syukur kepada Allah karena masih ada kehidupan bersemi dari tengah puing kehancuran.

Kita berharap agar bantuan tidak berat sebelah. Olehnya, pemerintah mesti membuat pemetaan. Kalaupun ada LSM/NGO atau komunitas yang menyumbang secara mandiri, paling kurang melapor ke posko utama agar tidak terjadi penumpukan di posko-posko atau pondok dan rumah tertentu.

Kita butuh kerja cepat pemerintah untuk menanggulangi kesemrawutan data agar pemerataan penyaluran bantuan dapat dialami semua warga di tempat-tempat pengungsian.

Terang berikutnya yang dinantikan adalah kepastian warga menerima bantuan seperti drum plastik dan fiber. Jangan sampai ada warga yang namanya tercatat, tetapi tidak mendapatkan bantuan yang dimaksud. Jika yang dikampung menerima bantuan, mereka yang masih dirawat di posko-posko pemerintah pun mesti mendapatkan haknya yang sama sebagai warga desa yang sah. Kita berharap validasi data meski benar-benar akurat agar tidak terjadi malpraktek database.

Terang yang paling dirindukan warga adalah memiliki tanah dan rumah untuk bisa tinggal dan menetap, setelah kembali dari posko yang disediakan pemerintah dan posko mandiri juga pondok. Rumah tentu layak huni dan diperuntukkan pertama-tama, bagi yang rumahnya luluh lantah saat banjir dan tanah longsor. Setelah itu baru warga lainnya, yang rumahnya masih utuh. Di sini perlu diwaspadai, agar data dan eksekusi di lapangan tetap sinkron, agar tidak menimbulkan perdebatan atau konflik horizontal di tengah kondisi impitan penderitaan. Tanah yang dihibahkan mesti dipastikan disertai surat hibah dari pemilik tanah yang sah. Selanjutnya, pemerintah tentu diharapkan bersinergi dengan badan pertanahan nasional, agar sertifikat tanah segera diterbitkan sebagai dasar atau landasan hukum untuk dikantongi setiap kepala keluarga yang direlokasi. Hal ini penting demi mencegah klaim atau pemutarbalikan fakta di kemudian hari.

Tentu masyarakat menggantungkan nasib dan harapan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk melakukan semua ini dengan tulus hati. Masyarakat berharap agar tidak ada indikasi lain yang bisa membuat nama instansi pemerintah khususnya atau pemerintah daerah secara umum tercoreng. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Semoga kehidupan warga dari waktu ke waktu semakin dipenuhi keceriaan, meski batin masih menyimpan luka mendalam. Kekuatan mesti dibangun dari dalam diri warga sendiri. Kebahagiaan tidak dibeli tetapi ditumbuhkan dari dalam diri. Maka, dibutuhkan dukungan trauma healing dan psikosocial support untuk anak-anak, remaja dan perempuan demi memulihkan trauma yang masih membayang di pikiran dan tersimpan di lubuk hati terdalam. Semoga dengan bantuan semua pihak, yang didonasikan dengan penuh ketulusan, duka ini segera berakhir. Semoga relokasi di-manage dengan baik dan tulus pula, agar nantinya hak-hak yang diterima pun memberi kepuasan warga secara holistik. (*)

Penulis merupakan Relawan Triple-K Nusantara

Foto utama (*/koleksi pribadi)