Penggalan Kisah Pilu Banjir Bandang di Adonara NTT–Cerita Natalia Andisty

Loading

Flores Timur-NTT, Garda Indonesia | Banjir Bandang di Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Minggu, 4 April 2021, masih menyisihkan kisah pilu nan menyayat hati. Data dari Komando Tanggap Darurat Bencana Siklon Tropis Seroja Provinsi NTT tahun 2021, menyampaikan data korban dan kerugian material per 8 April 2021 menyebutkan 71 orang meninggal dunia, 54 orang luka-luka, 5 orang hilang, 1.100 orang mengungsi, 218 KK terdampak, 82 unit rumah rusak berat, 34 unit rumah rusak ringan, 97 unit rumah terdampak, 8 unit fasilitas umum rusak berat.

Namun, dari semua kondisi memilukan tersebut, terdapat beberapa penggalan cerita pilu yang kembali diceritakan oleh Natalia Andhisty, relawan dari Pertiwi Indonesia yang berada pada Rabu, 7 April 2021 (tiga hari pasca-banjir bandang di Wawerang, Kecamatan Adonara, Kabupaten Flores Timur).

Berada di Adonara selama 3 (tiga) minggu, menyisakan kisah berharga bagi Natalia Andhisty, dirinya harus menelusuri jalanan yang masih rusak parah dan penuh lumpur demi melayani para pengungsi dan korban Banjir Bandang. “Awalnya Nat turun bersama Pertiwi Indonesia, antar air minum, peralatan dapur, mie instan, dan 850 butir telur,” urainya kepada Garda Indonesia pada 28 April 2021 sembari mengungkapkan dirinya merasa drop akibat kelelahan.

Material bebatuan yang terseret hingga pemukiman warga saat banjir bandang di Pulau Adonara

Hari pertama di Adonara, cerita Nat secara gamblang, ia bersama relawan Pertiwi Indonesia melayani masyarakat korban bencana dan TNI. “Pagi-pagi rebus telur kemudian diantar ke posko-posko termasuk susu untuk anak-anak. Kami juga bagikan ke TNI/Polri yang berjaga di jembatan darurat termasuk di Koramil. Satu minggu kemudian distribusi peralatan mandi dan air mineral,” urainya.

Pertiwi Indonesia, imbuh Nat, juga bekerja sama dengan para Suster dari Ordo DST di Waiwerang. “Minggu pertama hingga kedua, kami masih sibuk di posko bersama Suster Barista membuat kopi untuk siapa saja yang bekerja di seputar jembatan darurat. Hingga menjelang puasa (Ramadan 1442H, red), kami membagikan peralatan salat dan menu buka puasa dan termasuk takjil kami antar ke posko-posko,” tuturnya.

Atas arahan Ibu Krisna Pertiwi Pusat dan Ibu Mutia Pertiwi NTT, sambung Nat, kami tetap bergerak sambil menerima bantuan-bantuan dari luar yang dikirimkan via Helikopter BNPB. “Hingga hari ke-20, bersama para Suster Ordo DST masih melayani hantaran menu buka puasa kepada pengungsi yang mayoritas Muslim di posko-posko umum sekitar Jembatan Waiburak, Waiwerang dan Koramil 1624 Adonara. Dan Pertiwi Indonesia berhasil menjalin komunikasi untuk distribusi tangki air dan Puji Tuhan sudah mulai beroperasi,” akunya.

Natalia Andhisty bersama relawan Pertiwi Indonesia saat membagikan sembako kepada aparat Polri

Natalia Andhisty merupakan pemeluk Katolik mengikuti ekaristi (bersama rombongan Pertiwi, red) yang dipersembahkan oleh Yang Mulia Uskup Larantuka, Mgr. Kopong Kung, Pr. bersama para pastor di Nelelamadike pada Minggu Paskah pertama tepat 7 hari sesudah banjir bandang. “Minggu Paskah pertama ada perayaan misa dan tampak masih mereka (korban bencana banjir bandang, red) menangis di saat misa. Kepala desa pun tampak tegar menerima kami meski tampak lelah di matanya tapi tetap melayani,” ulas Nat yang aktif mendorong geliat UMKM di Kota Reinha Rosari tersebut seraya mengungkapkan para pastor dan suster tampak sangat giat menolong para korban dengan cara masing-masing termasuk memandikan jenazah korban banjir di seputar Nelelamadike.

Pada Rabu, 7 April 2021, tampak seorang Ibu menggandeng anaknya di tengah lalu lalang orang dengan sepeda motor. Ibu itu bersama anaknya dengan tatapan mata hampa, lalu Suster memanggil anak itu untuk membagikan telur rebus (tampak baju anak itu kedodoran)

Selama berada di Adonara, Natalia Andhisty dan relawan Pertiwi Indonesia menumpang tidur malam di Dekenat Adonara. Ia pun kembali mengisahkan saat melihat banyak orang berjalan dengan tatapan kosong. “Mereka banyak berkerumun dan lalu lalang di seputar jembatan darurat meski TNI/Brimob sedang membuat jembatan tersebut. Hiruk pikuk manusia  bergerak melupakan Covid-19,” ungkapnya.

Berkat bantuan TNI, lanjut Nat, 2 (dua) jembatan yakni Jembatan Waiburak dan Waiwerang yang putus dihantam arus banjir, kembali dibangun. “Waiburak artinya air yang bercahaya di malam gelap,” ucap Nat sembari mengungkapkan bahwa minyak tanah di minggu awal juga sangat susah karena SPBU di Waiwerang ada 10 mobil tangki hanyut terbawa banjir (kerugian kisaran Rp.5 miliar).

Jembatan Waiburak yang dibangun TNI pasca-banjir bandang

Ada kisah pilu, tutur Natalia Andhisty yang memiliki usaha Duta Cafe di Kota Larantuka ini, ada seorang ibu di posko yang tampak depresi dengan tatapan mata kosong karena bayinya lepas dari pelukannya dan terbawa banjir. “Ada juga seorang ibu di Nelelamadike, saya temui sesaat sebelum Pak Jokowi turun ke sana, kakinya masih terbalut perban dan menceritakan anaknya ditemukan meninggal di dalam kelambu. Dan meratapi anaknya kenapa bukan ibu itu saja yang dipanggil Tuhan terlebih dulu,” ucapnya lirih.

Di Posko Nelelamadike, sambung Natalia Andhisty, meski di pengungsian mereka tetap bergotong royong di dapur umum. Di Nelelamadike saya rasakan duka mendalam sekali terlebih saat melihat bekas aliran sungai, kekuatan alam yang maha dahsyat datang tiba-tiba menjemput jiwa-jiwa. Penampakan baru berbatuan usai banjir bandang menceritakan kebesaran Tuhan. Anjing melolong di siang hari saat Misa Ekaristi berlangsung menceritakan banyak kesedihan di sana.

“Saat sejak awal berpikir bahwa harus kerja secepatnya untuk menolong para korban meski sekecil apa pun yang bisa dibuat dan diberikan kepada para korban. Situasi batin para korban dan penduduk sekitar juga tidak stabil jadi harus banyak bersabar,” tutup Natalia Andhisty menuturkan kisahnya selama di Pulau Adonara.

Penulisdan Editor (+roni banase)

Foto (*/koleksi pribadi Natalia Andhisty)