Balon Mobilitas Sosial

Loading

Oleh: Josef Herman Wenas

Di India tercatat 4.000 kematian dalam dua hari terakhir. Malaysia mulai kemarin (Senin, 10 Mei 2021, red) sampai dengan awal bulan depan memberlakukan lockdown nasional untuk ketiga kalinya sejak pandemi ini mulai lebih setahun lalu. Masuk akal Corona di Indonesia diyakini memiliki banyak klaster Covid-19 yang tak terdeteksi. Dari random sampling para pemudik sejauh ini, ternyata 2/3 dari yang diperiksa hasilnya positif.

Tampaknya ada korelasi positif antara peningkatan jumlah vaksinasi dan peningkatan mobilitas sosial (apa pun motifnya). Ironisnya, kedua hal ini justru potensial meningkatkan kasus-kasus Corona berikutnya.

Mobilitas sosial yang dilakukan dengan cara-cara “normal lama” ini yang belum beralih ke cara-cara “normal baru.” Memang ongkos belajarnya mahal, perlu waktu dan korban. Tanpa mobilitas sosial, suatu masyarakat (yaitu sekumpulan manusia) pasti mengalami stagnasi. Hantaman pertama terjadi pada pada dimensi budaya (kreativitas, daya cipta) dan ekonominya (produktivitas).

Selanjutnya “efek domino” hantaman itu masuk ke dalam dimensi-dimensi kemanusiaan lainnya, ideologi, politik, hukum, dan lain sebagainya.

Mobilitas sosial adalah urat nadi peradaban. Entah itu urusan ke tempat kerja, urusan belajar, urusan beribadah, urusan ke pasar, urusan kesehatan, urusan nikah, urusan olah raga, urusan pengadilan. Macam-macam urusan lah.

Tanpa mobilitas sosial, peradaban mati. Masyarakat mati.

****

Sekarang kita dipaksa oleh virus Covid-19 untuk membiasakan diri hidup dalam konsep “bubble“, atau gelembung, atau sebutlah balon, berdasarkan warna-warna zonasi (merah, oranye, kuning dan hijau) yang ditentukan oleh kehadiran sang virus.

Sekarang ini suatu perjalanan (traveling) antar wilayah menerapkan prinsip balon ini— tidak melulu dalam arti sempit wisata liburan tetapi dalam arti luas bermacam motif traveling itu sendiri.

Mereka yang di balon merah prinsipnya tidak bisa ke balon hijau. Perlakuan balon hijau ke balon kuning lebih “soft” daripada ke balon merah (misalnya soal syarat isolasi, syarat tes). Hubungan antara balon kuning dan balon oranye ada caranya sendiri yang beda dengan hubungan dengan balon merah.

Sekarang, sesama balon hijau bisa bekerja sama untuk berkreativitas dan berproduksi. Menteri Sandiaga saat ini sedang mati-matian mengupayakan apa yang disebut “travel corridor” dalam konteks ini.

Rumitnya urusan-urusan ini di tingkat eksekusi pada intinya menjelaskan upaya kita semua menemukan apa yang disebut mobilitas sosial baru, yaitu “balon mobilitas sosial”. Sialnya, “balon mobilitas sosial” ini bukan sesuatu yang permanen, balon hijau bisa saja mendadak menjadi kuning, dan tiba-tiba merah.

Sehingga kalau dulu kita merencanakan suatu perjalanan dengan tingkat kepastian yang tinggi, hari ini hal itu menjadi jauh lebih sulit. Di sisi lainnya, agen perjalanan harus terbiasa dengan akuntansi refund atau reschedule, begitu juga para operator moda transportasinya (pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bis). Treatment terhadap cashflow perusahaan pun berubah… “jangan yakin dulu itu duit kita, entar kena refund lagi.”

Satu-satunya kepastian mobilitas sosial baru, “balon mobiltas sosial”, diukur dari kapabilitas seseorang mengantisipasi ketidakpastian.

****

Lebaran tahun 2020 lalu, pemerintah dan masyarakat masih kompak, oleh karena sama-sama kaget, sama-sama tidak tahu bagaimana penanganan seharusnya. Di Yogyakarta, sebagai salah satu tujuan mudik, saat itu mengalami kesepian Idul Fitri yang hampir total.

Menghadapi Lebaran tahun 2021, ini terasa berbeda. Pemerintah dan masyarakat sudah belajar banyak. Tidak kaget lagi, sudah tahu harus melakukan apa. Hanya saja muncullah dua versi, versi pemerintah dan versi masyarakat, soal bagaimana seharusnya mobilitas sosial baru dilakukan.

Maka di sana-sini terjadi friksi. Ada penerobosan di perbatasan yang diblokade, ada yang disuruh putar balik malah pada shalawat, ada juga ajakan pembangkangan di media sosial, ada yang membandingkan secara “ad hominem” antara yang dibolehkan dan tidak dibolehkan.

Ada sebagian kaum intelektual mengkritik sikap ambigu pemerintah dibalik kebijakan mudik tahun ini. I must beg to differ from this, menurut saya kita hanya sedang belajar untuk memahami apa itu mobilitas sosial baru, apa itu “balon mobilitas sosial”, yang sifatnya sementara, dengan volatilitas perubahan yang tinggi.

Kenyataan adanya “balon mobiltas sosial”— it carries with it a great extent of uncertainty— inilah yang membedakan fenomena mudik antara tahun 2020 lalu dan tahun ini. (*)

Yogyakarta, 11 Mei 2021

Foto utama oleh Kompas.com