Demo Hari Ke-17, Pengungsi Afganistan Datangi IOM dengan Tuntutan Sama

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Pengungsi Afganistan dan Pakistan yang menempati Hotel Ina Boi dan Kupang Inn kembali melakukan ujuk rasa (demonstrasi) pada Kamis, 20 Mei 2021 pukul 09.25 WITA—selesai di depan Kantor IOM (International Organization for Migration). Para demonstran, sekitar 15 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan juga memboyong anak-anak dan mendirikan tenda darurat.

Masih dengan tuntutan yang sama, para demonstran (pengungsi Afganistan, red) tersebut bersikukuh menemui langsung pihak IOM guna menyampaikan aspirasi mereka yakni terus menuntut agar IOM memfasilitasi mereka dengan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) untuk dilakukan pemindahan ke negara ketiga atau resettlement ataupun daerah lain, namun hal ini belum dipenuhi IOM sehingga mereka merasa resah dan terus melakukan aksi unjuk rasa.

Kepala Rudenim Kupang, Heksa Asik Soepriadi kepada Garda Indonesia menyampaikan, tetap melakukan pengawasan terhadap para pengungsi asal Afganistan yang terus berunjuk rasa di depan Kantor IOM, yang mana sempat berhenti berunjuk rasa di Hari Raya Idul Fitri (hari ke-15). “Aksi para pengungsi ini sudah berlangsung sejak tanggal 28 April hingga 20 Mei 2021 dan sempat tidak melakukan unjuk rasa pada tanggal 11—16 Mei 2021 yaitu pada saat hari Raya Idul Fitri,” ungkap Heksa.

Selain itu, imbuh Heksa, terdapat 2 (dua) angota Unit Pengawasan Orang Asing (POA) Kepolisian Resort Kupang Kota yang tetap memantau jalannya unjuk rasa tersebut. “Beberapa pengungsi yang sering berunjuk rasa memilih datang ke Kantor Rudenim Kupang untuk berkoordinasi,” ujar Heksa.

Anak-anak pengungsi pun menemani para orang tua mereka (pengungsi Afganistan dan Pakistan) yang berdemo di depan Kantor IOM

Menurut Heksa, aksi unjuk rasa tersebut akan terus dilakukan oleh para pengungsi Afganistan karena tuntutan mereka ke IOM belum terpenuhi. “Petugas Rumah Detensi Imigrasi Kupang akan terus memantau jalannya aksi unjuk rasa di kantor IOM hingga para pengungsi membubarkan diri dan pulang ke hotel masing-masing,” tegasnya.

Jumlah pengungsi yang berunjuk rasa, ujar Heksa, sudah mulai berkurang dari hari ke hari. “Hal ini disebabkan adanya pro dan kontra di antara para pengungsi yang berunjuk rasa dan apabila para pengungsi melakukan unjuk rasa yang anarkis dan mengganggu ketertiban umum, maka Kepolisian Resort Kupang Kota yang akan mengambil tindakan tegas,” tandasnya.

Diketahui, pada tanggal 17 Mei 2021, dua perwakilan pengungsi ke Kanwil Kumham NTT bertemu Kadiv Keimigrasian untuk meminta bantuan agar tuntutan mereka dipenuhi IOM dan pada 19 Mei 2021 ke Kantor Gubernur NTT, bertemu Wakil Gubernur menyampaikan alasan serta tuntutan mereka terhadap IOM.

Kakanwil Kemenkumham NTT Audiensi dengan Wagub Josef Nae Soi Bahas Masalah Pengungsi

Sebelumnya, Kepala Kanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone didampingi Kepala Divisi Keimigrasian, Eko Budianto, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Arfan Faiz Muhlizi, Kabid Pelayanan Hukum, Erni Mamo Li, dan Kasubbag HRBTI, Yustina Lema; melakukan audiensi dengan Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi di ruang kerja Wagub, pada Selasa, 11 Mei 2021; membahas soal pengungsi asal Afghanistan dan Pakistan yang belakangan kerap berunjuk rasa ke IOM (International Organization for Migration).

Marciana mengkhawatirkan para pengunjuk rasa yang didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Sebagian bahkan sedang dalam kondisi hamil. Hampir setiap hari, para pengungsi tersebut mendatangi IOM. Disisi lain, Kepala Divisi Keimigrasian dan Kepala Rudenim Kupang juga sudah berkomunikasi dengan IOM dan UNHCR. Namun, karena alasan pandemi Covid-19, IOM dan UNHCR tidak boleh bertemu langsung dengan pengungsi sesuai dengan SOP-nya.

Mercy Jone sapaan akrab Kakanwil Kemenkumham Provinsi NTT berharap pemerintah daerah dapat membangun komunikasi dengan IOM sebagaimana isi Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Pengungsi menuntut agar segera dipindahkan dari Indonesia, karena di Indonesia mereka tidak bisa bekerja. Selain itu, anak-anak juga tidak mendapatkan akses pendidikan. Pengungsi juga menuntut untuk segera pindah ke negara ketiga.

“Tugas dan fungsi kami di Kemenkumham hanya sebatas pengawasan administrasi saja,” ujar Mercy kepada Wagub Nae Soi.

Wakil Gubernur, Josef Nae Soi mengatakan  akan berupaya untuk berkomunikasi dengan IOM dan UNHCR guna mencari solusi yang terbaik. Prinsip dasar pemerintah daerah adalah tetap memperhatikan asas Kemanusiaan sehingga tuntutan pengungsi dapat dipenuhi namun tidak menimbulkan polemik baru.

Pertemukan IOM dan Perwakilan Imigran Afganistan, Wagub Tegaskan Akan Cari Jalan Keluar Terbaik

Wakil Gubernur NTT, Josef Nae Soi (JNS)  mempertemukan perwakilan imigran Afganistan dengan pihak International Organization For Migration (IOM) di ruang kerjanya, pada Rabu, 19 Mei 2021 yang memfasilitasi berbagai keluhan dan permasalahan yang disampaikan para imigran. Hadir 3 (tiga) orang perwakilan imigran yakni Kubra Hasani,  Reza Khademi dan Azim Hasani serta Kepala IOM Kupang, Asni Yurika.

Foto bersama Wagub NTT, perwakilan pengungsi dan IOM

Dilansir dari Biro Administrasi Pimpinan, Wagub Nae Soi menegaskan, pemerintah Provinsi NTT telah menganggap para imigran  sebagai bagian dari penduduk NTT walaupun bukan warga negara Indonesia.  “Saudara-saudara, warga negara apa pun, namun karena sudah tinggal lama di Kupang, kami sudah anggap jadi penduduk NTT. Keluhan-keluhan itu akan kita carikan jalan keluar yang terbaik. Kebetulan ada IOM di sini, kita akan diskusikan secara kekeluargaan, ” jelasnya.

Wagub Nae Soi pun menjelaskan sebagai daerah transit,  Pemerintah Provinsi NTT tidak bisa membantu banyak untuk siapkan settlement atau tempat tinggal yang layak bagi para imigran karena keterbatasan anggaran. “Namun kita akan fasilitasi untuk cari win-win solution. Karena teman-teman dari IOM juga dibatasi dengan aturan. Kita akan konsultasikan dengan pihak terkait lainnya untuk selesaikan masalah yang sudah berlarut-larut ini. Beri saya waktu dua minggu untuk bicarakan hal ini lebih intens dengan IOM dan pihak terkait lainnya,” jelasnya.

Wagub juga meminta para imigran untuk menyiapkan argumentasi-argumentasi yang lebih meyakinkan agar dapat diteruskan oleh pemerintah provinsi ke berbagai pihak untuk menemukan jalan keluar yang tepat. “Kalau teman-teman imigran mau pindah ke tempat yang lebih layak, tolong teman-teman cari argumentasi  yang memudahkan teman-teman bisa pindah. Kita akan fasilitasi hal ini. Kebetulan saya pernah kunjungi tempat penampungan yang sangat baik di Batam dan Tangerang bersama Menteri Hukum dan HAM. Begitu pun kalau teman-teman imigran mau jadi warga negara Indonesia, kita juga bisa bantu fasilitasi hal ini. Kita pasti akan cari jalan keluar terbaiklah,” tutur Nae Soi.

Sementara itu, Kubra Hasani mewakili para imigran menyampaikan terima kasih kepada Wagub Josef Nae Soi karena bisa mempertemukan para imigran dengan pihak IOM. “Terima kasih bapa sudah bantu kami ketemu dengan IOM. Karena sudah lama kalau mau ketemu mereka, tidak bisa. Kami lihat IOM kurang transparan dalam mengurus kami,” kata Kubra.

Dengan suara bergetar, wanita yang telah 6 (enam) tahun menetap di Kupang itu menyampaikan  keluhan-keluhan para imigran. Di antaranya keinginan untuk pindah ke tempat dengan settlement yang layak sesuai aturan yang telah ditetapkan. Juga permasalahan pendidikan anak. “Sebagai orang tua,  saya sedih lihat anak-anak saya karena tidak bisa sekolah seperti anak-anak lokal.  Mereka memang sekolah tapi itu hanya formalitas. Mereka tidak bisa ikut ujian dan dapat ijazah karena tidak teregister. Dan hal ini tidak diberitahu oleh IOM secara terbuka. Juga masalah urusan medis atau kesehatan, mereka juga kurang terbuka. Kami hanya mau supaya aturan-aturan tentang imigran dari UNHCR diperhatikan dengan sungguh,” ungkap wanita beranak dua tersebut dengan derai air mata.

Menanggapi hal ini,  Kepala IOM Kupang, Asni Yurika mengungkapkan, IOM sudah berupaya memfasilitasi agar anak-anak dari para imigran bisa bersekolah, namun karena Indonesia belum bergabung dan menandatangani Konvensi Pengungsi  Tahun 1951, jadi ada keterbatasan-keterbatasan. “Keterbatasan ini juga ada di bidang pendidikan. Mereka memang tidak bisa dapatkan ijazah karena memang sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Kita bukan tidak mau fasilitasi sampai mereka dapatkan ijazah. Tapi kita hanya ikuti yang dianjurkan kepada kita. Jadi kita hanya bisa fasilitasi sampai di situ saja,” jelas Asni.

Lebih lanjut Asni menguraikan terkait proses pemindahan imigran. Prosesnya baru bisa terjadi jika ada resettlement atau penempatan ke negara ketiga.

“Mereka akan dipindahkan sementara waktu ke Jakarta karena lebih dekat dengan kedutaan negara yang mau terima mereka. Kami juga bisa fasilitasi perpindahan kalau mereka mau pulang ke negara asal secara sukarela. Kemudian ada pemindahan yang terkait dengan situasi medis, di mana mereka butuh bantuan medis lebih lanjut, ” pungkas Asni.

Penulis dan Editor (+roni banase)

Foto utama oleh Rudenim Kupang

Foto pendukung oleh Biro Administrasi Pimpinan Setda NTT