Pengusung Khilafah Ala Hizbut Tahrir Hanya Bualan & Ilusi Kaum Khilaf

Loading

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan bahwa para pengusung Khilafah telah terjebak pada romantisme sejarah, mereka menjadikan Doktrin Khilafah sebagai solusi satu-satunya dalam merespons modernitas.

Khilafah (bahasa Arab: الخلافة‎, Al-Khilāfah) didefinisikan sebagai sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh Kaum Muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpinnya disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin. Misalnya ketika Khalifahnya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq beliau dikenal dengan sebutan Khalifatu Ar-Rasulillah (penggantinya Nabi Muhammad), ketika Khalifah Umar bin Khattab beliau disebut Amirul Mukminin (pemimpinnya orang beriman), dan ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib beliau disebut Imam Ali.

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan Islam sebagai Ideologi, syariat sebagai dasar hukum, serta mengikuti cara kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda, namun tetap berpegang pada prinsip yang sama, yaitu sebagai otoritas kepemimpinan umat Islam di seluruh dunia. Sehingga pada penerapannya, ketika sebuah Negara Khilafah berdiri (atas persetujuan seluruh umat Islam), kemudian dibai’atnya seorang Khalifah, maka pendirian Negara Khilafah maupun pembai’atan Khalifah lain setelahnya menjadi tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad tentang pembai’atan Khalifah

Menurut Ken, mereka bermimpi jika Khilafah tegak di Indonesia, maka akan tercipta kondisi aman dan kondusif, pendidikan dan kesehatan gratis, tidak ada riba dan tidak ada maksiat, mereka katanya melindungi pemeluk agama lain dan lain-lain, walaupun faktanya, pengasong Khilafah saat ini pakai bank riba dan  jangankan yang beda agama, yang satu agama saja dikafirkan bila berbeda paham.

Bagi Ken, para pengusungnya tak lebih hanya kelompok para pengkhayal ulung, bualan, dan ilusi kaum khilaf yang sikap dan tindakannya selalu melangit.

Para pengusung Khilafah ingin menghidupkan sistem politik masa lalu yang diklaim sebagai sistem politik Islam, datang dari Tuhan, dan solusi satu-satunya. Mereka dengan lantang mengatakan bahwa Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah berada pada masa keemasan.

“Klaim keemasan Islam itu ternyata hanya dijadikan slogan semata, tanpa diiringi dengan usaha dan kerja-sama dan dialog dengan budaya/ peradaban lain. Yang terjadi justru malah sibuk mengasingkan diri sendiri dari putaran kemajuan dunia,” imbuh Ken.

Romantisme sejarah adalah ilusi paling besar dari gerakan Khilafah. Hidup di masa sekarang tetapi diukur dengan ribuan tahun masa lalu. Selain faktor historisitas yang bermasalah, setidaknya ada dua faktor lagi yang membuat gagasan Khilafah menjadi ilusi besar, yakni faktor doktrin dan aktualitas.

Para pengusung Khilafah selalu mengatakan bahwa dalam ‘nash’ ada anjuran untuk mengikuti satu sistem politik Islam yang disebut Khilafah. Tetapi ketika ditanya, mana dari nash itu yang menyatakan demikian, tidak ada jawaban sama sekali.

Paling banter, disodorkan dalil tentang ke-khalifah-an manusia. Tentu ini bertolak belakang, sebab doktrin kekhalifahan manusia bukan berarti menunjukkan bahwa Khilafah –sebagaimana digagas kaum HT—adalah suatu kewajiban. Keduanya sangat berbeda.

Dalam konteks aktualitas, para pengusung Khilafah menjadi manusia pengkhayal besar. Mereka seolah-olah hidup di satu wilayah yang tidak tersentuh oleh dinamika sejarah. Dinamika itu adalah kenyataan bahwa sejarah itu bergerak ke depan. Termasuk di dalamnya sistem politiknya.

Era sekarang tentu harus menggunakan sistem politik kekinian yang sesuai dengan masanya. Bukan malah menarik masa kini untuk masuk ke dalam masa lalu –yang masa lalu itu belum tentu lebih baik dari sistem politik masa kini.

Selain itu, dalam aktualisasinya para pengusung Khilafah itu tidak bisa membedakan mana wasilah (sarana) dan mana gayah (tujuan). Bagi mereka Khilafah adalah keduanya sekaligus. Padahal dalam sejarah, Khilafah tak lain hanya wasilah, alat untuk mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan manusia (gayah).

Menurut Ken, agar kita keluar dari kotak ideologi sejarah yang membelenggu, kita perlu mengadopsi sejarah apa adanya, sejarah yang penuh dengan dinamika, kompleksitas, dan bukan hitam putih.

Sejarah bukanlah lembaran kertas putih nan indah yang tidak ada cacat, sejarah Khilafah juga penuh dengan pertikaian, perang berdarah-darah, saling menjatuhkan, sejarah tidak seindah yang diimajinasikan oleh para pengusung Hizbut Tahrir dan tidak secantik yang dinarasikan juru kampanyenya. “Sejarah Khilafah bukanlah sejarah malaikat tanpa dosa. Ia adalah sejarah manusia, ada khilaf, dosa, cacat, dan kekurangan,” jelas Ken.

Bahkan faktanya negara yang katanya menegakkan Khilafah justru hancur luluh-lantak berantakan seperti negara Suriah, lalu ada negara yang aman damai seperti Libya dengan 90 persen masyarakat yang mendukung dan mencintai presidennya, hanya karena 10 persen masyarakatnya mendukung Khilafah dan memberontak, kini Libya porak-poranda, kekerasan di mana-mana, penjarahan, pembunuhan terjadi hampir setiap hari, bahkan kepastian untuk hidup pun tak ada.

Apakah kita ingin seperti Libya dan Suriah? Kalau tidak ingin negara kita hancur seperti Suriah dan Libya, maka kita yang waras jangan diam. Lawan, bentengi keluarga dan lingkungan dari bahaya propaganda pengusung Khilafah.  “Mereka itu pemberontak berkedok agama dan akan menggeser konflik yang terjadi di Suriah ke negara kita, mereka akan mensyurahkan Indonesia,” tandas Ken. (*)

Sumber (*/Ken Setiawan)

Foto utama oleh Redaksi Indonesia