Tahan 5 Warga Penfui Timur, Helio Nilai Polsek Kupang Tengah Berlebihan

Loading

Kupang-NTT, Garda Indonesia | Penahanan 5 (lima) warga Desa Penfui Timur oleh Polsek Kupang Tengah pada Rabu, 26 Mei 2021 atas kasus dugaan tindak pidana pembongkaran tempat jualan tak dikenal di wilayah Dusun IV, Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapat sorotan dari Advokat, Helio Caetano Moniz, S.H.

Baca juga : http://gardaindonesia.id/2021/05/26/diduga-polsek-kupang-tengah-endap-kasus-aniaya-warga-penfui-timur/

Helio Caetano Moniz yang akrab disapa HCM, saat dimintai tanggapan media daring Garda Indonesia pada Minggu pagi, 30 Mei 2021 mengutarakan bahwa kasus ini berkaitan dengan persinggungan hukum administrasi penertiban penduduk yang berlaku di Dusun IV, Desa Penfui Timur.

“Jadi, kepala dusun melaksanakan ketentuan UU Kependudukan. Karena, UU Kependudukan itu sudah mengatur tentang perpindahan penduduk. Kalau ada penduduk yang berasal dari luar RT, RW, dusun itu, maka wajib membawa surat pengantar dari RT asal, Disdukcapil, dan surat keterangan dari kepala desa tempat asal”, ungkap HCM.

Tetapi hukum, imbuh HCM, tentu tidak mengatur tentang hal–hal yang lebih khusus. Misalnya, si Joel datang membuka tempat jualan tanpa melapor diri dan lain – lain. Maka, untuk menjawab persoalan ini, kepala dusun, ketua RT, RW, tokoh masyarakat dan pemuda membuat satu kesepakatan, dan turut mengetahui Kepala Desa Penfui Timur. Maka, dari sisi formalnya, sah sebagai produk pemerintahan desa setempat. Kalau sudah menjadi produk hukum pemerintah setempat, maka aparat pemerintah setempat berhak melakukan sebuah tindakan terhadap hal – hal yang menjadi keputusan dalam ketentuan dalam Berita Acara (15 Juni 2020, red) itu.

HCM menuturkan, bilamana terjadi suatu persoalan, maka yang harus diperiksa pertama adalah apakah tindakan aparat pemerintah itu sudah sesuai dengan keputusan administratif tingkat dusun itu? Setelah itu, baru periksa pidananya. Dalam hal pidananya ini pun ada rancu karena pidana membongkar tempat jualan itu, kita harus mengatakan membongkar tempat jualan milik orang lain. Selanjutnya, unsur milik orang lain itu dibuktikan seperti apa? Ini ‘kan tempat jualan liar, tidak terdaftar, tidak diketahui, tempat itu tidak beridentitas.

Kedua, imbuh HCM, apakah ini bertentangan dengan norma administrasi yang sudah berjalan? Contohnya, kalau ada satu bangunan liar yang tidak memiliki izin, lalu pemerintah membongkarnya. Apakah bisa dipidana? Tentu tidak bisa! Tempat penjualan itu ‘kan tidak punya izin, tidak dikenal milik siapa, sehingga dianggap liar.

“Jadi, pembongkaran bangunan liar itu bukan pidana! Walaupun korban mengatakan bahwa itu tempat jualannya dan rumahnya, tetapi status di mata hukum, pemerintah desa setempat secara administratif adalah bangunan liar. Nah, bangunan liar itu tidak ada pemiliknya. Itu bisa dibongkar!” tegas HCM.

Lebih lanjut HCM mengatakan, kenapa bisa menjadi pidana? Karena polisi hanya melihat segala hal dari kacamata pidana. Polisi tidak melihat dari sisi administrasi tingkat dusunnya seperti apa, konsensus masyarakat itu seperti apa?

Di dalam ilmu hukum, urai HCM, ada hukum tertulis dan hukum yang hidup. Hukum yang hidup itu hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Itu menjadi salah satu hukum yang diakui di Indonesia. Dan hukum itu harus ditaati oleh siapa pun, karena Indonesia sangat luas, bermacam–macam budayanya.

“Jadi saya menilai bahwa tindakan kepolisian dalam hal ini show of force (sangat memaksa/ berlebih–lebihan),” celoteh HCM dengan sangat kesal, sembari menandaskan bahwa, polisi tidak menerapkan hukum kemasyarakatan, hukum administrasi tingkat dusun itu.

HCM pun menegaskan bahwa, tindakan penahanan ini juga sebenarnya berlebih – lebihan! Orang–orang yang menahan ini berdasarkan syarat obyektif dan subyektif. Syarat obyektif itu, perbuatan dia, diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun ke atas. Sedangkan, syarat subyektif itu, dia diduga akan merusak barang bukti, melarikan diri, atau mengulang kembali tindak pidana. Ini subyektifnya polisi. Tetapi, dalam menerapkan itu, walaupun itu pertimbangan subyektifnya polisi, lalu bertindak serba subyektif semuanya.

Hukum, tidak seperti itu! Misalnya, urai HCM, mereka mengulang tindak pidana, memangnya ada berapa bangunan liar yang ada di situ. Mereka melarikan diri, memangnya mereka punya tempat yang lain? Tidak punya keluarga atau apa? Merusak barang bukti, memangnya barang bukti semuanya sudah ditahan atau tidak? Semua itu harus dipertimbangkan karena mereka lima orang itu pengurus desa  setempat. Nah, dengan ditahannya mereka itu, maka jalannya pemerintahan desa itu menjadi terganggu. Ini yang kita sesalkan, bahwa polisi itu tidak selamanya menerapkan hukum secara kaku. Polisi juga harus menyesuaikan dengan keadaan dan perkembangan yang disebut kearifan lokal.

“Jadi, saya anggap polisi arogan, sombong!” tandas HCM.

Terkait, diterbitkannya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang memuat tentang telah dihentikannya proses penyelidikan terhadap laporan perkara dugaan penganiayaan yang dialami Ongky Y. Banu, HCM mendeskripsikan bahwa setiap kejadian yang dilaporkan, polisi wajib menindaklanjuti dengan melakukan tahap pertama, yakni tahap penyelidikan untuk pengumpulan alat bukti seperti sudah mengambil keterangan korban, sudah periksa alat bukti berupa visumnya, sudah mengambil keterangan saksi–saksinya.

“Administrasinya salah, kalau penghentian proses penyidikan dimuat dalam SP2HP. Seharusnya, diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bukan SP2HP,” ucap HCM.

Terhadap kejanggalan ini, HCM menganjurkan pihak korban (Ongky Y Banu) secara eksternal bisa menempuh langkah hukum praperadilan. Korban meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan polisi melanjutkan proses penyidikannya. Secara internal, korban bisa melaporkan kepada Propam karena di sana ada badan pengawasnya.

“Saya juga minta kelima orang yang ditahan ini melaporkan ke pemerintah sesuai jenjangnya, kepada kepala desa, camat, bupati dan gubernur, biar ada penyelesaian. Membiarkan kepala dusun berjalan dalam melaksanakan pekerjaan dengan memberikan keamanan dari segi hukum. Waktu mereka bikin kesepakatan di tingkat dusun, kepala desa mengetahui. Kemudian, saat mereka melaksanakan hasil kesepakatan (konsensus), dijadikan pidana. Jangan pandang dia sebagai pelaku kriminal, melainkan pandang dia sebagai kepala dusun yang menegakkan hasil konsensus tingkat dusun,” urai HCM.

Sebagai informasi, sebagaimana termuat dalam salinan Berita Acara (BA) tentang  Rapat Musyawarah Mufakat Tingkat Dusun IV, Desa Penfui Timur yang diterima Garda Indonesia pada Minggu pagi, 30 Mei 2021, bahwa pada Hari Rabu, 15 Juni 2020 bertempat di Rumah Kepala Dusun IV, Desa Penfui Timur, tepat pukul 16.00 WITA telah dilakukan Rapat Musyawarah Mufakat terkait agenda rapat sebagai berikut:

  1. Penertiban identitas masyarakat di Dusun IV;
  2. Penertiban membuat izin keramaian saat syukuran atau pesta;
  3. Penetapan batas wilayah administrasi RT, RW di wilayah Dusun IV.

Dalam musyawarah ini dihadiri oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, masyarakat, lembaga kemasyarakatan RT, RW, BPD, Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan Pemerintah Desa Penfui Timur yang menghasilkan beberapa poin musyawarah sebagai berikut:

  1. Terkait dengan identitas masyarakat di wilayah Dusun IV
  2. Semua RT, RW di wilayah Dusun IV, menghimbau kepada masyarakatnya segera mengurus identitas kependudukan.
  3. Bagi masyarakat yang tidak beridentitas dan sudah menetap selama minimal 1 (satu) bulan agar melapor diri ke RT, RW di wilayahnya.
  4. Bagi masyarakat non permanen (bukan masyarakat Desa Penfui Timur) yang membuat keributan/ masalah, dikenakan sanksi dipindahkan kembali ke tempat asal sesuai dengan alamat identitasnya.
  5. Semua RT, RW di Dusun IV menghimbau kepada masyarakatnya supaya membuat izin keramaian saat membuat syukuran atau pesta. Jika tidak, maka dikenakan sanksi pembubaran paksa oleh aparat keamanan
  6. Penetapan batas wilayah RT, RW di wilayah Dusun IV akan dibahas dalam Musrenbangdes tahun 2020.

Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan dan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan atau kesalahan akan ditinjau kembali.

Nefofatu, 15 Juni 2020.

Tanda tangan Kepala Dusun IV Fredik Taebenu.

Tanda tangan tokoh – tokoh masyarakat: Job M. Taebenu, Petrus Moron, Martinus Taumboy, Mika Tosi, Noh Boys, Buce Yani Nome, Martinus Nome.

Mengetahui Kepala Desa Penfui Timur, Keleopas Nome, tanda tangan & cap. (*)

Penulis: (*/ Herminus Halek)