Kausalitas–Bahasa Hukum: Menelisik Kasus Pembongkaran Lapak Joel Kabnani

Loading

Oleh : Lejap Yuliyant Angelomestius, S. Fil.

Setiap kali terjadi kasus yang dilarang oleh hukum, seperti pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya, aparat penegak hukum dituntut untuk menangkap pelaku dan mengungkap motif tindakan pelaku. Penegak hukum, khususnya Polisi, harus bekerja keras mengolah tempat kejadian perkara, mencari bukti-bukti, dan seterusnya menangkap pelaku.

Selain itu, perihal yang tak kalah penting adalah memastikan sebab dari kejadian itu, apakah akibat tindakan pelaku atau ada sebab lain di luar tindakan pelaku, atau ada rangkaian hubungan sebab akibat perbuatan pelaku yang dilarang secara hukum.

Hubungan sebab akibat dalam suatu tindak pidana, atau lazim disebut ajaran kausalitas sangat penting bagi aparat.  Di dalam hukum, kausalitas dimaknai sebagai suatu ajaran yang mencoba mengkaji dan menentukan dalam hal apa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban  pidana sehubungan dengan  rangkaian  peristiwa yang terjadi sebagai akibat rangkaian perbuatan yang menyertai peristiwa-peristiwa pidana tersebut. Di samping melihat hubungan logis antara sebab dan akibat untuk menentukan pertanggungjawaban pidana, maka kesalahan menjadi perlu dikaitkan sehubungan dengan hal tersebut di atas.

Dalam hal ini, unsur perbuatan yang menjadi dasar dari penentuan apakah seorang sudah melakukan suatu tindak pidana atau tidak (apa ada unsur kesalahan di dalamnya). Dalam penentuan dasar pertanggungjawaban pidana seseorang, di mana adanya kontrol pelaku (sebagai kehendak bebas keadaan lainnya di luar kehendak pelaku) sebagai penyebab, maka unsur kesalahan menjadi penting.

Unsur kesalahan menjadi penentu, dapat tidaknya seseorang dipidana sebagai pelaku tindak pidana dalam hubungannya dengan ajaran kausalitas. Jadi, pada intinya ajaran kausalitas menentukan pertanggungjawaban untuk delik yang dirumuskan secara materiil, mengingat akibat yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik itu sendiri.

Dengan demikian, sebelum mengulas unsur kesalahan, pihak berwajib dalam hal ini penyidik dan atau pun hakim pertama-tama menetapkan ada tidaknya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang muncul.

Mengenai ajaran kausalitas di atas berikut ini saya mencoba untuk membeberkan beberapa dari ajaran kausalitas dengan penjelasannya masing-masing:

  1. Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri

Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama tersebut. Karena itu, suatu tindakan harus merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang setara.

Konsekuensi teori ini, kita dapat merunut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke masa lalu (regressus ad infinitum).

Dalam kasus Joel Kabnani (lihat http://gardaindonesia.id/2021/05/31/tahan-5-warga-penfui-timur-helio-nilai-polsek-kupang-tengah-berlebihan/  ,teori ini tidak mungkin digunakan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana karena terlalu luas.

  1. Teori Generalisasi dari Treger

Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan akibat yang dilarang. Termasuk dalam teori ini adalah musabab dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan akibat atau kejadian yang dilarang.

Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.

Dalam hal ini, menurut hemat saya, maka harus diselidiki lebih dahulu tiga musabab. Harus dicari perbuatan mana yang paling dekat yakni; Pertama, apakah saat melakukan tindakan tersebut pelaku secara sadar mengetahui bahwa tindakannya tersebut dilarang? Jadi, pelaku secara sadar mengetahui bahwa tindakannya tersebut dilarang?

Kedua, apakah saat melakukan tindakan pembongkaran lapak pelaku memiliki niat yang dilarang, seperti mencelakai dan atau menghilangkan nyawa korban?

Ketiga, apakah pembongkaran ini dilakukan karena adanya sikap lalai dari si korban. Seperti korban tidak melaporkan diri dan melawan pemerintah setempat? Hal ini dapat juga diterapkan dalam kasus Joel.

  1. Teori Individualisasi/Pengujian Causa Proxima

Dalam ajaran causa proxima, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat.

Peristiwa pidana dilihat secara in concreto atau post factum. Di sini, hal yang khusus diatur menurut pandangan individual, yaitu hanya ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat.

Dalam kasus Joel yang harus dilihat adalah pembuktiannya, apakah dalam pembuktian korban mengalami hal-hal yang dilarang seperti mengalami luka, kerugian atau kematian? Di sini, dalam kasus Joel, pihak Kepolisian memang diharuskan untuk cermat dalam menyimpulkan karena apa yang dilakukan oleh pelaku adalah sebagai tindak lanjut dari apa yang sudah disepakati dalam Musyawarah Dusun yang memang kalau mau, merupakan penurunan dari PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 36/2005”); pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi perintah pembongkaran (Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Hal ini perlu, sehingga dalam menentukan in concreto atau post factum, yaitu satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat, polisi dalam hal ini penyidik harus lebih obyektif.

Setelah pada pembuktian hal berikut yang harus diperhatikan adalah sebab yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan.  Apabila pada tahap sebelumnya ditemukan ada kerugian dan penderitaan atau sesuatu yang dilarang oleh hukum, maka pasal 170 KUHP tepat dikenakan kepada pelaku.  Namun pertanyaannya; apakah dalam hukum,  hukum privat dapat lebih diunggulkan dari pada hukum publik?. Yang dilakukan oleh pelaku adalah menjalankan hukum publik, yaitu berdasarkan kesepakatan pada Musyawarah Dusun.  Hasil Musyawarah Dusun dapat digolongkan sebagai hukum publik karena Dusun merupakan bagian dari pemerintahan di dalam negara.

Bahasa Hukum

Di dalam hukum, bahasa sangat penting. Dalam kasus ini penulis hanya meninjau dari aspek tindak tutur (speech act). Pertama, tuturan dalam bentuk tanya jawab yang muncul di ruang sidang pengadilan pidana akan dilihat dari aspek hubungan sosial dan kedudukan Penutur (Pn) dan Mitra tutur (Mt) yang berfokus dalam praktik Persidangan Pidana di Pengadilan. Aspek-aspek tersebut menjadi konteks yang memunculkan fungsi-fungsi tertentu pada berlangsungnya tanya jawab di persidangan pidana.

Secara pragmatis, konteks seperti Pn dan Mt serta hubungannya yang diwujudkan antar-praktisi hukum, saksi, dan terdakwa; beberapa kasus yang berhubungan dengan tindak pidana; waktu maupun lokasi berlangsungnya tanya jawab di persidangan, ke semuanya itu merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip kerja sama dan prinsip-prinsip kesantunan.

Pengambilan dasar dari prinsip-prinsip tersebut sengaja dipilih untuk pengacuan pada terjadinya suatu aktivitas kebahasaan yang teratur, terstruktur, dan bertujuan jelas.

Kedua, fungsi pemakaian bahasa yang ditinjau dari tindak tutur akan disajikan sebagai perwujudan tuturan yang secara khas menyiratkan penyampaian maksud antar-partisipan (praktisi hukum) di persidangan, yakni antar-hakim, jaksa, dan penasihat hukum kepada terdakwa atau saksi.

Kedua hal tersebut ini juga dapat diberlakukan juga di dalam penyidikan. Hal ini tentunya bertujuan agar si PT dan Mt dapat melakukan komunikasi dengan baik dan benar.

Dalam kasus Joel, penulis menduga ada kekeliruan di dalam berkomunikasi antara PT dan MT. Hal ini dapat dilihat kita temukan di dalam penggunaan kata “perusakan” oleh kuasa hukum korban, Yance Messakh, S.H. yang mengaku kepada media bahwa dirinya “sesali karena pada saat kejadian tersebut ada oknum aparat penegak hukum beserta aparat pemerintah desa yang ikut menonton pengrusakan tersebut. Jadi harus diungkap juga siapa aktor utama dari perusakan tersebut,” (lihat, https://infontt.com/news/polsek-kupang-tengah-tetapkan-5-tersangka-pembongkaran-kios-di-desa-penfui-timur/

Kalau kita mau secara obyektif melihat perkara ini, maka kata yang tepat untuk membahasakan apa yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus Joel, sejatinya adalah “pembongkaran” karena sesuai dengan Pasal 115 ayat [2] PP 36/2005). Jadi, dalam kasus ini para pelaku memang menjalankan hukum publik.  Jika demikian, maka keputusan Polsek Kupang Tengah dalam menetapkan 5 (lima) orang menjadi tersangka dengan dugaan melanggar 170 KUHP, dinilai terlalu dipaksakan.

Melalui tulisan ini, saya berharap agar polisi dan juga kuasa hukum lebih profesional dan obyektif dan profesional dalam menangani perkara tersebut. (*)

Salam Waras

Penulis merupakan Wartawan SuluhDesa dan Pengamat Politik.

Menetap di Kabupaten Belu

Foto utama (*/koleksi pribadi)