Selamat Jalan ‘Mom’

Loading

Oleh. Melkianus Nino

Redup wajah kian memburam semenjak pergantian waktu. Jelang akhir keberadaan. Raut gemulai telah memucat pasi. Tawa membungkam disinari terang neon Philips di ruang tamu. Dia telah berbaring kaku, detak nadi-jantung sudah hilang denyutan.

Kini, kedua tangan saling memegang erat, ingin memanjat syukur dan terima kasih. Terlilit untaian bulir rosario, bisu membisikan kepada-Nya.

Dia sekaligus membawa kado itu, sebagai lambang akhir dari doa.

Aku menatap dengan mengedip cepat, bola mata berkaca-kaca. Badan ini, seakan kaku dalam refleks. Mati suri badanku, Aku ingin  sebilik  bersamanya. Namun, Dia inginkan kehidupanku untuk menyelesaikan masa penciptaan.

Aku merasakan sebuah kehilangan besar dan harapan dengan kepergian saat ini. Teman cerita dan gelak tawa sudah tiada, tak penuh arti lagi.

Aku sudah terbius bisa bisu.

Yang terpaut dalam ingatan dan relung saat merenung kemarin. Hadiah pagi darinya, saat sarapan pagi jelang terjun rutinitas.

“Siapakah nantinya?”.

Bahtera diri ini, membudak oleh sebuah perjalanan yang  tak lagi kembali. Pertemuan hanya di ujung mimpi ketika Dia hadir sebagai pemberi mimpi.

Mungkin nanti, bila waktu menjemput Aku pulang. Kepastian dapat bercumbu bersama kemarin.

Kesabaran telah menjadi kemelut untuk tegar menghadapi situasi saat ini. Beban menghantuiku, lalu menjadi perkara terbesar yang sulit dikendalikan. Kekuatan saat terakhir, adalah harus menjadi pemenang.

Tepat siang, bara menusuk seisi insan-insan yang dibanjir lara. Besuk kian mengambil kesempatan menengok sang sosok yang rendah hati. Tatapan-tatapan iba itu, hanya terhadapku yang akan hidup sebatang kara.

Selama ini, semenjak sang Ayah hilang kabar digodai gadis kepang dua.

Sebentar senja akan menjauh hilang di peluk malam sembari menanti esok. Aku masih menemani kekakuan yang lelap tanpa mimpi. Sungguh-sungguh disedu kesedihan.

Aku hanya bisa berpasrah, sebab kita satu kepemilikan-Nya. Singkat cerita, adalah Ikrar Perpisahan.

Aku bagaikan sebatang lidi yang sukar menyapu daun-daun tua  yang jatuh dari rindang pohon ketapang. Sampah kian menumpuk sebab itu beban tanpa pesan. Tiada pinta sebagai bekal demi hari mendatang.

Aku terus mendiami kediaman diamku ini.

Ratap resah dari ketiadaan seorang wanita terhebat. Kelebihan amal budi telah luluh oleh kepahitan duka. Rasa manis yang dikecapi terasa pahit sukar ditelan selama ini, kian memudar.

Kepasrahan menemani langkah dan beban yang kian berat. Bahu telah tertindih, tersendat bahagia.

Aku hanya bisa berpaling pada-Nya, memohon kekuatan dengan keadaan di depan pandangan rasa. “Tuhan, berikan ketabahan di hati ini!”.

Aku tak tahu bila esok, kekakuan akan pergi menghirup aroma tanah.  Semua yang hadir akan menjadi hancur berkeping-keping, dalam selimut tanah yang membumi.

Tentunya esok.

Dentingan kian mereda. Jam dinding hasil jerih payahnya sepanjang pampangkan, sudah seumur denganku. Umur turut mendewasakan , Aku dengan sang Waktu.

Aku masih melingkari pembaringan tanpa kata. Aku tahu tentang , esok menjadi penentu akhir pelepasan raganya. Aroma-aroma tanah terus terhirup. Lilin padam ditiup angin . Irisan mawar putih telah melayu.

Kini, Aku tak bercerita tentang yang ada dan tiada.

Ketiadaan dilanda sepi. Aku hanya meminta memohon pengampunan dari-Nya. Berharap Dia menjadi pendoa bagi segenap.

Sebentar lagi, Senja berbalik ke ufuk barat tempat peraduannya. Dia pun pergi bersama waktu. Aku mengucap salam terakhir untuk Dia.

“Salam Senja, selamat jalan Mom!”. (*)

Foto utama (*/paragram.id)