Satyagraha Mahatma Gandhi, Strategi Melawan Kebijakan Oligarki

Loading

Oleh: Fr. Benediktus D. Ndun

Penindasan menjadi tema yang sangat relevan dalam seluruh lapisan kehidupan manusia. Penindasan bagaikan hantu yang sangat menakutkan. Saking menakutkan sampai-sampai membuat sebagian orang menyerah pada penindasan. Penindasan semacam menjadi kodrat baru bagi manusia. Maka, pantaslah bila kidung penindasan diproklamasikan.

Namun, siapa yang nanti menjadi pelopor untuk mengidungkan penindasan. Dengan terus terang dan jelas siapakah yang dapat mengatakan bahwa dia pendukung penindasan. Sungguh, tidak ada orang yang berani seperti itu. Jika ada, maka orang itu dikategorikan sebagai orang gila. Kegilaannya menurunkan harkat dan martabatnya sebagai manusia yang berkualitas.

Sungguh benar jika penindasan menjadi momok yang seram. Maka, sudah pasti orang-orang dengan sendirinya berjuang menjadi pahlawan yang menaklukkan penindasan. Namun, perjuangan terhadap penindasan bukan semata-mata demi mencari ketenaran atau sekadar mendapatkan imbalan berupa uang. Adalah sungguh menyedihkan bila para pejuang penindasan dicap sebagai orang-orang munafik yang sekadar memanfaatkan penindasan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Atas dasar niat hati yang tulus dan benar maka bisa menjadi perisai yang paling tepat untuk melawan penindasan. Namun, siapakah yang berani berjuang melawan penindasan?

Adalah Mahatma Gandhi, seorang pejuang penindasan yang namanya sudah begitu tenar dan melangit seantero bumi. Siapa yang tak kenal dengan pejuang yang melawan penindasan yang berasal dari negara India ini?. Jika tak kenal, maka sangat disayangkan sebab kepribadian dan kwalitas pemikirannya sangat begitu berharga dan bernilai untuk dipelajari. Maka, sangat baguslah bila pemikiran Mahatma Gandhi dipelajari dan dianalisis. Salah satu tema pemikirannya yakni pemikiran tentang Satyagraha dipakai sebagai rujukan untuk memperjuangkan kesejahteraan demi melawan penindasan yang terjadi dalam ruang dan waktu manusia.

Dalam pemikiran Gandhi, Satyagraha dipakai sebagai model konsep untuk perjuangan melawan penindasan dan penjajahan yang dilakukan negara Inggris terhadap negara India. Satyagraha semacam teori kesejahteraan yang memantik daya juang untuk melawan penindasan.  Dari pemikiran Gandhi ini, maka ke arah model penindasan manakah yang relevan dengan pemikiran Gandhi untuk dikaji dan dilawan?. Salah bentuk penindasan yang dilawan ialah penindasan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang diperbuat Kaum Oligarki. Kaum Oligarki walaupun sedikit dalam segi jumlah, namun sangat berpengaruh bahkan menguasai semua sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Bagaimana bisa demikian? Dapat dikatakan bahwa Kaum Oligarki adalah cerdik pandai, licik dan berbahaya. Mereka menggunakan pelbagai strategi demi mencapai tujuan mereka. Bahkan strategi yang paling haram dan sesat sekalipun. Atas dasar iming-iming kesejahteraan masyarakat, maka pelbagai kebijakan dibuat dengan disisipi metode-metode khusus untuk meraup keuntungan untuk mereka demi pemuasan hasrat kekuasaan.

Bertolak dari penindasan yang diperbuat Kaum Oligarki ini, maka konsep Satyagraha dipakai sebagai rujukan dalam melawan penindasan kebijakan-kebijakan Kaum Oligarki.  Dengan begitu, apa itu Satyagraha?. Satyagraha berasal dari dua kata Sanskerta ‘Satya’ (kebenaran) dan Agraha (ketegasan). Secara harafiah, Satyagraha berarti berpegang pada kebenaran. Satyagraha adalah teknik modern yang berevolusi oleh Gandhi untuk melawan kejahatan dengan kebaikan, kebenaran dan ketidakbenaran, kekerasan dan non-kekerasan. Teknik ini dibuka untuk berbagai kemungkinan dan definisi. Prinsip yang didasarkan pada kuasa kebenaran.  Agraha berarti memegang dan satya berarti kebenaran; melawan kuasa-kuasa agresif yang dibawa oleh mekanisme-mekanisme kuasa barat yang bertentangan dengan alam kodrat.

Selanjutnya dalam permenungan Gandhi, Satyagraha dikelompokkan menjadi tiga bagian utama dan tidak terpisahkan yakni: non-kooperasi, ketidakpatuhan dan puasa menuju kematian. Gandhi dalam orientasi pemikirannya terlibat jelas bahwa nilai-nilai spiritual merupakan prinsip utama. Nilai-nilai spiritual ditangkap melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ia mempelajari tentang Bhagavadgita (disingkat Gita) yang mengajarkan tentang manusia ideal yaitu manusia yang memiliki budi pekerti harmonis, mengabdi pada kemanusiaan, mengupayakan emansipasi bagi jiwanya, melalui pengetahuan tentang Atman dan berbakti kepada Tuhan.

Dalam pemikirannya mengenai nilai-nilai spiritual dipengaruhi juga oleh nilai-nilai budaya yang bertumpu pada sistesisme. Dua dasar ini yaitu nilai spiritual dan sistesisme merupakan nilai-nilai yang mendasari peradaban India dan menghasilkan cara pandang seperti: hidup harmonis dengan agama dan budaya lain.

Kebenaran dan non-kekerasan adalah prinsip Gandhi yang paling dihargai. Gandhi mengajarkan bahwa Kebenaran adalah Tuhan dan Ahimsa (non-kekerasan) adalah cara yang sempurna untuk mencapai tujuan itu. Non-kekerasan adalah kekuatan terbesar yang pernah dimiliki manusia. Kebenaran adalah satu-satunya tujuan yang dia miliki. Karena Tuhan tidak lain adalah Kebenaran. Gandhi mengajarkan bahwa semua agama muncul dari agama yang sama, abadi, dan abadi. Akar dari semua agama adalah satu dan murni dan semuanya muncul dari sumber yang sama, oleh karena itu semuanya setara.

Sarvodaya adalah nama yang diberikan untuk cita-cita sosialisme tanpa kekerasan Gandhi. Gandhi mengajarkan bahwa seseorang seharusnya mendapatkan uang tidak lebih dari cukup untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, dan menganjurkan berbagi kelebihan kekayaan secara sukarela. Gandhi menganjurkan kemerdekaan bagi rakyat jelata, tidak hanya bagi mereka yang memerintah atas mereka. Jadi, meski Gandhi terkenal sebagai pejuang kemerdekaan yang membawa India merdeka dari Inggris, tujuan utamanya adalah kemerdekaan bagi masyarakat akar rumput.

Swadeshi (Kemandirian) terutama dipahami sebagai teknik proteksionis yang digunakan Gandhi terhadap kebijakan merkantilistik Inggris, di mana massa didesak untuk tidak menggunakan kain yang diproduksi di luar India, dan sebagai gantinya menggunakan kain katun, sutra, atau wol yang dibuat di India. Tetapi Gandhi memberikan arti yang lebih luas: ”Swadeshi memiliki makna yang besar dan mendalam”. Ini tidak berarti hanya penggunaan apa yang diproduksi di negaranya sendiri. Makna itu pasti ada di Swadeshi.

Tetapi ada makna lain yang tersirat di dalamnya yang jauh lebih besar dan jauh lebih penting. Swadeshi berarti mengandalkan kekuatan kita sendiri. Kita juga harus tahu apa yang kita maksud dengan `ketergantungan pada kekuatan kita sendiri ‘Òur strength’ berarti kekuatan tubuh kita, pikiran kita, dan jiwa kita.

Dengan sangat jelas bahwa konsep Satygraha sangat relevan untuk menjadi model perjuangan melawan ketidakadilan. Mengapa demikian? Pertama, Satygraha bisa menjadi ajaran moral bagi masyarakat kecil untuk tetap berpegang teguh pada kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran-kebenaran yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam budaya tempat tinggal mereka masing-masing. Nilai-nilai itu kemudian diterapkan dalam pengalaman hidup sehari-hari yang berbenturan dengan penindasan kebijakan-kebijakan yang dibuat Kaum Oligarki.

Kedua, masyarakat kecil sejatinya adalah masyarakat yang berpegang pada ajaran moral agama.  Maka itu, spiritualitas keagamaan yang dihayati dapat diterapkan dalam menghadapi pelbagai penindasan. Misalkan, spiritualitas untuk tidak menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan. Spiritualitas seperti ini juga yang dipakai oleh Mahatma Gandhi dalam melawan penindasan. Jika kekerasan menjadi strategi untuk melawan kekerasan, maka yang terjadi adalah adanya situasi kehancuran dan ketidakteraturan. Untuk kasus kekerasan melawan kekerasan ini, sejatinya perang-perang baik perang dunia maupun perang-perang lainnya mengajarkan demikian. Kekerasan mendatangkan kehancuran dan kematian.

Ketiga, masyarakat kecil juga bisa menerapkan pola pikir untuk tidak tergantung pada produk-produk yang dikeluarkan oleh Kaum Oligarki. Produk-produk itu bisa dilawan dengan tidak ikut ambil bagian dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut. Maka, dengan tidak mengikuti dan menjalankan kebijakan-kebijakan itu berarti masyarakat kecil sudah melakukan aksi protes sekaligus kritik. Sebutkan saja bahwa ada aktivis yang mogok makan, mogok bicara, menjahit mulutnya hanya untuk mengkritik pelbagai ketidakadilan dalam kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Seyogianya, strategi mengkritik dengan tidak mengikuti kebijakan-kebijakan yang sifatnya menindas sangat bagus untuk diterapkan daripada melakukan aksi demonstrasi yang berbau anarkis.

Akhirnya demi memperjuangkan kebenaran dan kesejahteraan demi kepentingan semua orang maka perisai keadilan harus ditegakkan untuk melawan pelbagai penindasan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang beruang. Sebab, mereka yang memiliki banyak uang berbuat seenaknya saja kepada masyarakat yang tak beruang. Dengan demikian, masyarakat kecil, kuatkan dadamu, terus kibarkan bendera kesejahteraan dan perisai keadilan demi melawan penindasan-penindasan. Jangan gentar ataupun takut. Sebab kebenaran hanya bisa diperjuangkan dengan kebaikan bukan dengan kekerasan.(*)