Belajar Filsafat Proses, Mencintai Sesama & Lingkungan dalam Bingkai Organisme

Loading

Sebuah Pesan Untuk Para Remaja

Oleh : Paulus Pedro Langoday

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Sepenggal kalimat ini mungkin sudah disadari oleh hampir semua orang. Beberapa orang mengungkapkan kesadaran akan hal ini dengan membeberkan fakta tentang masalah-masalah lingkungan yang terjadi, baik itu masalah lingkungan alam seperti banjir, polusi udara dan air, tsunami, tanah longsor, ataupun masalah lingkungan sosial masyarakat seperti halnya premanisme, konflik antar-kelompok masyarakat dan sebagainya.

Beberapa lagi mengungkapkannya dengan menunjukkan kekawatiran mereka (yang kadang berlebihan) tentang masalah ini. Ada juga yang meskipun sadar akan hal ini tetapi lebih memilih untuk pasrah, atau lebih tepatnya acuh tak acuh. Bahkan, ada juga segelintir orang yang turut mengambil bagian dalam melanjutkan situasi buruk ini. Dan sialnya, hanya sedikit orang yang menyatakan kesadaran mereka tentang masalah dunia ini dengan upaya-upaya untuk memperbaiki dan melindungi dunia.

Di sini, ada kesan bahwa kebanyakan orang memandang keadaan dunia yang sedang tidak baik-baik ini sebagai suatu masalah yang ‘kodrati’, di mana manusia hanya bisa memilih untuk cuek, pasrah, takut, khawatir, dalam menanggapinya. Usaha untuk memperbaiki lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin bahkan tidak perlu untuk dilakukan. Padahal jika diperhatikan hampir semua masalah lingkungan yang sedang terjadi bisa dicegah oleh manusia, meskipun perlu juga diakui terjadinya bencana alam lainnya seperti tsunami, gunung merapi berada di luar kemampuan manusia untuk mencegahnya.

Remaja yang sedang memasuki tahap kesadaran penuh pun secara otomatis melihat tanggapan apatis di atas sebagai hal yang biasa sekali, yang tidak perlu dipersoalkan. Kesadaran yang dimaksudkan di sini merujuk pada kemampuan untuk mengambil keputusan bertindak secara tahu dan mau. Kemampuan ini sangat penting tetapi naasnya malah dipengaruhi oleh keadaan yang sudah disebutkan di atas sehingga menjadi berbahaya.

Remaja seolah-olah menanamkan dalam dirinya bahwa hal ini bukan sesuatu yang buruk, kendati jika dilihat sebagai sesuatu yang buruk, namun tak bisa dan bahkan tak perlu diatasi. Padahal jika dilihat lebih jauh, remaja sebagai suatu kelompok masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk menghentikan kerusakan lingkungan yang terjadi. Bisa dibayangkan, jika dalam diri semua remaja tertanam keinginan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, maka upaya untuk memperbaiki lingkungan bisa berlangsung cukup lama melihat usia mereka yang baru belasan tahun.

Belum lagi, jika kepekaan ini diturunkan kepada generasi remaja selanjutnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa remaja adalah kunci untuk menghentikan situasi buruk ini, karena mereka sudah memasuki kesadaran penuh, dan kesempatan mereka untuk memperbaiki lingkungan terbilang besar.

Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab di sini ialah, ‘dari manakah remaja bisa memperoleh kesadaran ini?’ Bukan saja kesadaran bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, tetapi juga kesadaran bahwa manusia dapat mengatasi kerusakan yang sedang terjadi. Saya melihat bahwa pengetahuan mempunyai peran yang besar dalam menumbuhkan kesadaran tersebut. Dan karena itu kegiatan ‘belajar’ menjadi sangat penting di sini.

Dalam filsafat Sokrates dikenal ajaran intelektualisme etis yang menekankan pentingnya pengetahuan manusia. Tanpa ragu-ragu ia mengatakan bahwa jika kita mengetahui ‘yang baik’ secara otomatis kita akan melakukan ‘yang baik’ itu juga. Tidak seorang pun yang melakukan kejahatan dengan sukarela melawan pengetahuannya sendiri akan ‘yang baik’. Kejahatan terjadi karena kekeliruan atau ketidaktahuan akan ‘yang baik’.

Sekilas kita mungkin berpikir bahwa ajaran Sokrates ini salah karena dalam pengalaman kita bertemu oknum-oknum yang meskipun tahu bahwa membuang sampah sembarangan, membabat habis hutan, membuang limbah ke sungai, dan tindakan merusak lainnya adalah sebuah kesalahan, tetap melakukannya. Atau bisa jadi kita adalah salah satu dari oknum-oknum tersebut. Tuduhan ini tentunya tidak tepat karena yang dimaksudkan Sokrates di sini bukan sekadar pengetahuan teoritis-intelektual melainkan pengetahuan yang eksistensial, pengetahuan yang mencakupi seluruh aspek dan dimensi manusia.

Tetapi ini juga tidak berarti pengetahuan teoretis tersebut tidak penting, karena bagaimanapun juga pengetahuan teoretis adalah ‘bagian’ dari ‘seluruh’ itu. Jika ‘satu bagian’ tidak terpenuhi, maka secara logis ‘yang seluruh’ itu pun tidak mungkin terpenuhi. Penekanan pada ‘seluruh’ mengandaikan keseluruhan itu (termasuk pengetahuan teoretis) yang membuat manusia tidak akan melakukan kejahatan secara sukarela.

Berkaitan dengan pengetahuan teoretis, filsafat proses dari Alfred North Whitehead kiranya menjadi rujukan yang tepat untuk membangun kesadaran remaja tentang bagaimana ia harus menempatkan diri dalam dunia yang sedang tidak baik-baik ini. Whitehead tampil dengan filsafat prosesnya yang setuju terhadap adanya awal kosmos, dinamika kosmos, dan akhir kosmos.

Dia mengajarkan bahwa entitas abadi hanyalah Tuhan, sedangkan semua selain Tuhan selalu berada dalam proses menjadi yang membutuhkan Tuhan sebagai elemen formatif. Dengan ini, Whitehead menyangkal keadaan kosmos yang statis dan memberi tanggapan afirmatif atas eksistensi Tuhan. Selain itu, Whitehead juga mengajarkan tentang prinsip organisme, di mana setiap satuan aktual, termasuk manusia adalah superjek atau produk dari semesta (masyarakat dan alam), sekaligus di sisi lain merupakan subjek yang mandiri membentuk dirinya dan memberi arti bagi dunia dan masyarakat.

Pengetahuan tentang dan persetujuan pada filsafat proses ini, turut memberi arah pada refleksi lebih lanjut mengenai ‘bagaimana setiap pribadi seharusnya memosisikan dirinya dalam kosmos’. Dengan kata lain, tanggapan afirmatif terhadap filsafat proses ini mendatangkan poin praktis yang perlu dihidupi oleh setiap orang, termasuk di dalamnya kalangan remaja.

Belajar filsafat proses dapat mendatangkan kesadaran bahwa setiap pribadi mempunyai hubungan kesalingan dengan satuan-satuan aktual lainnya. Manusia sebagai satuan aktual dengan materialisnya selalu berproses mewujudkan diri sebagai individu (di samping individu-individu lain) melalui suatu bingkai organisme. Materialistis manusia adalah manusia itu sendiri yang menjadi bagian dari alam.

Dengan begitu, adanya alam adalah bukan untuk manusia sehingga dia bebas menggalinya, melainkan dengan alam manusia membentuk serikat satuan-satuan aktual yang saling terkait dan memiliki hubungan yang berkesinambungan.  Selain itu, unsur sosialistis manusia menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memasyarakat. Hal ini menurut Whitehead didasari oleh dua prinsip yakni prinsip kreativitas dan prinsip proses. Dalam hubungannya dengan ini, Whitehead menyatakan bahwa setiap manusia perlu menjadi makhluk yang aktif dan terus belajar untuk bisa membuat keputusan terbaik bagi hidupnya dan manusia, serta lingkungannya.

Akhirnya, di penghujung tulisan ini penulis ingin menegaskan kembali bahwa segala sesuatu dalam kosmos selalu berproses dalam bingkai organisme. Kesadaran remaja seharusnya dibentuk dengan pengetahuan-pengetahuan yang membangun seperti ini sehingga meminimalkan kejatuhan mereka pada kekeliruan publik, pesimisme, dan tanggapan pasif yang selama ini terjadi. (*)

Foto utama (*/koleksi pribadi)

Sumber:

  • Hadi, Hadono, Jatidiri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
  • Jegalus, Norbertus Hukum Kata Kerja, Jakarta: Obor, 2011.
  • Kosat, Oktovianus, Identitas Diri Manusia dalam Proses Menjadi dari Satuan-Satuan Aktual, Kupang: Unwira  Press, 2020.
  • Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Whitehead, Alfred North, The Aims of Education, diterjemahkan oleh Purwani Indri Astuti dkk, dalam Belajar Filsafat Proses, Belajar Mencintai Humaniora, Sukaharjo: Diomedia, 2020.