Pendam – Pendam Si Fotografer

Loading

Oleh : Melkianus Nino

Menelusuri kubangan bekas tapak ratusan Kerbau liar dalam rimba hijau dekat kaki bukit. Bukit dengan batuan hitam pasi. Melihat dari lembah seperti coretan kapur tulis pada blackboard tanpa catatan. Jika menghampirinya, banyak batu meruncing tajam menakutkan kaki telanjang. “Oh, perih sekali”.

Benar-benar beda. Semirip cerita klasik. Dulu air naik dan pulang di senja, tinggalkan batu-batu tua. Pandangan ke barat, lautan biru dibalut awan-gemawan. Tapi, masih tampak dengan telunjuk. “Itulah Laut Kaubele”

Neno, anak kampung yang kembali dari perantauan yang asing orang-orang kampung mengenalnya. Hobby : Petualang, fotografer. Camera Canon, kenangan pulang ke kampung. Seperti akar gantung bagai kalung.

Neno sangat dikagumi gadis-gadis desa yang baru naik-naik masanya. Karena, Neno melaut ke seberang demi menimba pengalaman.

Neno, berdiri sigap di atas batu tua depan  gubuk reot yang lama ditinggal penghuni. Dengan membentuk sasaran demi selembar hanya mata kiri, dikedip-kedip hasil jepret masih acak-acakan. Telunjuk kiri menjadi buta, meraba-raba tuts utama.

Ujung jari sudah membuta. Neno merasa dibodohi mutlak oleh kerabat masa kecil yang membuat sentak kagetnya. ” Neon …(sapa manja), bodoh sekali! Sindir Amaine.

“Kamu kurang makan garam”  canda kecil menjadi  lelucon dan saling memecah sore.

“Banyak tukang foto yang hebat masih terus belajar. Jadi sejatinya Neon, kamu harus banyak makan dan buat sirup air garam. Sehingga jari tidak gementar dan pikiran selalu gentar”. Sekali sindir Amaine.

Untuk menutup aib, Neno menarik napas dalam-dalam dan memangsa gigi sendiri. Neno seakan digurui dari buah sindir bibir Amaine, teman leting dulu. Camera Canon menjadi kalung-kalung abadi dan telah terlepas memukul dadanya sendiri. Ia merasa dihina, padahal keduanya satu sama pikun. Neno sudah menerima pengalungan karena bodoh dan gementaran meragu.

Persahabatan sepasang mahkota, adalah kecenderungan dari cerita teman sekelas dulu . Keduanya jebolan kelas V dan mendapat predikat bersyarat. Apalagi  kalau belum jam pulang sekolah, mereka seperti monyet di atas Pohon Jambu.

Di saat Neno merenung kembali bukit itu, ia merasa belum puas dengan hasil yang acak-acakan. “Tapi, mau bilang apa, jangkrik sudah bernyanyi dalam gelap dan cecak asyik berkejaran di atas loteng” keduanya duduk melingkari api unggun di halaman batas rumah.

“Amaine, saya ingatkan untuk jangan ulangi caramu yang seperti sore tadi. Untung, kamu, adalah teman lama. Jika orang lain, camera sudah merobek pelipis kamu,” Neno menasihati.

Mendengar penasihat Si Neon, Amaine menunduk diam. Ia merasa kesal dengan tingkahnya sehingga membatalkan momen-momen sore. Ia terus diam membungkam-membungkus penyesalan besar bersama segenap malam. Amaine melirik sebelah mata kalau Neno mengerut kening dan berlagak marah. Melihat sebayanya, duduk bersilang kaki dan tangan, Neno mendekap dan sama-sama bersalah.

Kabut pagi menutupi perkampungan udik,  dusun lahir Neno dan Amaine. Pagi membawa semangat baru dan melepas keluh-kesah kemarin. Keluhan hanya akan membuat hati luluh resah terus beranak kegelisahan. Neno membuang lupa dan duduk menikmati kopi panas. Anak telinganya terngiang dari bunyi radio di tengah kesendiriannya, yang jarang terdengar di balai desa. Neno membasuh wajah dengan segayung air dan tanpa alas kaki menuju sumber bunyi. Ia seperti pencuri pagi mengintip dari balik pohon kemiri. Dan, melihat asap masih melambung dan hilang di telan kabut. Ia melihat seorang lelaki separuh baya keluar dari tenda. Neno tak menahu maksud kehadiran.

Ia pun melangkah tanpa suara dan  menuju Amaine. Ia terbirit-birit selayak anak Kambing kegirangan dan mencari keberadaan letingnya.

Ia makin mengurangi kecepatan langkah seribu dan merasa miris dan berpikir panjang-lebar dengan orang-orang baru tadi.

Dengan mengayun langkah, asap api melambung dari kisi-kisi ilalang hanya termakan usia. Neno terkenang lagi asap pagi dan wajah kabut pagi, yang tak dikenalinya.

” Amaine…! Amaine…! Panggil Si Neon.

“Hmmm… Neon!  Ada apa?” sembari melihat kemurungan sobat.

Neno melepas senyum pagi  yang muncul sekejap di belakang dapur. Ia membuka cerita baru penuh penasaran. Wajahnya mirip heran dan kening bergelombang.

” Am…,  ada empat tenda di halaman balai desa. Saya melihat dari hutan kemiri sempat memelototi gadis baru bukan gadis-gadis desa. Dia lumayan cantik, lebih cantik dari gadis-gadis di sini!” cerita Si Neon.

Tak menunggu cerita kebenaran Neno. Amaine mengajak dan pergi ke sasaran tanpa alas kaki dan basa-basi dan sengaja bertemu Kaur organisasi, Bapak Piet.

Setibanya di teras balai, keduanya disambut Bapak Piet dan ketujuh wajah baru.

“Nona Hana, perkenalkan Neno dan Amaine, Neno tukang fotografer di desa kami dan keduanya pemuda kampung kita,” celoteh Kaur Piet.

Kesembilan muda-mudi saling berjabatan tangan. Saking erat tangan Neno yang tak mau melepas pelukan tangan dan seiring membuang senyuman tipis.

Nona Hana melirik menunduk dan merundukkan padi asmara seakan ada sesuatu yang terselubung.

Mata-mata lainnya, hanya mampu menikmati pandangan sandiwara pagi, yang sama-sama ingin hadir.

Mentari makin meninggi.

“Maaf Neno, bisakah temani untuk ke bukit batu itu,” kata Nona Hana sembari menunjuki puncak.

“Bisa sekali!” jawabnya Neno polos singkat.

Saat jelang mentari akan berlabuh, para pencinta alam yang jauh-jauh dari kota  hampir dekati puncak. Dakian yang tajam, tak membuat pupusnya harapan. Neno yang sebagai pengawal belakang dan Amaine sebagai benteng dan penunjuk jalan. Ia yang menyusul di balik Nona Hana, hanya menjaga musuh. Kata-kata yang ingin dibibirkan terasa keruh, Neno dan Hana hanya dalam lembah kebisuan sembari menikmati  kesunyian rimba yang jarang orang-orang ingin bertualang.

Puncak tercakar empat belas kaki bersepatu dan empat kaki telanjang rela menahan perihnya tusukan tajamnya batuan bukit. Dari puncak nampak pesona senja mengukir sketsa. Si Neon dan Camera Canon membagikan jepretan-jepretan, saat ketujuh muda-mudi membelakangi barat menunjukkan history-nya, masih ada sejarah tertulis. Kalau Cinta berawal dari rasa ragu-ragu.

Penulis merupakan Pegiat Literasi dan menetap di Belu

Foto (*/istimewa)