Garuda Indonesia Lunglai, Yenny Wahid & Peter Gontha Terbang Ke Mana?

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Yenny Wahid sudah mundur dahulu, akhirnya dalam RUPS Garuda Indonesia tanggal 13 Agustus 2021 yang baru lalu Peter F. Gontha pun tidak lagi tercatat sebagai komisaris. Ada apa? Kondisi keuangan GIAA memang sedang parah, menyusul kondisi operasionalnya yang memang buruk.

Menilik laporan keuangan yang diunggah di laman resmi Garuda Indonesia terlihat pendapatan korporasi yang memang menurun terus, tak bisa lagi menutupi biaya operasional sehingga tidak ada laba alias rugi. Walau nilai aset menaik, namun modal (ekuitas) tergerus minus, sementara utang (liabilities)nya menggelembung terus.

Tahun 2020 dibanding 2019, secara operational revenue ‘pendapatannya’ turun drastis, dari USD 4,6 miliar menjadi cuma USD 1,5 miliar. Sehingga laba usaha yang di tahun 2019 masih ada (positif) USD 96 juta, jadi merugi (minus) USD 2,2 miliar di tahun 2020 lalu.

Neracanya pun buruk potretnya, walau aset naik dari USD 4,5 miliar di tahun 2019, menjadi USD 10,8 miliar di tahun 2020, namun itu dengan konsekuensi utang (liabilities) yang menggelembung. Dari USD 3,9 miliar di tahun 2019 menjadi USD 12,7 milyar di tahun 2020! Sehingga makan modal, dari USD 583 juta di tahun 2019, lalu di tahun 2020 menjadi ekuitas yang negatif USD 1,9 miliar!

Itu tadi potret di tahun 2020. Lalu kinerja Garuda Indonesia dalam kuartal pertama (Januari—Maret) 2021 yang terefleksi di laporan keuangannya juga belum menunjukkan tanda perbaikan.

Perbandingan kuartal-1 (per Maret) tahun 2021 dengan kuartal-1 (per Maret) tahun 2020:

Pendapatan (revenue) selama 3 bulan tahun 2021 adalah USD 353 juta, ini turun drastis dibanding 3 bulan pertama di tahun 2020 yang masih bisa meraup USD 768 juta. Sehingga laba usahanya pun jadi minus USD 287 juta per Maret 2021, dari yang tadinya per Maret 2020 masih positif USD 616 juta.

Catatan neraca pun masih cemoreng. Aset per Maret 2020 masih USD 10,8 miliar, turun jadi USD 10,6 per Maret 2021. Posisi utang (liabilities) naik dari USD 12,7 milyar per Maret 2020, jadi USD 12,9 per Maret 2021. Modal masih tergerus terus, per Maret 2020 tercatat negatif USD 1,9 miliar, jadi negatif USD 2,3 miliar per Maret 2021.

Komisaris Peter F. Gontha pun “mencak-mencak”, ia yang mewakili pemegang saham 28% Chairul Tanjung (CT) melalui Trans Airways lalu berhitung. Ia memperkirakan total kerugian investasi CT di Garuda Indonesia  sudah sekitar Rp 9,2 triliun. Bahkan potensi kerugiannya bisa mencapai Rp 11 triliun kalau pakai menghitung selisih nilai arus kas (net-present value atau NPV) USD 350 juta.

Chairul Tanjung beli saham Garuda 9 tahun yang lalu (2012), senilai USD 350 juta, saat harga per saham Rp.620,-. Kini nilai saham Garuda anjlok jadi sekitar Rp.200-an. Plus perhitungan nilai tukar valuta asing, waktu beli dulu nilai tukarnya Rp.8 ribu per USD.

Dulu belinya senilai USD 350 juta dengan nilai tukar Rp.8 ribu, saat ini nilai tukarnya sudah Rp.14.500,-  ada selisih Rp.6.500,-. Maka rugi dari nilai tukar saja sudah USD 350 juta dikali Rp.6.500,- jadi sekitar Rp.2,3 triliun.

Ditambah lagi kerugian lantaran nilai modal (ekuitas) yang tergerus tadi. Dengan investasi USD 350 juta dikali Rp.14.500,- jadi sekitar Rp.5,1 triliun. Maka total perkiraan kerugian investasi CT akibat selisih kurs plus tergerusnya nilai ekuitas perusahaan adalah sekitar Rp.7,4 triliun.

Belum berhenti sampai di situ. Ada lagi kalau mau dihitung kerugian dari bunga (interest). Hitungan bunga sederhananya (simple interest)  senilai 4% ialah USD 14 juta per tahun. Dikali 9 tahun jadi USD 126 juta, denga kurs Rp 14.500,- jadinya sekitar RP.1,8 triliun.

Jadi berapa total potensi kerugian CT di Garuda Indonesia versi Peter F Gontha?

Ya tinggal dijumlah saja, Rp.2,3 triliun (kerugian kurs), ditambah Rp 5,1 triliun (tergerusnya ekuitas/modal), plus Rp 1,8 triliun (kerugian bunga). Totalnya Rp 9,2 triliun itu tadi yang sudah disebut di atas.

Sekali lagi, bila ditambah asumsi selisih antara nilai arus kas atau net-present value (NPV) USD 350 juta, maka total potensi kerugiannya (opportunity-loss) menurut hitung-hitungan Peter Gontha bisa mencapai Rp.11,2 triliun!

Yah, pantas saja perwakilan CT di Garuda ini “mencak-mencak”. Bisa dimengerti.

Dari pernyataan yang pernah diungkapkan Peter F. Gontha ke media, memang tersinyalir ada masalah internal di Garuda Indonesia cq Kementerian BUMN. Tatkala Garuda Indonesia telah mengalami kondisi keuangan yang kritis, Peter Gontha lalu bersurat ke pihak direksi agar gaji dewan komisaris pun ditangguhkan saja.

Namun selain soal penangguhan gaji dewan komisaris, ia juga menyebut perkara minimnya keterlibatan komisaris. Ada keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak, tanpa koordinasi dan melibatkan dewan komisaris.

Sehingga Peter menganggap bahwa saran dari komisaris tidaklah diperlukan, lagi pula aktivitas komisaris yang hanya 5—6 jam per minggu. Maka menurut hematnya, demi sedikit meringankan beban perusahaan, mulai bulan Mei 2021, yang memang pembayarannya ditangguhkan, menghentikan saja pembayaran honorarium bulanan komisaris sampai rapat pemegang saham mendatang.

Sedangkan Yenny Wahid, telah lebih dulu datang ke kantor Kementerian BUMN untuk langsung menyerahkan sendiri surat pengunduran dirinya.

Kira-kira serupa dengan Peter Gontha di aspek keprihatinannya soal kondisi keuangan Garuda Indonesia. Yenny tak mau jadi beban, walau ia mengaku betapa ia telah jatuh cinta kepada National Flag Carrier ini.

Dua tokoh telah terbang, sayap Garuda Indonesia pun tengah lunglai.

Kondisi lingkungan bisnis (pandemi global) telah memorak-porandakan segala rencana bisnis di awal. Semua asumsi dasar terbongkar, disrupsi terus menerus, ini memang era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Kita tahu bahwa dalam suatu analisa kinerja ekonomi-bisnis, kondisi keuangan merupakan hasil (konsekuensi) kuantitatif dari unjuk kerja korporasi dalam memenangkan persaingan di pasar.

Dan hasil unjuk kerja di pasar adalah akibat dari efektivitas dan efisiensi kinerja operasional perusahaan relatif terhadap rivalitas industri dan lingkungan bisnisnya, dalam rangka merebut hati pelanggan.

Kinerja operasional pada gilirannya ditentukan oleh akhlak yang disertai kerja keras serta kerja cerdas dari modal manusia (human-capital) yang terkoneksi dalam jaringan organisasinya.

Dan semua dimensi itu (keuangan, pasar, operasional dan modal manusia) berada dalam konteks lingkungan bisnis. Cermati setiap aspek atau dimensi politik, lalu siasati dampak dari kondisi ekonomi (makro) dan pengaruh situasi masyarakat (sosial).

Antisipasi dampak perkembangan teknologi yang bisa merubah pola permainan (game-changer), waspadai keadaan lingkungan hidup (termasuk kesehatan, soal pandemi berskala global misalnya). Dan tentu saja pelajari segala regulasi hukum (lokal maupun internasional) yang selalu melingkupi serta mengatur gerak setiap pemain di dunia usaha.

Semua pemain di dunia usaha? Ya, semua. Semua pebisnis, bersama para kompetitornya, para pemasok, para pembeli, serta pemain baru atau mereka yang sedang berencana untuk masuk dalam kancah persaingan industri itu. Mereka semua senantiasa berada dalam konteks lingkungan bisnis tadi.

Sekarang faktanya Garuda Indonesia sudah (sedang) terpuruk. Penyebabnya kita sudah tahu semua, selain memang miss-management (salah kelola) sedari dulu (ingat kasus direksi yang juga merangkap jadi mucikari), dan yang sebelumnya juga memang korup dan sudah ditangkap KPK, sampai akhirnya pandemi global menerpa.

Direktur Utama Garuda Indonesia yang sekarang, Irfan Setiaputra, punya tugas kepemimpinan yang super berat. Ia mesti melakukan program efisiensi di berbagai lini. Termasuk pengurangan orang (juga komisaris, dan mungkin juga direksi nantinya). Restrukturisasi menyeluruh dan optimalisasi segala aset yang ada (tersisa).

Tak boleh lagi ada pemborosan sepeser pun. Garuda Indonesia sedang berdarah-darah!

Yenny Wahid dan Peter Gontha sudah terbang lebih dulu, mungkin kembali ke aktivitasnya masing-masing yang sudah sejak dulu mereka kerjakan dan tekuni.

Tinggallah sekarang sayap Garuda Indonesia sedang lunglai, tak bisa dengan gagah mengepakkan sayapnya. Mungkin juga lantaran keberatan badan. Rasionalisasi suatu korporasi adalah keharusan.

Tugas mengembalikan kepercayaan investor pun jadi pekerjaan yang super menantang, apalagi setelah kasus investasi CT.

Maka segera, pangkas segala beban yang tidak perlu, kembalikan ke model-bisnis yang semestinya, tidak lebih besar pasak dari pada tiang. Action!

Untuk itu memang butuh pemimpin cerdas, berakhlak dan bernyali baja!

Jumat, 27 Agustus 2021

Penulis merupakan pemerhati ekonomi-bisnis

Foto utama oleh iradiofm.com