Merger Pelindo I—IV Disorot Ketua Umum BPNEI Khairul Mahalli

Loading

Jakarta, Garda Indonesia | Ketua umum Badan Nasional Peningkatan Ekspor Indonesia (BNPEI) Khairul Mahalli angkat suara perihal merger Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III, dan IV, dalam pernyataannya yang diterima redaksi pada Senin siang, 13 September 2021.

Khairul Mahalli menyampaikan merger Pelindo I—IV tersebut bisa menimbulkan dampak positif dan negatif bila dilihat dari sisi tupoksi pemberi dan pengguna jasa. Menurutnya merger tidak menimbulkan adanya persaingan dalam sisi pelayanan dan biaya, yang berdampak terhadap daya saing produk ekspor Indonesia dengan negara lain.

Ketua Kadin Sumatra Utara tersebut juga menilai bahwa merger ini harus dibahas dengan semua stakeholder khususnya pemakai jasa pelabuhan.

“Harus ada tolok ukur yang jelas untuk merger ini,” tegasnya.

Hingga saat ini, lanjut Khairul Mahalli, belum ada sosialisasi yang jelas tentang program merger ini kepada pelaku usaha ekspor yang konkret.

“Merger ini berindikasi total monopoli meskipun saat ini Pelindo I—IV BUMN, jadi seharusnya pengusaha di daerah juga turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut, sehingga tidak terkesan semena-mena karena milik negara,” bebernya.

Ketua Umum DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia ini pun menyampaikan bahwasanya setiap pelabuhan mempunyai kekhususan dan tetap mempunyai produk-produk kearifan lokal yang perlu mendapatkan pertimbangan dari operator pelabuhan. “Namun demikian, apakah program merger ini mengarah kepada penjualan saham kepada asing. Atau hal ini diprioritaskan kepada pengusaha nasional Indonesia?” tanya Khairul

Untuk itu, pihaknya minta perhatian kepada Bapak Presiden agar hal ini tidak diputuskan semena-mena atau hanya untuk kepentingan pihak-pihak yang mempunyai tujuan tertentu.

“Hal ini harus dikaji secara konkret !” tegasnya

Bahkan menurut Sekjend DPP Asosiasi Depo Kontainer Indonesia tersebut, sepatutnya BUMN Pelindo saat ini bukan di-obok-obok di dalam negeri. Berikan kesempatan untuk ekspansi keluar untuk mampu mengelola pelabuhan di luar negeri seperti yang dikerjakan oleh Port Rotterdam, Dubai dan negara lainnya.

“Jadi dengan demikian, merger bisa dikategorikan mengarah kepada privatisasi yang akhirnya penawaran/penjualan kepada asing,” kata Khairul sembari menyampaikan selaku pemerhati dan pelaku logistik nasional dirinya juga mempertanyakan terkait kelangkaan kontainer untuk tujuan ekspor.

Menurut Khairul, seharusnya kontainer-kontainer eks impor yang masih berada di cy/pelabuhan yang sudah lebih dari 2 bulan harus segera dipindahkan isinya/bawa ke tempat penimbunan sementara/kawasan pabean, dan kontainer-kontainernya dikembalikan ke pelayanan/depo kontainer.

Selanjutnya, Kontainer-kontainer eks impor tersebut diprioritaskan untuk tujuan ekspor, dan di samping itu, pelayanan tidak boleh mengambil kesempatan menaikkan tarif/ongkos dengan kelangkaan kontainer.

“Yang tidak kalah penting adalah database ketersediaan kontainer eks impor dan siap untuk ekspor harus dengan akurat.” tandas Khairul Mahalli. (*)

Sumber dan foto (*/tim)

Editor (+roni banase)