Hadi Tjahjanto & Raja Juli Antoni: Sikat Mafia Tanah & Bereskan Tata Ruang!

Loading

Oleh: Andre Vincent Wenas

Presiden Jokowi bilang, ada sekitar 126 jutaan lahan tanah yang mesti disertifikasi, baru terealisasi sekitar 80 jutaan. Masih ada tunggakan tugas sekitar 46 jutaan lahan yang mesti disertifikasi. Sementara itu, kata Presiden, kementerian ATR/BPN baru mampu menerbitkan sekitar 500 ribuan sertifikat per tahun. Padahal target Presiden Jokowi adalah sekitar 8—9 juta per tahun.

Kalau begitu cerita realisasinya, berarti masih perlu waktu sekitar 92 tahun lagi untuk melegalisasi seluruh lahan-lahan di Indonesia. Atau kalau target Presiden terpenuhi, artinya masih perlu sekitar 5—6 tahun lagi saja.

Ini batu ujian yang tidak main-main bagi Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni yang baru saja dilantik saat reshuffle kabinet baru-baru ini. Mereka berdua bukan sembarang orang yang dipilih Presiden. Rekam jejak mereka menunjukkan telah lulus dari banyak batu ujian di areanya masing-masing.

Tapi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ini arena baru yang sungguh menantang. Bertugas di Kementerian ini seperti menceburkan mereka kembali ke dalam Kawah Candradimuka (tempat ujian) yang betul-betul mendidih! Kenapa?

Mereka berdua hanya ada waktu 2,5 tahun lagi. Kalau kita memakai asumsi seperti yang dikatakan Presiden Jokowi di atas tadi, apakah akselerasi sertifikasi lahan bisa mencapai 8—9 juta sertifikat per tahun? Demi mengejar 46 jutaan ketertinggalan di bidang kepastian hukum agraria kita.

Kementerian ATR/BPN jelas tidak bisa kerja sendirian. Ia harus bekerja sama dengan instansi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK), yang bersama dengan seluruh pemerintah daerah kompak mengerjakan tugas maha penting dari negara ini. Benar-benar sebuah orkestrasi kolosal (besar-besaran) bahkan untuk sekadar menyanyikan bait lagu, “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.”

Kita bayangkan ada bara api jauh di bawah permukaan yang bisa membuat batu meleleh jadi lava. Dahsyatnya panas itu sampai membuat kawah di permukaan atas jadi mendidih. Bara api itu adalah Mafia Tanah dan Oligarki! Ini sebentuk konspirasi jahat, persekongkolan busuk yang bisa kita rasakan panasnya, namun sumbernya mengalir di bawah permukaan.

Apakah mereka tersembunyi? Tidak juga. Istilahnya, kita sudah tahu sama tahu. Lantaran pada kenyataannya, praktik ‘land-grabbing’ (perampasan lahan) yang terang benderang ujungnya (jadi milik siapa) juga sudah kita sadari dengan cara yang saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bukan? Mereka tidak tersembunyi, tapi mungkin terlindungi, entah oleh siapa.

Siapa pun tahu, pembangunan fisik (baik itu infrastruktur publik maupun bangunan komersial) mesti mengacu (artinya taat) pada: 1) Aturan tata ruang. Ini area yang – kabarnya – sering ditekak-tekuk oleh konspirasi kepentingan oligarki lewat para mafia tanah. Serta, 2) Kepastian hukum (status legal) dari lahan di mana pembangunan itu bakal dilaksanakan. Artinya menghormati hak kepemilikan lahan tersebut.

Jelas ada persoalan besar di kedua area tersebut: tata ruang serta sertifikasi lahan demi kepastian hukum. Tanpa ada kepastian hukum sebagai fondasi maka apa pun yang dibangun di atasnya bakal gampang digoyah dan roboh. Mafia tanah memang berkepentingan untuk mengail di air yang keruh. Artinya semakin butek aturan dan tak adanya kepastian hukum, maka semakin leluasa, mereka mengeruk (bukan memancing lagi) di air yang keruh itu.

Persoalan ‘land-grabbing’ (perampasan lahan) masih jadi momok yang menakutkan, dan sekaligus biang kerok ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia.

Wong cilik – faktanya – mana bisa dan mana berani bersengketa lewat jalur pengadilan? Bakal dapat tambahan persoalan lantaran mesti berhadapan lagi dengan mafia peradilan (mafia hukum).  Prosesnya bisa super panjang, dan super mahal. Mana tahan?

Tren akuisisi tanah yang semakin marak diburu investor ini diduga juga dipicu gelombang investasi global. Tanah jadi target perburuan demi memaksimalkan profit. Menurut studi yang pernah dilakukan STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) tahun 2012, tanah itu bersinonim dengan uang, sementara uang bersinonim dengan kekuasaan, maka lebih banyak tanah berarti lebih banyak uang, dan lebih banyak uang berarti lebih banyak kekuasaan, dan bisa punya lebih banyak tanah lagi. Begitu seterusnya.

Baru-baru ini Presiden Jokowi juga menyerukan agar lahan-lahan menganggur bisa ditanami tanaman pangan. Memang isu pangan juga merupakan isu krusial negeri ini. Bahkan isu global juga. Kita tahu  bahwa pangan dan energi adalah juga merupakan faktor pemicu akuisisi tanah.

Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia, maka ketersediaan pangan merupakan pertaruhan eksistensi sebuah negara. Sedangkan energi merupakan faktor penggerak, mobilisasi perekonomian. Soal ketersediaan pangan dan energi ini jelas butuh ketersediaan lahan bercocok tanam serta lahan penambangan.

Perampasan lahan (land grabbing) seperti kita sadari bersama adalah sebab, tapi juga sekaligus akibat dari ketimpangan sosial. Maka, masalah disparitas pendapatan memang menjadi salah satu indikator penting di sini. Yang miskin mana bisa melawan kondisi tak adil yang dilakukan si kaya.

Sekilas saja kita tengok laporan ketimpangan yang diukur dengan Rasio Gini. Koefisien Gini adalah bilangan antara 0 dan 1, di mana 0 bermakna “kesetaraan sempurna” (setiap orang memiliki pendapatan setara) dan 1 berarti “ketidaksetaraan sempurna” (di mana terdapat satu/segelintir orang yang meraup seluruh pendapatan, sementara lainnya dapat nol). Jadi, makin kecil bilangan rasio gini adalah semakin baik.

Dari data BPS yang dirilis 17 Januari 2022, ukuran ketimpangan kita tercatat sebagai berikut: Pada September 2021, Gini Ratio adalah sebesar 0,381. Angka ini menurun 0,003 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2021 (yang 0,384) dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2020 (yang 0,385).

Gini Ratio di daerah perkotaan pada September 2021 tercatat sebesar 0,398 turun dibanding Gini Ratio Maret 2021 (yang 0,401) dan Gini Ratio September 2020 (yang 0,399).

Gini Ratio di daerah perdesaan pada September 2021 tercatat sebesar 0,314 turun dibanding Gini Ratio Maret 2021 (yang 0,315) dan Gini Ratio September 2020 (yang 0,319).

Memang ada tren perbaikan (Rasio Gini menurun). Namun ingat, setiap data statistik mestilah selalu dibaca dengan reserve daya kritis. Oxfam juga pernah merilis info tentang konsentrasi kekayaan yang ada di tangan segelintir orang super-kaya di Indonesia. Kabarnya empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Fenomena ketimpangan seperti ini perlu dicermati dengan mengingat-ingat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artinya, disparitas ekonomi di Indonesia tetap masih menjadi isu penting. Soal ketimpangan ini memang selalu jadi momok paling menakutkan, kerap jadi pemicu kecemburuan sosial dan akhirnya bisa memuncak jadi kerusuhan massal. Kerusuhan bisa merusak hampir segalanya.

Batu sandungan di persoalan agraria kita jelas adalah para mafia tanah. Mafia ini, sekali lagi, adalah sebentuk konspirasi jahat (orang di internal pemerintahan dengan pihak eksternal. Mereka ini jadi eksekutor kepentingan para oligarki (komplotan penguasa-pengusaha, dan atau pengusaha yang bertransformasi jadi penguasa atau sebaliknya: penguasa yang bernafsu jadi pengusaha).

Jelas, Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/BPN dan Raja Juli Antoni sebagai Wakil Menterinya seperti kembali menceburkan diri ke dalam Kawah Candradimuka. Kawah ini super panas, apa pun atau siapa pun yang tercemplung di dalamnya bakal meleleh. Larut dalam arus besar konspirasi jahat itu.

Namun, kalau punya genetika (DNA) Gatotkaca, disertai hati bersih nan berani, maka bisa kita harapkan bakal lahirlah pahlawan baru. Negarawan berotot kawat berbalung besi serta bermental baja. Dan sebagai lulusan Kawah Candradimuka ini, maka tanggung jawab lebih besar menanti di depan untuk diamanahkan kepada mereka berdua. Mempersiapkan dan menghantar Indonesia masuk ke era keemasannya.

Selamat bekerja!

Jumat, 17 Juni 2022

Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *