Sorgum : Pilihan Tepat Bagi Ketahanan Pangan Nasional

Loading

Oleh: Yucundianus Lepa

Berdasarkan data FAO pada 2022, produksi beberapa komoditas pangan akan menurun. Gandum diperkirakan turun 1 persen dari 778,3 juta ton pada tahun sebelumnya menjadi 770,3 juta ton tahun 2022 akibat kekeringan di Uni Eropa. Perang Rusia dan Ukraina membuat distribusinya terganggu. Produksi serealia juga diperkirakan turun 0,6 persen dari 2,80 miliar ton menjadi 2,74 miliar ton pada 2022.

Pada saat yang sama produksi beras dunia diproyeksikan turun dari 522,5 juta ton menjadi 520,5 juta ton. Produksi biji-bijian kasar juga akan menurun dari 1,50 miliar ton menjadi 1,45 miliar ton atau turun 0,5 persen pada 2022. Krisis serealia ini mengancam industri makanan yang berbahan dasar gandum. Sebab, impor gandum yang saat ini dilakukan Indonesia sudah mencapai 11,7 juta ton/tahun.

Krisis pangan bagi Indonesia merupakan sebuah masalah serius. Negara ini tidak hanya menghadapi ancaman kelaparan tetapi juga proyeksi menuju Indonesia Emas 2045. Pada sisi lain, bonus demografi yang sedang berjalan saat ini, tidak akan memberi nilai tambah pada sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, karena terperangkap dalam keterbatasan pengembangan diri sebagai manusia unggul.

Penyebab memburuknya pola konsumsi masyarakat, terutama disebabkan berubahnya kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang dikonsumsi adalah sebuah masalah kemanusiaan. Untuk pengeluaran pangan, misalnya, penduduk miskin terpaksa mengurangi kuantitas pangan yang dikonsumsi. Bahkan, untuk menyesuaikan daya beli, penduduk miskin juga kerap menurunkan kualitas pangan yang dikonsumsi, yang pada kasus ekstrem mengonsumsi nasi aking (sisa nasi yang tak termakan yang dibersihkan dan dikeringkan di terik matahari).

Memburuknya pola konsumsi pangan ditandai dengan mengerucutnya konsumsi pada pemenuhan kalori, dengan mengurangi atau meniadakan konsumsi protein, seperti daging, susu, ikan, dan telur. Hal ini, pada gilirannya menyebabkan derajat kesehatan penduduk berdaya beli rendah berpotensi memburuk, terutama pada tumbuh kembang anak. Memburuknya derajat kesehatan penduduk berdaya beli rendah, terutama pada usia produktif, mempersulit upaya untuk meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sebaliknya akan menjadi beban pemerintah.

Saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda (MGG) yaitu sebagian masyarakat mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) yang menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti stunting sedangkan sebagian masyarakat mengalami kelebihan gizi (over nutrition) yang menyebabkan obesitas dan berbagai penyakit degeneratif.

Menghadapi tren perkembangan global dalam konteks krisis pangan, termasuk dengan kebijakan pelarangan ekspor gandum, oleh sejumlah negara di antaranya Kazakhstan, India, Afganistan, Serbia, dan Ukraina,  Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia harus memiliki rencana besar dalam hal ketahanan pangan.

Ada banyak pilihan bahan pangan yang bisa dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, salah satunya adalah sorgum. Sebagai langkah awal presiden menegaskan segera membuat peta jalan (road map) terkait dengan produksi dan penghiliran sorgum. Target yang hendak dicapai adalah 154.000 hektare lahan sorgum sampai dengan tahun 2024.

Sorgum dan Ketahanan Pangan

Dalam diskusi ekonomi berdikari bertema ”Antisipasi Indonesia terhadap Potensi Krisis Global” yang diselenggarakan harian Kompas, akhir pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kelangkaan komoditas gandum di pasar global membuat Pemerintah Indonesia melirik sorgum sebagai komoditas substitusi gandum.

Dari data yang ada pada Kementerian Pertanian, hingga Juli 2022, sudah ada sekitar 4.355 hektar lahan yang ditanam sorgum yang tersebar di 6 (enam) provinsi, dengan jumlah produksi mencapai 15.243 ton atau 3,63 ton per hektar. Untuk itu, tim peneliti dari IPB University telah mengembangkan varietas sorgum untuk pangan yang dapat membantu mengatasi masalah gizi ganda (MGG) di Indonesia.

Prospek pengembangan sorgum di Indonesia kian menjanjikan karena tidak hanya dapat dikembangkan sebagai bahan pangan yang mampu menggantikan beras dan gandum, tetapi juga bisa dijadikan sebagai bahan pakan dan bioetanol. Apalagi, sorgum yang merupakan tanaman serelia tersebut bisa dengan mudah dikembangkan di lahan kering, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Dengan risiko kegagalan yang kecil, sorgum dapat dipanen 2 (dua) kali per tahun.

“Pemerintah tahun ini akan memberikan stimulan bantuan pemerintah seluas 5.000 hektar dengan strategi melalui peningkatan produktivitas, perluasan tanam, peningkatan produk, hilirisasai produk olahan, kemitraan, akses KUR, dan pengelolaan korporasi petani,” ujar Airlangga Hartarto.

Adapun beberapa lokasi pengembangan sorgum antara lain Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulbar, Sulsel, Maluku, Papua Barat. Ke depan bukan tidak mungkin komoditi Sorgum akan menjadi komoditi primadona setelah Padi dan Jagung.

Kelayakan Konsumsi dan Nilai Gizi

Makan tidak selalu berhubungan dengan kebutuhan biologis tetapi ada sebagian berkaitan dengan gengsi. Terkait hal ini, Peneliti sorgum dari IPB University Desta Wirnas menjelaskan, sorgum merupakan tanaman biji-bijian (serealia) yang menghasilkan biji dengan kandungan karbohidrat yang setara padi, tetapi dengan berbagai keunggulan yang dapat menjadikannya karbohidrat sehat. Biji sorgum mengandung protein, vitamin B dan zat besi yang lebih tinggi dari beras. Dengan kelebihan ini harapannya, sorgum dapat membantu mengatasi masalah kekurangan zat gizi pada sebagian masyarakat Indonesia,

Sorgum bukan merupakan jenis serealia biasa. Di dalam 100 gram terkandung 329 kkal energi, sementara setiap hari, rata-rata orang dewasa membutuhkan 2000 kkal energi. Dengan demikian, separuh kebutuhan kalori harian dapat dipenuhi dengan mengonsumsi 300 gram sorgum. Jumlah ini sesuai dengan rekomendasi asupan karbohidrat yakni 300—400 gram per hari.

Senada dengan hal tersebut, Prof. Soeranto mengatakan bahwa selain untuk diolah menjadi pakan ternak dan bahan bioindustri, Sorgum juga dikenal sebagai bahan pangan dengan kandungan Gluten Free, Low Glycemic, Antioxidant dan High Fiber. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sorgum dapat disebut sebagai Functional Food. 

Menariknya, tidak hanya mengandung tinggi kalori sorgum juga mengandung tinggi protein. Kadar protein dalam 100 gram sorgum adalah 10,4 gram. Hampir setara dengan kadar protein gandum, dan lebih tinggi dari beras. Karena itu, sorgum yang bebas gluten sangat baik bagi orang yang sedang diet terutama yang menjalankan diet bebas gluten. Protein gluten ditemukan dalam gandum dan barley yang menyebabkan masalah pencernaan.

Kandungan protein dan unsur nutrisi dalam biji Sorgum diketahui lebih tinggi dibandingkan beras sehingga memiliki prospek bisnis yang cerah sebagai komoditi pangan unggulan baru dan bahan bioenergi. Dengan keistimewaan kandungannya, sorgum bisa menjadi bahan pangan untuk mengatasi stunting pada anak usia tumbuh. Batangnya pun dapat menghasilkan lira dan etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Serta daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak.

Menanti Sentuhan TEKAD

Sorgum merupakan salah satu jenis tanaman serbaguna yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan alternatif, bahan pakan ternak dan bahan baku industri. Sorgum memiliki sejumlah keunggulan di antaranya daya adaptasi adroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, dapat dipanen beberapa kali serta tahan terhadap hama dan penyakit.  Tanaman ini cocok  dikembangkan di wilayah kering dan tadah hujan seperti di wilayah selatan Pulau Jawa, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT.

Menurut Dr. Puji Harsono dalam Webinar Propaktani yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, menyatakan bahwa selain untuk memenuhi bahan kebutuhan pangan dan pakan, Sorgum juga dapat dimanfaatkan untuk bidang kesehatan serta energi terbarukan biofuel. Selain itu, pemanfaatan Sorgum dapat menggunakan model pertanian zero waste karena semua unsur tanaman dapat dimanfaatkan.

Berkaca pada pengembangan sorgum di Sumba Timur, tumbuh optimisme bahwa prospek pengembangan sorgum di Indonesia sangat menjanjikan karena dalam satu hektar lahan sorgum per tahun bisa menghasilkan sekitar 50 ton. Dengan realitas ini, patut diyakini bahwa target pemerintah untuk mengembangkan sorgum sebagai salah satu jenis pangan unggulan mencapai 154.000 hektare pada 2024 dapat terwujud.

Bagaimana memulainya ?

TEKAD yang dispirit oleh Transformasi Ekonomi dapat mengambil bagian dalam komitmen pemerintah ini. Sorgum sebagai sebuah jenis pangan alternative relative baru dikenal masyarakat. Dan untuk pengembangannya haruslah didasari oleh transformasi sosial dan budaya (social and culture transformation).

Potensi sosial masyarakat kampung adalah modal sosial. Keterbatasan adalah realitas yang kita terima. Namun, masyarakat kampung juga memiliki local wisdom yang hidup di dalam mengelola potensi ekonomi. Di antara warga kampung pasti ada perilaku dan pemikiran yang kreatif sebagai local entrepenuers baru di kampung. Ini adalah modal sosial yang harus digali dalam menumbuhkan basis produksi.

Transformasi juga di arena produksi (productive transformation). Potensi alam yang dianugerahkan Tuhan adalah bahan mentah (input) yang harus diolah ke tahap proses dan output. Sorgum tidak hanya sekadar bahan untuk pangan, namun menyimpan sederet kegunaan yang dapat diolah menjadi produk yang bervariasi. Juga, dengan komoditas lokal lainnya yang bernilai ekonomi tinggi. Artinya, komoditas lokal di tingkat kampung di Tanah NTT atau di mana pun memiliki peluang pasar global mengikuti rantai suplai yang berjalan..

Dalam konteks ini diperlukan pendekatan holistik. TEKAD memulai kegiatan pengembangan dengan mengajak partisipasi masyarakat dalam program yang berkelanjutan. Diperlukan gerakan yang masif dan keterpaduan kolaborasi antara petani, pelaku ekonomi, pemerintah, pihak dan lainnya  Berbagai desain pengembangan kelembagaan sebagaimana yang tengah dirintis oleh Kemendes, PDT akan mendekatkan produksi ekonomi kampung memasuki ekonomi pasar melalui jaringan digital platform. Sentuhan demikian mungkin kecil, tetapi dapat memberi arah bagi sebuah desain pengembangan makro dalam cakupan yang lebih luas.(*)

Penulis merupakan Advisor Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Konsultan Manajemen (NMC) Program TEKAD Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *