Oleh: Yucundianus Lepa
Dapatkah petani negeri ini memiliki kedaulatan pangan sebagaimana impian banyak orang? Pertanyaan seperti ini akan terus mengganggu manakala petani kita tidak memiliki otonomi atas pangan yang dihasilkan, terpuruk tingkat kesejahteraannya, tidak terlindungi, menjadi mangsa para tengkulak dan hampir pasti menjadi sumber produksi kemiskinan.
Apakah kedaulatan pangan itu? Kedaulatan pangan merupakan pemenuhan hak manusia atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai dengan budaya lokal yang ada, serta diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Sebagai sebuah pokok kebijakan, titik berat kedaulatan pangan diletakkan pada kemandirian pangan. perlindungan terhadap petani dan ekosistem lokal. Dengan titik tumpu pada kemandirian dan perlindungan petani serta ekosistem lokal, maka kerapuhan sistem pangan kita semakin terungkap ke permukaan. Tidak bisa kita tutupi bahwa sistem pangan kita rapuh.
Pandemi bukanlah justifikasi dari berbagai kegagalan dalam tata kelola sistem pangan nasional. Sistem pangan kita terpusat di Jawa. Pulau Jawa menjadi penghasil utama padi (51,7 persen produksi nasional), jagung (54,1 persen), kedelai (62,3 persen), gula (61,2 persen), dan lainnya. Peran wilayah lain di luar Jawa tidak signifikan. Dengan sistem pangan seperti ini, maka perlindungan terhadap ekosistem lokal terabaikan. Sistem pangan bergantung pada sedikit komoditas, terutama beras.
Sentralisasi sistem pangan ini mengakibatkan rantai pasok pangan menjadi panjang. Pada sisi lain, walaupun pemerintah senantiasa mengumbar semangat untuk swasembada pangan, namun sistem pangan bertumpu pada petani gurem dan miskin, yang jumlahnya 15,80 juta rumah tangga (58,07 persen dari total rumah tangga petani). Sementara dalam distribusi, sistem pangan bertumpu pada mekanisme pasar serta instrumen stabilisasi terbatas dan konsentrasi distribusi di tangan segelintir pelaku. Kondisi ini berakibat kelaparan terjadi bukan karena ketidaktersediaan pangan tetapi ketiadaan akses masyarakat terhadap pangan.
Mungkin kah kedaulatan pangan terwujud dengan sistem pangan seperti ini?
Lingkaran Setan
Selain sistem pangan yang buruk, perlindungan terhadap petani dan ekosistem lokal pun tidak serius dilakukan. Petani kita sangat bergantung pada input produksi yang meliputi benih, pupuk, obat hama/penyakit dan sebagainya. Semua kebutuhan tersebut mesti dibeli di pasar. Harganya fluktuatif. Bahkan ia mengalami kelangkaan seperti sering terjadi pada pupuk. Petani sama sekali tidak memiliki kuasa kendali atas input produksi tadi.
Di sisi lain, kebutuhan pupuk dan obat-obatan kimia per satuan luas lahan semakin meningkat sebagai dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia dalam waktu lama. Hal ini telah menyebabkan tanah miskin unsur hara, lingkungan tercemar dan kemunculan ragam penyakit dan hama baru atau meningkatkan resistensi mereka terhadap obat-obatan. Pada sisi yang sama, mereka telah kehilangan plasma nutfah alami akibat praktik pertanian monokultur. Dengan demikian, kemampuan mereka menyediakan benih sendiri semakin berat.
Praktik pertanian semacam itu telah menghasilkan produk pertanian yang mengandung residu bahan kimia yang berbahaya. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan. Dewasa ini ragam penyakit degeneratif banyak ditemukan di pedesaan. Besar kemungkinan semua ini ada kaitannya dengan tercemarnya lingkungan dan produk-produk pertanian.
Dengan pendapatan dari hasil panen yang rendah, petani hanya bisa membayar pinjaman biaya produksi ke tengkulak. Mereka memilih tengkulak karena akses mereka ke lembaga keuangan formal masih terkendala persyaratan jaminan. Pada saat gagal panen atau harga lagi jatuh mereka sering harus nombok. Ironis sekali. Persoalan lama yang tak kunjung ada solusinya. Ragam skema pembiayaan lembaga perbankan sejatinya belum menyelesaikan persoalan permodalan petani kecil.
Penerapan revolusi hijau secara masif demi meningkatkan produksi dan mencapai swasembada beras, memosisikan petani sebagai korban. Target tercapai, tetapi petani terkena dampaknya. Mereka tidak mau disibukkan dengan urusan menyediakan benih, pupuk, obat-obatan sarana produksi lainnya. Mereka kehilangan kemampuan memilih bibit, menyediakan benih, membuat pupuk dan obat-obatan alami yang sejatinya mereka warisi secara tradisional (local knowledge) dari leluhurnya. Itulah mengapa petani punya lahan kecil menanggung beban biaya produksi yang sangat mahal.
Sebagai akibat dari permodalan yang kecil, petani kecil tidak memiliki kapasitas mengendalikan harga jual hasil panen. Harga jual ditentukan oleh para pengepul dengan rantai pasar yang panjang pula.
Sangat ironis.
Petani yang lelah dan menanggung segenap risiko produksi. Namun pada saat panen harga ditentukan oleh pedagang sekaligus sebagai penikmat margin keuntungan terbesar.
Semua faktor yang diutarakan di atas adalah lingkaran setan yang tetap mengurung petani dalam siklus keterpurukan yang sempurna. Tidak ada perubahan berarti dalam peningkatan kesejahteraan apalagi terwujudnya kedaulatan pangan.
Transformasi Mendasar
Kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika berbagai faktor penyebab yang menjadi penghalang bagi peningkatan kesejahteraan petani diminimal. Begitu juga perlindungan bagi petani dan ekosistem lokal dilakukan secara terencana, terukur dan berkelanjutan. Dalam konteks ini diversifikasi pangan lokal perlu didorong semasif mungkin karena spirit kedaulatan pangan memberi arah pada keberagaman pangan. Dengan demikian, jika petani kecil ingin sejahtera mereka mesti melakukan transformasi secara mendasar dan radikal.
Untuk menjawab keinginan tersebut, diperlukan pelopor pembangunan desa yang memiliki kemampuan untuk mengubah mindset para petani tentang pertanian dan petani serta melakukan perubahan radikal.
Pelopor adalah kalangan muda berpikiran progresif yang direkrut dari kalangan petani sendiri. Sebagai pionir ia adalah petani dan hadir bersama para petani. Kemampuan dan keahlian yang dimiliki ditularkan juga kepada pelopor pembangunan desa lainnya di tiap desa melalui mekanisme pelatihan, praktik dan fasilitasi. Maka, perubahan pun terjadi secara bergelombang dan menjalar.
Perlu ada gerakan untuk memutus ketergantungan pada input eksternal melalui pengembangan dan penerapan teknologi pupuk dan obat-obatan organik. Hal ini berdampak terhadap pemulihan kesuburan tanah, terkendalinya hama/penyakit dan peningkatan efisiensi produksi. Para petani pun berhasil menemukan kombinasi ragam tanaman yang tepat hingga berdampak terhadap keberlanjutan produksi dan ekologis. Pada saat yang sama, mereka juga menerapkan teknologi cerdas sesuai kebutuhan seperti penggunaan irrigation drip, sprinkle dan greenhouse sederhana. Teknologi cerdas ini mampu mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang.
Pengembangan kelembagaan desa sebagaimana dilakukan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, adalah sebuah terobosan yang dapat membantu para petani desa dalam memangkas rantai pasar. Dengan literasi teknologi digital mumpuni mereka memfungsikan koperasi sebagai online hub. Teknologi ini mempertemukan petani dan pembeli secara langsung. Mereka dapat menyepakati harga secara transparan sehingga para petani mendapatkan harga jual layak. Pembeli pun mendapatkan kepastian suplai dan jaminan kualitas barang. Selain itu, koperasi juga menyediakan sarana produksi yang diperlukan petani seperti pupuk dan obat-obatan organik.
Perlu pengembangan teknologi terapan bagi petani untuk menghasilkan produk pertanian organik, bebas bahan pencemar dan ragam residu berbahaya. Produknya sangat berkualitas dan memiliki pangsa pasar yang baik. Petani pun mendapatkan harga dan margin keuntungan memadai.
Itu lah 4 (empat) transformasi mendasar yang diharapkan dilakukan petani. Transformasi akan menjadi pintu masuk untuk meruntuhkan ragam stigma buruk bahwa petani kecil tidak akan sejahtera. Dan kedaulatan pangan dengan sendirinya terwujud mungkin perlahan tetapi pasti.
Desain Pendekatan Holistik
Kemandirian sebagai buah transformasi petani secara mikro akan menjadi sebuah kekuatan perubahan apabila transformasi dimaksud ditopang oleh sebuah sistem pangan baik dan berkelanjutan. Ke depan, sistem pangan harus ditransformasi secara holistik, mengintegrasikan peran semua aktor, institusi, dan organisasi terkait. Tak cuma fokus pada produksi dan ketersediaan pangan, tapi juga mengintegrasikan relasi, peran, dan sistem lainnya, seperti sistem kesehatan, ekologi dan iklim, sains, sosial, ekonomi, politik, dan pemerintahan.
Dari sisi produksi, harus dirancang model berkelanjutan berbasis 4 (empat) pilar, yaitu layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tak merusak lingkungan, dan diterima warga. Dari sisi perdagangan harus didesain sistem perdagangan yang adil. Sebagai penyumbang terbesar dalam sistem rantai pangan, petani harus mendapatkan nilai tambah terbesar. Negara perlu menjamin struktur pasar yang menjadi fondasi pertanian adalah struktur pasar yang adil.
Perlu dilakukan pula rancang bangun model distribusi, yang efisien, berkelanjutan, dan minim jejak karbon. Sistem ini kelindan dengan dorongan konsumsi pangan setempat melalui diversifikasi dan perluasan akses, yang menumpukan pangan pada produksi setempat, baik level negara, provinsi, kabupaten atau kota, dan bahkan desa. Model ini mengandalkan konsumsi pangan produksi sendiri.
Itulah kedaulatan.
Bila kurang, baru disuplai dari luar (daerah). Model ini berperan besar dalam menguatkan kedaulatan pangan petani.
Semua desain dari model pendekatan holistik ini menyandarkan pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Hasil akhir yang diharapkan tentu menekan dampak buruk lingkungan akibat food miles: Jejak karbon yang timbul akibat perjalanan makanan dari tempat ia tumbuh hingga dikonsumsi. Pertanian skala kecil dan pertanian keluarga, 2 (dua) entitas penyedia utama pangan negeri ini tetap jadi pilar terpenting penjaga sistem pangan yang riil. Mereka perlu perhatian khusus. Selain jumlahnya besar, pertanian jenis ini bisa jadi solusi kemiskinan dan kelaparan, lebih produktif, ramah kearifan lokal dan perubahan iklim.
Dengan meningkatkan martabat kemanusiaan petani kita lewat pendekatan kesejahteraan, akan tercipta aneka sistem pangan lokal berikut pola makan khas, seperti di masa lalu. Aneka sistem pangan dan pola makan khas daerah, harus dipandang bagian dari kultur dan nilai masyarakat. Transformasi sistem pangan selain lebih adil, juga lebih berkelanjutan. (*)
Penulis merupakan Advisor pada Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia