Tradisi mengonsumsi daging anjing di wilayah Indonesia Timur berbeda dengan tradisi masyarakat Bali, Bendesa Adat didorong mengeluarkan dan menerapkan peraturan (pararem) untuk menutup kegiatan perdagangan daging anjing.
Kupang | Tradisi menyantap olahan daging anjing kerap dilakukan oleh masyarakat di Indonesia Timur seperti Manado dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus di NTT, olahan daging anjing lazim disebut RW. Di Sulawesi Utara, khususnya Manado dan Minahasa pun demikian, istilah RW bukan merupakan kependekan dari rukun warga. ‘RW’ adalah eufemisme (ungkapan lebih halus) untuk menyebut anjing.
RW merupakan kependekan kata rintek wu’uk ( bahasa Minahasa), yang artinya rambut atau bulu halus.
Kondisi tersebut berbeda dengan tradisi masyarakat Bali, Bendesa Adat didorong mengeluarkan dan menerapkan peraturan (pararem) untuk menutup kegiatan perdagangan daging anjing. Hal ini mengingat secara sosiologis masyarakat agama Hindu di Bali tidak mengonsumsi daging anjing. Kondisi tersebut tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat di Bali.
Adrian Hane, S.H. Coordinator of Legal, Advocacy, Media and Government Engagement Jaan Domestic Indonesia dalam sesi workshop peningkatan kapasitas media terkait rabies dan kesejahteraan hewan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Kamis sore, 15 Mei 2025, mengungkapkan bahwa masyarakat Bali memandang orang NTT yang mengonsumsi daging anjing sebagai orang primitif.
“Saya ambil contoh seperti di Bali, di Bali teman-teman kita dari NTT mendapat persekusi dianggap primitif karena masih konsumsi daging anjing. Pemerintah Bali sudah dilarang dengan peraturan daerah,” ungkapnya.
Adrian Hane pun mengatakan pihaknya banyak melakukan diskusi dengan rekan-rekan aktivis, merasa miris kenapa orang NTT masih dicap begitu. “Itu fakta terjadi, kalau punya saudara-saudara di Bali itu bisa tanya. Orang NTT di perantauan itu bagaimana,” bebernya.
Pria yang mengembang amanah sebagai legal dan advokat dari Jaan Domestic Indonesia ini pun rutin berkomunikasi bersama pemerintah bahkan sampai dengan level politiknya. Jaan Domestic Indonesia juga berkomunikasi sama tokoh-tokoh politik terkait isu marginal, namun terkendala saat membawa isu ini ke level yang lebih tinggi, pertanyaannya adalah bahaya apa untuk masyarakat.
Selain itu, diungkapkan Adrian Hane, dunia sudah berkembang, orang melihat hewan kesayangan itu bagian dari keluarga hingga disusun ke dalam regulasi. Seperti Undang-Undang Pangan Nomor 12 Tahun 2012 tentang pangan yang menjelaskan mengenai pangan itu berasal dari sumber daya non-hayati. Dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatur tentang peternakan dan kesehatan hewan secara umum, termasuk perlindungan hewan peliharaan. Pasal 69 mengatur larangan penganiayaan hewan peliharaan, dengan ancaman hukuman penjara dan denda bagi yang melanggarnya.
Adrian Hane pun menekankan untuk mengubah tradisi mengonsumsi daging anjing atau RW adalah dengan edukasi. “Kita tidak bisa menghakimi teman-teman yang lain bahwa ini tidak bagus. Harapan kami semoga ke depannya kita jangan memulai dengan menghakimi, tapi memulai dengan edukasi atau memberi pemahaman. Karena sebenarnya banyak yang masih senang itu karena kurang pemahaman,” tandasnya.
Penulis (+roni banase)